Narasi Fikih Peradaban; Upaya NU Merespons Tatanan Dunia Baru

Halaqah Fikih Peradaban

Dalam momentum menyambut satu abad Nahdlatul Ulama (NU) yang nantinya akan dilaksanakan pada tanggal 16 Rajab 1444 H, yang bertepatan pada 7 Februari 2023, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginisiasikan agenda-agenda yang menyentuh riil keumatan. Pagelaran menyongsong satu abad NU menggulirkan tema “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama, Menjemput Abad Kedua, Menuju Kebangkitan Baru”. Menilik tema tersebut menegaskan bahwasanya pada momentum satu abad ini menjadi awal kebangkitan yang baru bagi NU guna merespons tatanan dunia baru dari segala aspek global.

Baca juga Akar Historis Perkembangan Tasawuf

Salah satu agenda besar dalam menyukseskan perayaan satu abad NU ini dengan adanya Halaqah Fikih Peradaban. Forum-forum Halaqah Fikih Peradaban dilaksanakan secara masif lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia. Halaqah fikih peradaban mencoba mengangkat isu-isu global atau problem-problem riil di tingkat internasional.

Fikih Peradaban sebagai Solusi

Secara definitif, fikih peradaban dapat dipahami sebagai penggalian terhadap produk hukum Islam yang disertai dengan usaha manusia melalui kemampuan intelektualnya yang diproyeksikan untuk merespons segala keadaan zaman. Sehingga peradaban dapat dibangun berdasarkan nilai-nilai yang dimotivasi oleh Islam. 

Perspektif ini bukan berarti fikih peradaban ingin mengubah dunia sesuai dengan tatanan Islam atau islamisasi, tetapi lebih pada menjadikan Islam sebagai solusi bagi dunia. Alih-alih ingin membangun tatanan dunia baru yang sesuai dengan ajaran Islam, fikih peradaban ingin agar Islam dapat memiliki dampak dan memberi solusi bagi masalah-masalah global.

Hal yang melatar belakangi munculnya gagasan halaqah fikih peradaban ini tidak bisa dilepaskan dari ide gagasan-gagasan yang telah mendahuluinya. Ketika dilaksanakan Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta pada tahun 80-an, Gus Dur telah memproyeksikan agenda rekontekstualisasi kitab kuning. Ide ini merupakan usaha untuk meneguhkan pribumisasi Islam yang digagas sendiri oleh Gus Dur. 

Menurut K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pembaruan Islam haruslah dimulai dari tradisi, dan itu harus dilakukan melalui tradisi kitab kuning. Gagasan rekontekstualisasi kitab kuning yang dikawal Gus Dur kala itu merupakan upaya NU dalam merespons realitas dengan menggunakan tradisi pesantren, yakni melakukan pembacaan kontekstual terhadap kitab kuning. Sehingga antara teks kitab dan konteks realitas mempunyai korelasi dan relevansi. Dengan hal itu, kita diharapkan dapat merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tantangan realitas zaman yang terus berkembang signifikan.

Bisa dikatakan Fikih Peradaban adalah gagasan yang lahir dari integrasi dari dua gerakan NU pada era sebelumnya, yakni era Gus Dur: Kontekstualisasi Kitab Kuning, dan era Kiai Said: Islam Nusantara. Fikih Peradaban yang digagas saat ini merupakan upaya kontekstualisasi kitab kuning dalam menghadapi realitas dinamika kehidupan saat ini yang sangat dinamis. Dengan demikian, tantangan NU di masa mendatang akan ikut berperan aktif dalam percaturan wacana dunia global dengan membawa tipologi yang dimilikinya sebagai bahan bakarnya.

Melalui dua gagasan di atas, Gus Yahya membuat sebuah sintesis yang sangat brilian dengan mencanangkan gagasan fikih peradaban. Gus Yahya menangkap artikulasi bahwa NU di masa depan tidak boleh bersifat pasif, tetapi juga ikut berperan aktif dalam wacana global dengan artian turut merawat jagat dan tetap mempertahankan kultur NU sebagai jamiyah Nusantara dalam segi corak kebudayaannya. Latar belakang lahirnya gagasan fikih peradaban sejatinya bukan hanya berasal dari kebutuhan NU dalam merespons realitas kekinian. Tetapi sesungguhnya merupakan kelanjutan dari ide pribumisasi Islam Gus Dur dan Islam Nusantara gagasan kiai Said.

Titik fokus dari gagasan Fikih Peradaban ini lebih kepada fikih siyasah (fikih ketatanegaraan), dalam artian gagasan yang diilhami dari pergerakan Gus Dur yang di mana kita sebagai warga NU dituntut untuk memahami dengan baik pola politik pada hakikatnya, terlebih untuk penyatuan terhadap negara-negara yang memiliki komponen mutualis, narasi Gus Dur inilah yang menjadi pijakan atau fondasi awal yang kemudian dieksekusi oleh Gus Yahya dengan gagasan briliannya yaitu “Fikih Peradaban”. Bila kita menilik ke belakang, secara historis gagasan ini mengingatkan kita pada momentum pembaharuan konsep Fikih siyasah dalam konteks Darul Islam seperti halnya yang sudah terukir dalam literatur klasik. Penghapusan istilah kafir menjadi sebutan non muslim dan mana ini menjadi penanda adanya pemahaman baru, bahwasanya keadaan dan norma-norma sosio-kultural yang ada sekarang ini berbeda dengan masa sebelumnya.

Lahirnya Nahdlatul Ulama merupakan isyarat dari isyarat para ulama Jawa sangat lah menjunjung tinggi rasa nasionalisme-religius dan bertujuan untuk mempertegas identitas kebudayaan dengan nilai-nilai yang ada. Bahkan hal ini merupakan prinsip jamiyah. Upaya yang dilakukan oleh kiai-santri tidak lain dan tidak bukan adalah menegakkan syariat Islam dalam bentuk yang lebih rileks dan terkesan tidak kaku. Nilai-nilai ini yang kemudian mengartikulasikan bahwa NU akan tetap dinamis kapan pun dan di mana pun.

Transformasi yang dilakukan oleh NU saat ini juga memiliki spirit peradaban yang tak dimiliki oleh organisasi sosial-kea­gamaan yang lain. Ini menandakan bahwa gambar dunia (globe) dalam simbol NU akan benar-benar terwujud. NU berjuang sampai tahap global. Sebagaimana kata Gus Yahya, berbekal makrifat jati (mengenali diri, mengenali organisasi) dan makrifat dharma (mengenali peran dan tugas) akan memberikan sumbangsih paling substansial terhadap arah baru Nahdlatul Ulama.

Itulah kiranya, fikih peradaban yang diproyeksikan sebagai usaha untuk merespons tata dunia baru secara riil. Yakni dunia yang tidak hanya mencita-citakan serta mendambakan kemajuan dan perdamaian, tetapi juga sekaligus dunia yang sedang mengalami sakit. Tentu fikih peradaban belum bisa disebut sebagai solusi. Tetapi usaha-usaha yang sejauh ini dilakukan secara bersama-sama, merupakan sebuah usaha untuk ikut andil dan lebih dekat pada solusi-solusi yang lebih nyata. 

Penulis: Riyan Abiwahyu Prihatin (Aktivis Lakpesdam NU Sudan)

One Response

Tinggalkan Balasan