K.H. Zainul Arifin Pohan; Politisi dan Pengabdi Negara dari Nahdlatul Ulama

K.H. Zainul Arifin adalah salah satu tokoh ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang dianugerahi gelar pahlawan pergerakan nasional dari pemerintahan Indonesia pada 4 Maret 1963 melalui Keppres No. 35 tahun 1963. Nama beliau disandingkan dengan ulama NU yang mendapat gelar pahlawan nasional lainnya, seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Zainul Musthofa, dan lain-lain.

Baca juga 1 Abad NU Merupakan Momen Kebangkitan Baru

Beliau tercatat lahir pada 2 September 1909 di Barus. Beliau merupakan anak tunggal dari keturunan Raja Barus, ayahnya bernama Sultan Ramali bin Tuanku Raja Barus Sahi Alam Pohan dan ibunya yang bernama Siti Baiyah Boru Nasution merupakan perempuan bangsawan dari etnik Melayu asal Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatra Utara.

Di usia beliau yang masih balita orang tuanya berceriai. Kemudian ibunya membawanya pindah ke Kerinci Jambi dan tinggal di rumah pamannya, yaitu M. Saleh Siambotan. Di sana jugalah beliau menyelesaikan pendidikannya di HIS (Holands Indische School) yang merupakan sekolah dasar berbahasa Belanda dan melanjutkannya ke sekolah menengah keguruan Normal School.

Semasa di Barus dan Kerinci beliau terus memperdalam ilmu agamanya dengan tekun dan rajin hingga nampak bakatnya sebagai tokoh agama karena beliau mampu menguasai ilmu Al-Quran yang telah diajarkan oleh gurunya dengan baik. Di samping ajaran dari lingkungan keluarganya yang taat pada agama.

Merantau ke Jawa

Menjelang usianya ke-17 beliau memutuskan untuk pergi mencari pengalaman ke Jakarta. Di sana beliau mencari bekal hidupnya dengan cara berdagang kecil-kecilan. Barulah pada tahun 1928 beliau diterima sebagai pegawai negeri di pemerintahan Gemente Batavia (Kotapraja Kolonial Jakarta, sekarang DKI Jakarta Raya). Tak berlangsung lama beliau terkena PHK akibat resesi global pada saat itu. Kemudian beliau bekerja sebagai guru di sekolah dasar dan mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, yaitu Perguruan Rakyat, di kawasan Messter Cornelis (Jatinegara).

Selain itu, beliau beliau sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu atau pengacara yang tidak berlatarbelakang pendidikan hukum. Beliau juga kembali aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu bernama Samrah. Dari kegiatannya di bidang seni kemudian beliau berteman akrab dengan tokoh perfilman nasional sejak tahun 1933, seperti Djamaludin Malik.

Mulai Berkiprah pada Jamiyyah dan Negara

Beliau bersama Djamaludin Malik kemudian bergabung dalam organisasi Gerakan Pemuda (GP) Anshor yang saat itu sedang aktif merekrut tenaga-tenaga muda. Di organisai inilah beliau dapat meningkatkan pengetahuan agama dan keterampilannya berdakwah. Dari latar belakang pendidikannya yang menjadikannya fasih dalam berbahasa Belanda dan Inggris ditambah dengan profesinya sebagai seniman panggung, pokrol bambu, dan guru ternyata dapat menunjuang keberhasilannya sebagai juru dakwah muda yang pandai berpidato dan berdebat.

Beliau terus aktif memberikan ceramah-ceramah di bidang keagamaan terlebih tentang filsafat agama Islam walaupun beliau tidak pernah merasakan bangku Perguruan Tinggi Islam. Dari kontribusinya di bidang keagamaan inilah yang menjadikan beliau diberi gelar penghomatan “Kiai” di Pulau Jawa, tempat ia merantau.

K.H. Zainul Arifin adalah seorang manusia yang self moderman atau manusia yang berusaha keras atas usaha sendiri. Beliau menempa diri sendiri agar menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri maupun orang banyak. Maka tak heran jika beliau juga ikut berperan aktif dalam usaha kemerdekaan Indonesia semasa penjajahan Belanda dan Jepang di lingkungan pesantren.

Sosoknya sebagai pejuang agama dan bangsa mendapat perhatian kiai-kiai NU di Jakarta dan Jawa Barat. Dengan cepat beliau sudah menjadi tokoh Anshor dan mendekatkannya ke pengurus-pengurus NU pusat di Surabaya. Akhirnya pada tahun 1935 beliau kenal dan dengan K.H. Wahid Hasyim dan ditarik ke kepengurusan NU Batavia sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan selanjutnya menjabat sebagai Ketua Majlis Konsul NU se-Batavia hingga masuknya Jepang pada 1942.

Tahun 1937 dibentuk MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang merupakan organisasi federasi dan organisasi-organisasi Islam yang beranggotakan NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, dan lain-lain. Organisasi ini didirikan atas inisiatif NU dan Muhammadiyah sebagai reaksi atas campur tangan pemerintah kolonial yang terlalu jauh ikut campur terhadap syariat Islam. Beberapa kebijakannya dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu NU, Muhammadiyah, dan 13 ormas Islam Indonesia membentuk MIAI pada 21 September 1937.

Awalnya pergerakan MIAI dilarang oleh pemerintahan Jepang kemudian diperbolehkan setelah namanya berubah menjadi Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Zainul Arifin aktif di MIAI sebagai tokoh NU Jakarta. Setelah Indonesia merdeka Masyumi berubah menjadi partai politik (7 November 1945) dan beliau diangkat menjadi ketua bagian pembelaan partai Masyumi.

Kegiatan Masyumi selama pemerintahan pendudukan Jepang tidak berbeda dengan kegiatan pendahulunya MIAI, yaitu dakwah, pengembangan hidupberagama, ceramah keagamaan, penerbitan majalah Soeara Moeslimin Indonesia), kegiatan sosial untuk menolong fakir miskin, dan pengumpulan dana yang kemudian dimasukkan ke baitul mal.

Selama menjadi wakil NU dalam kepengurusan Masyumi beliau mengusulkan pembentukan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga (RT). Pada awalnya tonarigumi dibentuk di Jatinegara kemudian diadopsi oleh sebagian desa di Jawa. Beliau dengan jeli melihat pentingnya system komunikasi antar warga setingkan RT. Dengan demikian kultur dan hubungan komunikasi antar warga dapat terjaga dengan baik.

Menjelang kekalahan Jepang terhadap sekutu, Jepang berusaha membujuk dan memperalat Masyumi agar membantunya menjadi wadah Pengerahan Tenaga Masa (Romusha). Namun, kelicikan Jepang ini segera diketahui oleh K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Zainul Arifin. Kemudian Masyumi menunjuk pemimpin-pemimpin mudanya, seperti K.H. Zainul Arifin, untuk mengendalikan organisasi Masyumi agar terhindar dari maksud jahat Jepang.

Selain Masyumi, di seluruh penjuru Indonesia muncul kesatuan-kesatuan organisasi dan laskar-laskar untuk memanfaatkan kekalahan Jepan ini sebagai jalan menuju kemerdekaan. Latihan ulama dan kemiliteran mulai digalakkan sehingga berdirilah Hizbullah dan Sabilillah. Sebagian yang lain bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). K.H. Zainul Arifin ditugaskan mengikuti latihan-latihan menjadi pimpinan Hizbullah selama tiga bulan lalu diminta memimpin pertempuran melawan Jepang dan sekutu pada tahun 1945-1948.

Beliau bersama Hizbullah berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan Agresi Militer Belanda I dan II. Pada waktu itu beliau berperan memberikan arahan dan kordinasi agar berjuang membantu angkatan perang RI di bawah komando Jendral Sudirman. Beliau juga turut andil dalam mempertahankan negara bersama Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat, sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD).

Pada akhir tahun 1949 setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, beliau kembali ke parlemen dengan menjabat sebagai wakil Partai Masyumi dan menjadi wakil NU di DPRS. Kemudian beliau berkiprah di lembaga eksekutif sebagai wakil perdana menteri ke-9 di era Kabinet Ali Sastroamijoyo I tahun 1953-1955. Inilah pertama kalinya tokoh NU menjabat sebagai wakil perdana menteri.

Pada tahun 1955 beliau menunaikan ibadah haji bersama Presiden Soekarno dan sepulangnya dari sana beliau dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh raja Arab Saudi, Raja Saud. Oleh NU beliau dijadikan sebagai tokoh penting karena mampu menempatkan partai NU (yang telah memisahkan diri dari Masyumi sejak tahun 1952) ke peringkat tiga besar pemenang pemilu 1955.

Di tahun yang sama setelah pemilu 1955 beliau kembali diangkat sebagai Wakil Ketua I DPR RI. Juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan oleh Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca dekrit tersebut Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin.

Setahun setelahnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai ganti DPR hasil pemilu 1955. DPR-GR ini berkedudukan sebagai pembantu presiden atau mandataris MPRS. K.H. Zainul Arifin diangkat menjadi ketua DPR-GR periode 1960-1963 dan dilantik pada 25 Juni 1960. Beliau bersedia diangkat sebagai ketua DPR-GR sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen.

Di tengan suhu politik yang memanas memunculkan kejadian yang tidak terduga pada 14 Mei 1926. Yaitu adanya insiden penembakan yang dilakukanoleh pemberontak DI/TII terhadap Presiden Soekarno yang sedang melaksanakan shalat Idul Adha berjamaah di lapangan terbuka depan istana negara. Dalam insiden ini Presiden Soekarno selamat tetapi peluru tersebut mengenai dada K.H. Zainul Arifin.

Pelaku penembakan berasal dari barisan ketiga yang menodongkan pistok ketika hendak melakukan gerakan dari rukuk (i’tidal). Pelaku mengambil pitolnya ketika rukuk dan melesatkan tembakan seketika itu. Beberapa pengawal presiden sempat menepisnya dan justru malah mengenai K.H. Zainul Arifin yang berada tepat di samping presiden.

Beliau tersungkur akibat peluru yang mengarah padanya. Beliau segera dilarikan ke rumah sakit Gatot Subroto dan menjalani perawatanselama sepuluh bulan. Sejak terjadinya insiden penembakan tersebut Presiden Soekarno tidak pernah lagi melaksanakan sholat berjamaag di lapangan terbuka.

Sejak terjadinya insiden itu K.H. Zainul Arifin tidak pernah dinyatakan sembuh. Bahkan berkali-kali keluar masuk rumah sakit selama sepuluh bulan. Diperparah dengan adanya komplikasi penyakit yang dideritanya. Tepat pada 2 Maret 1963 beliau meninggal dunia setelah mengalami koma selama beberapa hari. Keesokan harinya beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

Meneladani Kiprah K.H. Zainul Arifin

K.H. Zainul Arifin adalah salah satu tokoh yang bergerak memperjuangkan kemerdekaan dan menumbuhkan nilai-nilai patriotisme yang lahir dari kaum sarungan. Beliau merupakan orang yang terkenal ulet dan piawai dalam mengatasi permasalahan. Tak heran sepeninggal tokoh-tokoh besar NU, K.H. Wahab Hasbullah sering kali menyerahkan urusannya kepada beliau.

K.H. Zainul Arifin bukan hanya tokoh yang sekedar memiliki kapasitas intelektual dan keulamaan saja, namun beliau memiliki kemampuan kemiliteran yang pernah menjabat sebagai panglima tertinggi pasukan Hizbullah. Dari sinilah beliau dicatat dalam sejarah sebagai tokoh yang memiliki kontribusi dan perjuangan sejak masa revolusi hingga menjelang kemerdekaan bahkan turut andil dalam pembentukan negeri.

K.H. Zainul Arifin adalah tokoh yang juga gemar seni dan kebudayaan karena beliau sering kali menampilkan seni sandiwara musikal tradisional Betawi di atas panggung. Beliau juga sangat mencintai lagu-lagu Minangkabau yang sering kali dinyanyikan bahkan sebelum wafatnya beliau masih menyanyikan lagu “Lah Laruik Sanjo” di atas ranjang rumah sakit.

Beliau menilai bahwa seni dan budaya adalah sesuatu yang paling dekat dengan masyarakat maka tak heran jika Walisongo menjadikannya sebagai media dalam berdakwah dengan cara melebur pada budaya sembari menyelipkan dakwah Islam sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Bukan lantas menghapus budaya yang ada seperti yang dilakukan oleh penganut paham radikal.

K.H. Zainul Arifin adalah bukti nyata bahwa berpolitik sebagai sarana perjuangan adalah sebuah aksi kepahlawanan. Beliau berjuang sebagai tokoh NU, Masyumi, pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, anggota Konstituante, dan Ketua DPR-RG. Beliau adalah tokoh politik yang dipercaya rakyat karena mempertahankan moralitas dalam berpolitik. Politik bagi beliau adalah lahan membantu aspirasi rakyat, bukan sebagai lahan kekuasaan.

Beliau tentu memiliki kontribusi besar di kejam’iyyahan dan kebangsaan. Apalagi beliau selalu mengawal pergerakan PKI dan beberapa lawan-lawan yang ada di militer maupun di pemerintahan. Hingga pada suatu insiden penembakan dari pemberontak yang masuk sebagai jamaah shalat Idul Adha dan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Namun peluru tersebut justru mengenai K.H. Zainul Arifin dan membuatnya wafat setelah menjalani proses perawatan di rumah sakit.

Penulis: Lukman Al Khakim

Daftar Pustaka

Anam, Khoirul. Berjuang dan Mengawal Bangsa untuk Membangun Tradisi Islam Nusantara. Tangerang: Pustaka Compass. 2015.

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama “Sejarah NU 1952-1967”. Yogyakarta: LkiS. 2011.

Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1998.

Helmi, Ario. K.H. Zainul Arifin Pohan Panglia Santri Ikhlas Membangun Negeri. Tangerang: Pustaka Compass. 2015.

Sari, Eva N. I. Perjuangan Panglima K.H. Zainul Arifin dalam Organisasi Laskar Hizbullah tahun 1944-1948. Skripsi. Banten: IAIN Sultan Maulana Hasanuddin. 2017.

Siahaan. K.H. Zainul Arifin. Jakarta: Proyeksi Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1984.

Suprapto, Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya,dan Sejarah Perjuangan 15 Ulama Indonesia. Jakarta: Gelegar Media Indonesia. 2009.

Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang Pesantren. Yogyakarta: LKiS. 2001.

Tinggalkan Balasan