Bulan Ramadan merupakan bulan spesial yang penuh berkah dan ampunan. Bulan yang sarat akan nilai-nilai pendidikan, baik jasmani atau pun rohani, yang secara implisit tersampaikan melalui perintah berpuasa. Puasa merupakan ibadah yang berat untuk dikerjakan karena keperluan naluriah-biologis manusia seperti makan, minum, dan hubungan suami-istri justru dilarang sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari.
Baca juga Isra’ Mi’raj Perspektif Ilmu Pendidikan
Oleh karena itu, -jika kita telisik dalam al-Quran- ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban puasa menggunakan strategi komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, instruktif juga sistematis, sehingga umat islam -sebagai audiens- terdorong melaksanakan puasa tanpa beban, ringan hati, dan ikhlas, serta menjadikannya tidak hanya dipandang sebagai sebuah perintah yang take for granted (ta’abbudi), tapi juga sebuah program pembelajaran spiritual dari Allah yang dapat dinalar dan diterima oleh akal manusia (ta’aqquli). Dengan bahasa lain, cara al-Quran melakukan semua itu dengan penuh kelembutan dan menarik simpati audiens, terutama yang berhubungan dengan hati dan perasaan.
Strategi Komunikasi Al-Quran
Pemilihan kata dalam al-Quran tidak hanya dipandang dari aspek keindahan jalinan antar huruf-hurufnya yang serasi, ungkapannya yang indah, dan ayat-ayatnya yang teratur, melainkan juga kekayaan makna yang dapat melahirkan beragam pemahaman. Dalam teori kebahasaan, keberadaan teks dan konteks saling berkelit-kelindan karena teks tidak hadir dari ruang hampa, tapi -pada umumnya- teks merupakan jawaban atau respon terhadap situasi yang dihadapi dalam ruang dan waktu yang berbeda. Teks meniscayakan adanya konteks baik yang bersifat historis, geografis, maupun kultural. Hal inilah yang melatarbelakangi gaya bahasa dalam al-Quran terkonstruksi sesuai dengan konteksnya, salah satunya adalah ayat puasa.
Selain gaya bahasa, kekuatan al-Quran juga terletak pada ketepatan strategi komunikasi agar suatu rancangan yang dibuat mampu mengubah tingkah laku manusia dalam skala lebih besar melalui transfer ide-ide baru sebagai target perubahan. Hal ini dapat kita jumpai pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang puasa, wabil khusus dalam Surat al-Baqarah ayat 183, yaitu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Secara garis besar, ayat ini menjelaskan tentang kewajiban puasa dengan menggunakan redaksi pasif (majhul) berupa كُتِبَ yang bermakna bahwa suatu hal yang diwajibkan merupakan hal yang memberatkan. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan hal yang berat untuk dilaksanakan, penting, dan sangat bermanfaat bagi manusia. Sekalipun Allah tidak mewajibkan, maka manusia akan mewajibkannya sendiri. Dewasa ini, juga banyak kita saksikan bahwa anjuran puasa bukan hanya untuk kepentingan agama, namun justru untuk kepentingan kesehatan.
Adapun pemilihan redaksi كُتِبَ bukan dengan redaksi فرض bukanlah tanpa alasan, -padahal dua kata tersebut mempunyai makna dasar yang sama yaitu diwajibkan-, namun redaksi كُتِبَ lebih tepat digunakan karena memiliki kecenderungan terhadap sesuatu yang sudah melekat pada diri manusia yang pada dasarnya memiliki naluri untuk menahan, maka penggunaan kata كُتِبَ lebih sesuai untuk disandingkan dengan ibadah puasa.
Perintah puasa yang diiringi dengan adanya informasi bahwa hal tersebut telah diwajibkan kepada orang-orang terdahulu الذين من قبلكم mampu memberikan sugesti bahwa puasa merupakan sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan dan terasa ringan untuk dikerjakan karena puasa telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu dan mereka mampu melaksanakannya.
Adapun redaksi كما كتب على الذين من قبلكم merupakan bentuk tasybih mursal mujmal (penyerupaan yang disebutkan adat-nya tetapi wajah syabah-nya dibuang) yang mengandung hikmah agar umat Islam bersemangat dalam menjalankan puasa, bahkan menjadi anjuran agar umat Islam memiliki semangat melebihi umat-umat terdahulu. Penyerupaan yang dimaksudkan di sini hanyalah dari aspek kewajiban, bukan dari aspek cara pelaksanaan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa al-Quran mengajak audiensnya untuk melaksanakan ibadah puasa dengan struktur kata dan kalimat yang menyentuh jiwa dan melunakkan hati.
Ayat di atas diakhiri dengan redaksi لعلكم تتقون “agar kamu bertakwa”. Penggunaan redaksi تَتَّقُونَ menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari puasa adalah predikat muttaqin. Ini juga menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah puasa merupakan salah satu upaya agar orang-orang beriman naik predikat menjadi orang-orang bertakwa. Ketika seseorang sudah terbiasa berpuasa maka tentunya mampu untuk menahan diri dari hal-hal yang buruk, dan ketika sudah terbiasa menahan diri maka secara otomatis akan terhindar dari hal-hal buruk.
Dalam ayat ini disebutkan dua kelompok, yaitu: “orang-orang beriman” dan “orang-orang bertakwa”. Ayat ini dimulai dengan seruan lembut يأيها الذين ءامنوا yang dikhususkan kepada orang-orang beriman agar mereka yang memiliki keimanan dalam hati tersentuh dan tergerak untuk mengerjakan puasa. Penggunaan redaksi يَٰٓأَيُّهَا pada awal ayat merupakan bentuk taklif dan berfungsi untuk menunjukkan bahwa yang menyeru adalah Allah Swt. Kata (أي) merupakan munada yang bermakna tadarruj minal ihām ilal idhāh. Adanya penambahan (ها) tanbih berfungsi agar apa yang di-khitab-kan tidak terkesan memberatkan serta membuat audiens lebih memperhatikan isi seruan tersebut.
Seruan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang beriman saja yang bersedia dan mampu untuk melaksanakan puasa. Dalam akhir ayat disebutkan redaksi la’allakum tattaqun yang mengisyaratkan bahwa perintah untuk berpuasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa. Artinya derajat orang beriman berada satu tingkat di bawah orang-orang bertakwa.
Akhiran, puasa bukan hanya sebatas ibadah: bentuk ketundukan hamba, namun juga pengingat identitas diri yang membawa pelakunya agar mampu mengendalikan nafsu sehingga memunculkan sikap peduli terhadap sesama. Kemudian puncak hikmah puasa mampu menjadi problem solving terhadap problematika kehidupan manusia. Kesemuanya ini dinarasikan dalam al-Quran dengan keindahan bahasa yang mampu menyentuh hati dan akal manusia. Keindahan bahasa al-Quran terletak pada gaya pengungkapannya yang sesuai dengan kondisi psikologis, sosial masyarakat, juga strategi komunikasi yang elegan.
Wa Allahu A’lam bi al-Shawab
Oleh: Umar Abdul Hasib (Santri Penikmat Kopi)
Daftar Bacaan :
1. Ma’a al-Nabi fi Ramadan, Amin al-Khuli
2. Ma’a al-Nabi fi Ramadan, Samih Karim
3. Tafsir Hadaiqur Ruh wal al-Raihan.
4. Tafsir Mafatihul Ghaib.
5. Stilistika al-Quran: Gaya Bahasa Al-Quran dalam konteks komunikasi
6. Komunikasi dalam al-Quran, Isra Wahyuni
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)