Di antara isu yang masih terus diperjuangkan ialah mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini telah menjadi perhatian agama, negara bahkan dunia. Salah satunya adalah telah ditegaskan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita [convention on the elimination of all forms of discrimination against women] atau CEDAW yang ditetapkan pada 18 Desember 1979.
Baca juga Arus Sejarah Peradaban Perempuan
Berkaitan dengan peran, di dalam pembahasan ini terbagi menjadi dua peran yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik yang lebih cenderung terhadap tugas dan pekerjaan bagi internal keluarga dan peran publik berkaitan dengan eksternal keluarga. Peran domestik secara sederhana menggambarkan tentang pekerjaan atau aktivitas yang berhubungan dengan rumah tangga seperti nyapu, ngepel, masak, mengurus anak, dll.
Sedangkan peran publik kebalikan dari hal tersebut yang berhubungan dengan luar rumah. Sejak beberapa puluh tahun terakhir menjadi perdebatan seru di antara kaum klasik yang memegang teguh peran tradisional dan kaum feminis yang memperjuangkan tentang persamaan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Lalu, siapakah yang sebenarnya melakukan peran domestik?
Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa telah banyak laki-laki yang menyadari dengan kondisi kehidupan yang seperti sekarang ini, keseimbangan peran dapat dilakukan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, tidak hanya perempuan yang melakukan peran domestik, tetapi laki-laki juga melakukannya, dan beberapa penelitian tersebut dilakukan di Indonesia dengan menggunakan subjek yang memiliki budaya patriarki. Berarti telah ada bukti bahwa laki-laki sudah memiliki kesadaran tentang peran domestik. Tetapi hal ini, dikembalikan kepada kesadaran personal masing-masing.
Jika berkaitan dengan rumah tangga, maka perlu diketahui sebelumnya makna dari keluarga. Keluarga merupakan unit organisasi yang di dalamnya mengatur tentang peran dan fungsi setiap anggotanya. Adapun keluarga menurut konsepsi Islam adalah kesatuan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilakukan dengan melalui akad nikah menurut ajaran Islam. Dengan kata lain, ikatan apa pun antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak dilakukan dengan melalui akad nikah, seperti yang dilakukan dalam sistem kehidupan keluarga di Barat di mana keluarga yang dibentuk dengan pola kehidupan sebagai suatu rumah tangga, hanya didasarkan rasa suka sama suka dan kesepakatan untuk bekerja sama, yang jika cocok baru diteruskan ke ikatan pernikahan, dan bila tidak cocok maka ikatan kerja sama bubar begitu saja, menurut kesepakatan bersama juga, hal ini tidak diakui dalam Islam.
“Relasi seorang bapak dan ibu akan berpengaruh kepada anak-anaknya, jika tidak berjalan dengan baik maka akan menimbulkan kondisi yang tegang dan rawan konflik“
Dalam kehidupan keluarga, terdapat beberapa problem yang disebabkan dari berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal biasanya menjadi faktor penentu lahirnya problem dalam keluarga. Karena di dalam faktor tersebut terdapat makna pentingnya relasi keluarga dalam kehidupan perkawinan. Nicholas dan Schwartz dalam Kathryn Geldard dan David Geldard menyebutkan bahwa relasi keluarga yang tidak kondusif menjadi sumber potensial terjadinya ketidakharmonisan keluarga. Relasi seorang bapak dan ibu akan berpengaruh kepada anak-anaknya, jika tidak berjalan dengan baik maka akan menimbulkan kondisi yang tegang dan rawan konflik. Terkadang ini terjadi jika sebagai pasangan (suami-istri) tidak memainkan perannya melainkan menjadi orang tua juga.
Kualitas harmonis dalam keluarga dapat diperoleh dengan adanya kesadaran atas aliansi dari keluarga itu sendiri. Kesadaran menjadi upaya dalam mengembangkan wacana antar anggota keluarga. Begitu juga dalam relasi suami-istri maka dibutuhkan adanya kesadaran guna menghasilkan suatu konsep resiprokal yaitu kesalingan dalam memahami. Dari sini, dapat dibuktikan bahwa keberhasilan keluarga sangat ditentukan oleh kualitas anggotanya melalui aspek penyadaran (Hariwijaya, 2011:174). Di dalam konsep kesadaran yang tinggi dapat diwujudkan dengan adanya beberapa aspek di antaranya aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik yang andal.
Kesadaran dalam aspek afektif berarti memunculkan sikap terbuka, mau dan memahami potensi diri, dan selalu menjaga sikap sesuai dengan nilai-nilai sosial agama (Hasanah, 2013:478). Kesadaran afektif dalam konteks keluarga berarti keyakinan positif mengenai nilai-nilai dan fungsi keluarga yang akan menjadikan para anggotanya memiliki kekuatan untuk selalu menghadirkan pemahaman positif mengenai keluarganya, termasuk di dalamnya relasi dan perilaku antar generasi dan perhatian terhadap perbedaan.
Adapun kesadaran dalam konsep kognitif berarti memahami dan menyadari bahwa keluarga adalah sumber kekuatan. Kekuatan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan potensi keluarga dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Kesadaran dalam konteks psikomotorik berkaitan erat dengan persoalan konsistensi perilaku. Keluarga yang berkualitas selalu menghadirkan perilaku positif, dan kehidupan berakhlak. Selain dari beberapa kesadaran yang telah disebutkan bahwa kesadaran lain berkenaan dengan peran dan fungsi keluarga bagi kehidupan anggotanya. Pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, lingkungan pengasuh dan reproduksi yang sehat, media interaksi dan komunikasi.
Dalam keluarga diperlukan adanya keseimbangan agar dapat menjadi keluarga yang memiliki peran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Melalui peran domestik yang semestinya menumbuhkan kerja sama baik antar suami-istri ataupun orangtua-anak. Salah satu keseimbangan yang dapat diterapkan ialah manajemen waktu dari kegiatan-kegiatan bersama anggota rumah tangga. Kekuatan spiritual merupakan kekuatan yang sudah seharusnya ada pada diri masing-masing yang akan membawa dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Intelektualitas dapat didapatkan demi menjadikan keluarga yang berilmu dan berakhlak. Pengendalian emosional diterapkan agar hubungan selalu seimbang dengan menerima dan mempertimbangkan keadaan keluarga.
Disimpulkan bahwa bagaimana antara hubungan satu sama lain terutama dalam lingkup keluarga harus memiliki adanya complementary yaitu saling melengkapi fungsi anggota keluarga atau hubungan lainnya. Jika dikaitkan dengan peran domestik, maka keseimbangan antar fungsi dan peran bagi anggota rumah tangga bukan hanya pada istri, tetapi suami juga. Dengan adanya beberapa strategi seperti memperkuat hubungan dengan Allah Swt, saling menjaga ibadah, saling mencurahkan perhatian, menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, bersyukur, bersabar, saling memaafkan, tidak mudah marah, paham dan tahu tugas suami dan istri, saling terbuka, dan membangun komunikasi yang baik. Maka dari semua hal tersebut dapat membangun keluarga yang harmonis. Apalagi penerapan strategi tersebut sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.
*Tulisan diambil dari hasil diskusi Women’s Talk Bidang Pendidikan PCI Muslimat NU Sudan
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)