Isra’ Mi’raj Perspektif Ilmu Pendidikan

Isra Mi'raj

Tepat Hari ini 27 Rajab, umat Islam memperingati peristiwa supra-rasional yang terjadi 15 Abad yang lalu dalam sejarah peradaban manusia. Sebuah peristiwa yang hingga saat ini belum terpecahkan oleh ilmu sains modern, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj.

Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad dari Makkah (Masjidil Haram) menuju Palestina (Masjidil Aqsha), kemudian mengarungi alam semesta raya hingga ke Sidratul Muntaha dengan menaiki kendaraan super cepat nan canggih bernama Buraq.

Baca juga Arus Sejarah Peradaban Perempuan

Sebagai sebuah peristiwa besar (baca: mu’jizat), Isra’ Mi’raj mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik sekaligus menjadi inspirasi dalam berbagai hal, di antaranya berkaitan tentang pendidikan, karena bagaimanapun juga salah satu tugas Rasul adalah Tabligh, menyampaikan ajaran wahyu, hal ini meniscayakan bahwa Rasul merupakan seorang pendidik bagi umatnya.

Sebagai seorang pendidik, Kanjeng Nabi merupakan sosok yang sempurna dalam kepribadian dan menjadi panutan (uswah hasanah) karena perilaku Nabi yang senantiasa terkontrol oleh wahyu. Dalam kajian Ilmu Ushul Fiqh, semua hal yang terkait dengan Kanjeng Nabi, baik berupa ucapan (Qaulan), perbuatan (Fi’lan) dan persetujuan (taqriran) merupakan salah satu sumber penetapan hukum Islam (Mashadirus Syariah).

Dalam perspektif ilmu pendidikan, terdapat beberapa unsur utama yang sangat penting dan harus ada, sehingga proses pendidikan dapat berjalan dengan lancar dan efektif demi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Unsur tersebut antara lain; tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi dan metode pendidikan serta lingkungan belajar. Berangkat dari perspektif inilah, akan kita ulas bersama urgensi Isra’ Mi’raj bagi Kanjeng Nabi sebagai seorang pendidik, agar kita umat beliau mampu mengambil ibrah dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Para ahli pendidikan menyatakan, seorang pendidik haruslah mempunyai tiga kriteria berupa Personal-Religius, Social-Religius, dan Profesional-Religius. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, -seorang tokoh pendidikan Mesir- menyebutkan bahwa tiga kriteria tersebut merupakan kristalisasi dari beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, seperti: zuhud, bersih, ikhlas, pemaaf, mampu berperan sebagai orang tua (red: bapak) bagi murid/santrinya, mengenal kebiasaan murid, Menguasai materi dan berwibawa.

Peristiwa Isra’ Mi’raj jika dilihat dari kacamata mukjizat hanya akan menampakkan sebuah perjalanan supra-rasional saja. Namun jika dilihat dari kacamata filsafat pendidikan, maka di dalamnya mengandung banyak hal yang berkaitan dengan ilmu pendidikan terutama bagi pendidik, antara lain yaitu :

  1. Sebelum memulai perjalanan Isra’ Mi’raj, Malaikat Jibril membelah dada Kanjeng Nabi dan menyucikan hati (qalb) Kanjeng Nabi dengan air zamzam serta membuang segumpal darah hitam. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang harus berproses untuk menyucikan jiwa dan raga dari segala sifat tercela sebelum menjadi seorang pendidik, karena dalam Islam proses belajar dan mengajar merupakan ibadah, sehingga harus dilakukan dalam kondisi jiwa yang bersih dan dilandasi dengan keikhlasan. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Allah mengucurkan rahasia ilmu ke dalam hati manusia melalui para malaikat, dan mereka tidak akan menanamkan rahasia ilmu itu kecuali ke dalam jiwa yang bersih dan hati yang suci.
  2. Isra’ Mi’raj dilakukan pada malam hari menjadi penanda bahwa malam adalah waktu yang istimewa terutama berkaitan dengan pendidikan. Hal ini karena malam merupakan waktu yang berkesan dan tepat untuk bertafakkur serta tidak terganggu dengan kebisingan dunia, sehingga mampu menciptakan kekhusyukan dan kesyahduan yang lebih besar dibandingkan dengan siang hari. Kondisi ini sangat baik digunakan untuk belajar. Kesyahduan malam menjadikan ingatan lebih mudah diendapkan dalam kulit otak, karena saat itu pikiran tidak bercabang.
  3. Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan mengarungi alam semesta yang bertujuan untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah (linuriyahu min ayatina) kepada Kanjeng Nabi. Ini merupakan isyarat Allah bahwa seorang pendidik haruslah berwawasan luas. Hal ini akan tercapai jika seorang pendidik telah berkelana dan mengarungi luasnya samudra ilmu pengetahuan.
  4. Saat Mi’raj, Kanjeng Nabi dipertemukan dengan Nabi-Nabi terdahulu yang memiliki berbagai latar belakang dan keahlian yang berbeda-beda. Ini merupakan isyarat Allah bahwa seorang pendidik harus menimba pengalaman dari kesuksesan yang dialami oleh para tokoh pendahulu terkait tugasnya sebagai pendidik, antara lain dalam mengembangkan ilmu, kebudayaan dan peradaban. Karena pengetahuan, kebudayaan dan peradaban tidak keluar dari ruang hampa, melainkan muncul dari proses dialektika yang panjang.
  5. Saat Isra’ Mi’raj, Kanjeng Nabi dihadapkan pada beberapa pilihan minuman berupa susu, arak, madu dan air, namun Kanjeng Nabi lebih memilih susu daripada minuman lainnya. Ini merupakan isyarat bahwa seorang pendidik ketika dihadapkan pada beberapa pilihan sekaligus, ia tidak memutuskan hanya dengan berlandaskan hawa nafsu. Selain itu susu merupakan simbolisasi fitrah dan kesucian, keduanya dipertautkan oleh kesamaan yang mendasar, yaitu hal yang pertama kali masuk pada diri manusia dan hal yang paling dominan dalam membentuk manusia sejak bayi.
  6. Puncak dari Isra’ Mi’raj’ adalah ketika Kanjeng Nabi memandang Dzat Allah (Nabi melihat Allah dengan hatinya, tanpa tempat, tanpa arah, tanpa bentuk, tanpa ukuran, tanpa bersifat dengan sifat-sifat makhluk, dan tanpa bisa dibayangkan serta tanpa bisa dibagaimanakan, -red) tidak ada kenikmatan yang melebihi situasi perjumpaan seorang hamba dengan sang pencipta, hal ini sekaligus penegasan akan keagungan maqam Kanjeng Nabi sebagai Habibullah. Namun, pada titik ini Nabi akhirnya tetap kembali ke bumi untuk membimbing umat. Ini menjadi isyarat bahwa seorang yang berada dalam puncak tangga pencarian ilmu haruslah kembali membumi guna mengajarkan dan menyebarkan apa yang telah diperolehnya, karena di antara tujuan daripada perjalanan intelektual adalah untuk diamalkan.
  7. Sebelum pulang ke bumi Kanjeng Nabi mendapatkan kado Istimewa yang tidak hanya dinikmati oleh dirinya sendiri, namun juga untuk umatnya secara keseluruhan, yaitu berupa perintah shalat lima waktu dalam sehari semalam dengan tata cara yang langsung beliau contohkan. Ini mengisyaratkan bahwa seorang pendidik tidak boleh membiarkan muridnya pulang dengan tangan hampa, harus ada sesuatu yang diperoleh dan dibawa pulang, yaitu sesuatu yang bisa menolong dirinya dan masyarakat. Ini juga mengisyaratkan bahwa proses pendidikan harus mampu melahirkan generasi bermanfaat bagi masyarakat, bukan malah menjadi beban bagi masyarakat.

Tujuh hal di atas menunjukkan bahwa Isra’ Mi’raj bukan hanya perjalanan rekreasi spiritual Kanjeng Nabi, namun juga rekreasi intelektual yang sarat akan teori pendidikan. Hikmah peristiwa ini mampu diimplementasikan dalam dunia pendidikan serta menjadi salah satu referensi untuk membangun pendidikan kita ke depan.

Penulis: Umar Abdul Hasib (Santri Penikmat Kopi)

Daftar Bacaan :

  1. Hasiyah Dardiri Mi’’raj
  2. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha
  3. Tafsir Ruh al-Bayan.
  4. Nur al-Dhalam syarh Aqidatil Awam.
  5. Anwarul Bahiyyah min Isra’ wa Mi’’raji Khairil Bariyyah.

One Response

Tinggalkan Balasan