Pembahasan sejarah ushul fikih merupakan pembicaraan yang sudah tidak asing lagi bagi pecinta ilmu karena dalam banyak karya tulis, sejarah ushul tidak luput untuk ditorehkan dalam lembaran-lembaran awalnya, sekalipun hanya selayang pandang. Hal itu menjadi penting guna memberikan gambaran peta pemikiran umat muslim secara umum terkait perjalanan tradisi intelektualnya.
Baca juga Tujuan Eksistensi Manusia di Alam Realitas
Ushul fikih sebagai teori hukum Islam secara praktis telah ada semenjak era sahabat. Misalnya Imam Ali bin Abi Thalib seorang sahabat yang merupakan pintu belantika keilmuan dalam putusan hukumnya terhadap peminum khamar, “Jika peminum khamar minum minuman keras maka dia akan mabuk. Jika dia mabuk maka dia akan difitnah. Kemudian dia wajib mendapatkan hukuman fitnah (qazaf).” Ungkapan ini memberikan kita gambaran bahwa Imam Ali menjatuhkan hukum dengan hukum mitsali (persamaan).
Selain itu, Abdullah Ibn Mas’ud berbicara terkait iddah wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya. Dia mengatakan bahwa, “Iddah seorang wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah hingga ia melahirkan,” dengan berdalil menggunakan ayat keempat surah at-Thalaq. Kemudian Abdullah Ibn Mas’ud bersaksi bahwa surah an-Nisa al-Qushra itu diturunkan setelah surah an-Nisa al-Kubra. Dalam hal ini, Abdullah Ibn Mas’ud menggambarkan pencetusan hukum dengan teori abrogasi (nask) di mana teori ini sangat penting dalam pembahasan ushul fikih.
Estafet perkembangan keilmuan ushul fikih setelah sahabat dilanjutkan oleh para tabi’in di mana metodologi istidlal-nya beragam, sekalipun masih mengikuti metode para sahabat. Pada era ini muncul istilah ahlul hijaz yang notabenenya ahlul hadits yang secara geografis terletak di Hijaz dan ahlul Iraq yang mayoritasnya adalah ahlur ra’yi yang terletak di Iraq.
Ahli hadits dicirikan dengan memiliki banyak riwayat hadis sebab Rasulullah saw. bertempat di Hijaz sehingga penduduknya memiliki banyak riwayat. Namun, inisiatif mereka dalam membuat hukum terhadap permasalahan yang belum terjadi relatif kurang. Singkatnya ahlul hadits bercirikan responsif.
Sementara ahli ra’yi secara geografis cukup jauh dari periwayatan dan maraknya pemalsuan hadis sehingga dituntut untuk ketat dalam mengambil hadis, sedangkan permasalahan relatif banyak dan beragam sebab Iraq merupakan daerah berperadaban pada masa itu dan merupakan ibu kota khilafah. Maka dari itu, ahli ra’yi identik dengan keberaniannya untuk berimajinasi terhadap permasalahan yang belum terjadi untuk dibuatkan hukum sehingga mereka suka mengeluarkan illat qiyas. Singkatnya ahlur ra’yi berkarakter prediktif
Setelah masa tabi’in berlalu, datanglah masa yang diistilahkan dengan ‘Ashrul Ijtihad yaitu era ijtihad. Di mana pada masa ini, muncul pemikir muslim seperti Imam Abu Hanifah an-Nu’man di Iraq, Imam Malik Ibn Anas di Hijaz, Imam Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i di Mesir, Ahmad Ibn Hambal di Bagdad, Imam Auzai di Syam, dan pemikir-pemikir lainnya yang tidak dipraktekkan hasil ijtihadnya di era sekarang ini dikarenakan tidak ada pengikutnya.
Maraknya pengkajian ushul fikih disebabkan karena ia mendapatkan perhatian cukup signifikan dari kalangan pemikir muslim. Hal ini dilakukan karena hukum bertujuan untuk mengatur keadilan di tengah manusia sehingga ushul fikih ini menjadi khazanah kemanusiaan (turast insani) yang dipandang memiliki ketinggian nilai kemanusiaan dari aspek metodologinya. Sedangkan nilai kemanusiaan dari ushul fikih itu terletak pada penyatuan konsep dan kerangka berfikir dalam mengatur hukum taklifi manusia. Kerancuan yang terjadi selama ini disebabkan oleh ketidakberesan landasan dan kerangka berpikir yang dijadikan acuan.
Literatur sejarah mengungkapkan bahwa pada era ijtihad ini banyak terjadi perubahan dalam berbagai lini. Di antaranya adalah bahasa Arab yang sudah mengalami perubahan karena rusaknya malakah lisan arab dan maraknya ekspansi Islam yang menyebabkan bercampuran bangsa Arab dan non-Arab, juga terjadinya kontaminasi antara budaya Islam dengan budaya luar.
Dua madrasah yang telah disebutkan sebelumnya yaitu madrasah al-Hadis atau ahlil hadis di Hijaz dan madrasah ra’yi di Iraq sangat mempengaruhi dunia intelektual pada era ijtihad ini, terlebih adanya madrasah al-I’tizal dengan beragam bentuknya. Semua madrasah ini mempertahankan pendapat dan mazhabnya masing-masing sehingga banyak terjadi mihnah (ujian) dan permusuhan di kalangan masyarakat.
Ibn Qutaibah ad-Dainuri telah mengungkapkan kondisi menyedihkan ini dengan mengembalikannya kepada perbuatan teolog dari kalangan Mu’tazilah yang mencaci ahli hadis juga ahli ra’yi dalam karya-karyanya, menuduh dusta dan meriwayatkan riwayat yang kontradiksi sehingga menyebabkan perkhilafan, perpecahan, bahkan menyebabkan kafir-mengkafirkan antar kalangan padahal mereka berpegang pada satu hadis yang sama.
Sejarah perpecahan antar kalangan ini dikuatkan juga dengan surat yang ditulis oleh Ibn Muqaffa’ untuk Abu Ja’far al-Manshur yang berisikan kondisi umat yang terpecah belah karena adanya perbedaan hukum yang dirasa kontradiksi sehingga menyebabkan pertumpahan darah, menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Begitulah fenomena sejarah berbicara tentang fanatisme pendapat berdasarkan hawa nafsu yang mengalahkan kebenaran dan kebijaksanaan sehingga anatomi sosial menjadi rusak dan keadaan sosial menjadi tidak stabil.
Secara sederhana, bahwa pada saat itu dibutuhkan adanya seorang pemikir yang mampu mengembalikan umat Islam kepada moderatisme Islam dengan memberikan hak kepada yang semestinya dan meredakan ekstrimisme, baik eksirim kiri maupun kanan (tafrith dan ifrath) sebagaimana juga memberikan metodologi yang benar dalam penggalian hukum.
Melihat kondisi seperti ini, berkah petunjuk Allah Swt., seorang ahli dalam bidang hadis Abdurrahman Ibn Mahdi mengirimkan surat kepada Imam Syafi’i untuk membuat sebuah karya yang membicarakan cara untuk memahami makna al-Quran, syarat diterima dan ditolaknya berita, ke-hujjah-an ijma’ (konsensus), dan penjelasan terkait nasikh-mansukh (abrogasi) dalam al-Quran dan hadis.
Surat yang dibuat oleh Abdurrahman Ibn Mahdi ini disambut baik oleh Imam Syafi’i dengan membuat sebuah karya pemersatu kerangka berfikir pemikir muslim yang kemudian dianggap sebagai rujukan utama ushul yang hadir di bumi Allah Swt. Maka berdasarkan ini, Imam Syafi’i adalah pemikir pertama yang memiliki karya ushul fikih dan yang pertama memberikan kontribusi bahwa ushul fikih merupakan undang-undang universal dalam Islam.
Jadi, bisa dikatakan bahwa Imam Syafi’i mampu menghadirkan moderatisme Islam dengan tawaran metodologi tentang teori hukum Islam yang ditulis dalam karyanya ar-Risalah yang kemudian madrasah-madrasah para pemikir dalam diskusi ilmiahnya memiliki batasan, kaidah, etika, landasan, dan ketentuan yang harus dihormati sehingga perang pemikiran negatif dalam bidang hukum mulai mereda. Setiap madrasah dituntut untuk moderat dalam mengoperasikan nas dan akal dalam ber-istinbath.
Penulis: Muhammad Solahudin, LL.B.
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)