Tasawuf diibaratkan seperti pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat. Karena tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya sampai saat ini kian dirasakan. Misi utama kerasulan Nabi Muhammad ialah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Kacamata sejarah mengatakan bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.
Baca juga Pengantar Tasawuf; Sejarah, Perkembangan, dan Coraknya
Meneropong jauh ke belakang munculnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Isam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad diutus Rasulullah untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Nabi Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada waktu itu.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Nabi Muhammad bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problematika hidup yang beraneka ragam, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari Tuhan, mencari makna sejati hakikat kebenaran. Dalam situasi yang sedemikianlah Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah yang penuh berisi ajaran-ajaran dan ketentuan-ketentuan sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul merupakan manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.
Keberhasilan Rasulullah tidak hanya sampai di situ saja karena adanya peran para Khalifah yang kita kenal dengan al Khulafaur ar-Rasyidin yang mana telah berhasil melanjutkan tonggak estafet dalam keberhasilan misi Rasulullah. Di bawah kepemimpinan al Khulafaur ar Rasyidin terbukti dengan perluasan kekuasaan Islam dalam hal politik yang amat pesat hampir meliputi seluruh bagian dunia.
Kesuksesan yang luar biasa ini bukan berarti tanpa akibat, hal-hal yang memerlukan perhatian lebih pada masa itu adalah yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat, secara integral ini membutuhkan tuntunan atau batasan sebagai koridor dengan dinding ajaran yang sesuai syariat Islam, yang mana pada waktu itu pemahaman tentang hukum agama fikih ini lebih dominan. Sampai keseluruhan aspek ini ditimbang melalui kacamata fikih baik secara aspek eksoterisme (dzahir) dan esoterisisme (batin). Padahal dalam pengaplikasiannya keduanya harus berjalan beriringan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Kemunculan dan perkembangan tasawuf didasari oleh beberapa faktor yang tidak dapat dipungkiri. Dalam perspektif sejarah, tasawuf muncul dan berkembang sebagai akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pada rezim pemerintahan Dinasti Umawi di Damaskus. Dikutip dari pendapat Syaikh Fadhlallah Haeri mengatakan bahwa kemunculan sufisme bermula dari abad pertama hijriah, sebagai bentuk perlawanan terhadap semakin merajalelanya penyimpangan dan representasi ajaran-ajaran Islam secara liar khususnya yang dilakukan oleh lara pemimpin zaman tersebut.
Dalam realitas historis kelahiran tasawuf dalam Islam bermula dari gerakan zuhud yang menjadi akar kemunculan aliran tasawuf Islam. Jadi, sebelum orang-orang sufi lahir dan berkiprah dalam panggung sejarah, sudah mulai ditemukannya orang-orang zahid yang secara tekun mengamalkan dan mengaktualisasikan ajaran esoteris Islam yang nantinya dalam perkembangannya dikenal dengan tasawuf Islam.
Istilah Tasawuf mulai terdengar pada kisaran tahun 150 H – 200 H. oleh Hasan al Basri (kitab tazkiyah ahlussunah wal jamaah). Menurut beberapa penelitian, di penghujung abad ke-2 Hijrah mulai terdengar kata-kata tasawuf dan orang pertama yang mendapatkan gelar sufi ialah Abu Hasyim al-Kufi (150 H.). Meskipun pada masa itu sudah terdengar kata-kata sufi, tetapi belum berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai sebuah literatur ilmu, ini masih dalam perkembangan dari Zuhud menuju ke arah tasawuf. Perkembangan Zuhud ke arah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis baru mulai nampak pada permulaan abad ke-3 H.
Fase fase perkembangan tasawuf. Secara kronologis historis pertumbuhan tasawuf, terdapat fase-fase.
- Periode I masa Rasulullah (13 sebelum Hijrah – 11 H.)
Kehidupan Rasulullah merupakan sanad pertama dalam transmisi tasawuf. Memang, istilah tasawuf pada masa Rasulullah belum dikenal bahkan jauh setelah kehidupan nabi, namun secara praktis telah menunjukkan dan melakukan praktik kehidupan spiritual, yang saat ini dikenal dengan tasawuf. Banyak contoh yang ditunjukkan dan dilakukan nabi, di antaranya dilakukan sebelum Nabi mendapatkan risalah, bahwa pada setiap bulan Ramadhan nabi tidak pernah untuk melakukan tahannuts dan khalwah di Gua Hira untuk mendapatkan hidayah dan bimbingan dari Allah. - Periode II masa Sahabat (11 H – 40 H)
Ciri menonjol dari prilaku tasawuf para sahabat adalah senantiasa memegang teguh pada ajaran keruhanian yang bersumber dari Al-Qur’an dan meneladani perilaku Rasulullah. - Periode III Masa Tabi’in (41 H-100 H)
Di antara tabi’in generasi ini, yang sering dianggap sebagai peletak dasar ajaran tasawuf adalah Hasan al-Basri, ia merupakan murid terdekat dari Hudzaifah bin al-Yaman, yang dibesarkan di bawah asuhan Ali Bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 21 H (632 M) di Madinah. Hasan al-Basri dianggap sebagai orang pertama yang merintis ilmu tasawuf dan mengajarkannya di Masjid Basrah. Ajaran-ajaran tasawuf beliau senantiasa berjalan selaras dengan Al-Quran dan Hadits, karena memang Al-Basri adalah seorang ahli Hadis clan ahli Fikih yang mempunyai mazhab sendiri.
Tokoh lain yang hidup pada periode ketiga (masa tabi’in) ini adalah seorang sufi wanita, Rabi’ah al-Adawiyah. Beliau juga hidup di penghujung masa tabi’in. Pandangan tasawuf yang terkenal dari Rabi’ ah adalah konsep cinta (mahabbah) murni kepada Allah.
- Periode IV Masa Penyebaran Tasawuf (100 H-450 H)
Pada masa ini perkembangan tasawuf dibilang sangatlah pesat, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan metafisika. Tasawuf pada masa ini sudah mulai mengembangkan sayapnya ke ranah luar arab, seperti Iran, India, Afrika, dan lain-lain.
Tasawuf pada masa ini ditandai dengan beberapa hal di antaranya. Pertama, mulai tumbuhnya tarekat-tarekat dan mulai adanya ketentuan dzikir-dzikir untuk diamalkan, di antaranya: Tarekat as- Syuqtiyah (syaikh Sirri as-Suqti), Tarekat Nuriyah ( Abul Husain an- Nuri), Tarekat Khazariyah ( Abu said al- Khazzar), dan Tarekat Malamatiyah (Al – Qashshar). Kedua, mulai masuknya ajaran filsafat ke dalam ranah tasawuf. Di antaranya Al fana’, al Baqa’, al ittihad, al-hulul dan nur Muhammad. Ketiga, masuknya pengaruh syiah sehingga menimbulkan ajaran tentang wali, ada yang disebut wali Qutub, Ghauts, Abdal, Autad, Nujaba’, Nuqaba.
- Periode V Masa Pencerahan Tasawuf (450 H-550 H)
Pada periode ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya pada periode sebelumnya, upaya ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya telah menemukan momentumnya secara nyata. Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali merupakan tokoh sufi yang sangat masyhur pada masa itu, dan hingga sekarang masih bisa dirasakan besarnya pengaruhnya dalam pergulatan Islam.
Kehadiran al Ghozali dalam panggung sejarah tasawuf telah membawa tasawuf pada corak dan karakteristik yang khas Sunni. Tasawuf yang pada periode sebelumnya seakan dipertentangkan dengan fikih, ilmu kalam dan filsafat kini dapat dipertemukan kembali dengan domain kajian Islam lainnya terkhusus fikih dan kalam
- Periode VI Masa Kejayaan Tasawuf Falsafi (550 H-700 H.)
Dimasa ini muncul para ulama sufi yang menggabungkan antara tasawuf dengan unsur filsafat, diantanyanya ada Suhrowardi dengan pikiran filsafatnya yaitu Isyroqiyah. Ibnu Arabi dengan ajarannya yaitu wahdat al wujud dan lain-lain. - Periode VII Masa Pemurnian Tasawuf (700 H.)
Pada periode ini mulai bermunculan para pemurni tasawuf islam yang menghapuskan ajaran tasawuf yang menyalahi aturan syariat, Memang secara historis, semenjak meninggalnya al-Ghazali, tasawuf telah mengalami distorsi. Tasawuf telah banyak bergesekan dan bahkan bercampur-baur dengan filsafat-filsafat Yunani, Hindu, Persia dan filsafat-filsafat lain, bahkan menurut para pemurni tasawur masuk juga perasaan-perasaan yang membuatnya terlepas dari trilogi Islam, yaitu aqidah, syariat, dan tasawuf. Mereka bertujuan untuk membersihkan dan memurnikan ajaran tasawuf, agar kembali dari distorsi yang dianggap mengotori tasawuf tersebut. Mereka. ingin mengembalikan tasawuf kepada AI-Quran dan AI-Sunnah, di antaranya ada ibnu Taimiyah, ibnul Jauzi, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan masih banyak lagi.
Akar sejarah tasawuf di Sudan
Latar belakang masuknya Islam di Sudan sudah dimulai sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan, Beliau mengutus sahabat bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh ke Mesir untuk menjadi gubernur di bumi Kinanah tersebut. Setelah menjadi gubernur, Abdullah ingin memperluas ekspansi dakwah Islam dengan menaklukan kerajaan Nouba (Kerajaan Kristen di Sudan) pada saat itu. Ketika itu gubernur bersama bala tentaranya untuk pergi ke Nouba, namun mereka hanya sampai di Donggala pinggiran utara Sudan. Bentuk perjuangan dakwahnya pun dimulai dengan membangun masjid, sehingga dalam sejarah terkenal dengan masjid pertama di Sudan yang dinamai Masjid Sahabat Abdullah bin Abi Sarh.
Seiring berjalannya waktu, penyebaran Islam di negara-negara Afrika maupun kawasan yang sudah termasuk bagian dari Sudan berdampak dengan banyaknya imigran-imigran muslim dari Mesir menyebrang melalui Darba’ Arbain, pelabuhan Aizab, Mushowwa dan wilayah-wilayah sekitarnya. Begitu juga muslim dari Jazirah Arab dan Maroko mulai berbondong-bondong hijrah ke Sudan. Hal ini semakin menjadi pertanda kuatnya arus penyebarluasan Islam masuk ke Sudan.
Tasawuf mempunyai dua sisi penting yang selalu berdampingan dan tidak bisa dipisahkan, yaitu suluk (akhlak) dan ibadah. Dalam hal ini, tasawuf merupakan pengaplikasian dari makna Ihsan (salah satu dari trilogi umat Islam). Hingga sekarang madrasah tasawuf mencetak ulama dalam bidang keilmuan islam. Tasawuf memiliki rekam sejarah dalam penyebaran agama Islam di Sudan, para Sejarawan Sudan mengatakan bahwasanya masuknya Islam ke Sudan melalui perjuangan para tokoh Sufi yang mengenalkan dakwah Islam secara bertahap melalui metode-metode tasawuf.
Salah satu peran dari tokoh Sufi diantara yang bernama Syekh Ghulamullah Ibnu ‘Aid Ar-Rikabi, seorang alim penganut tarekat Syadziliyah dari negara Yaman melalui pelabuhan Mushouwa’ bermukim di wilayah Donggola, beliau menemukan beberapa masyarakat muslim yang sudah tinggal di wilayah tersebut, hanya saja mereka belum mengenal Islam secara dalam kecuali hanya syahadat dan shalat. Beliau pun memutuskan untuk berdakwah dengan membuat khalwah untuk mengajarkan Islam lebih dalam dan menghafal Al-Qur’an serta membangun masjid. Khalwah inilah yang sekarang dikenal sebagai khalwah tertua di Sudan.
Di antara tokoh yang berperan penting dalam penyebaran tasawuf di Sudan adalah Syaikh Hammad Abu Dannanah merupakan tokoh yang pertama kali menyebarkan tarekat Syadziliyah di Sudan. Beliau merupakan menantu dari pengarang Dalailul Khairat Syekh Sulaiman al-Jazuli, yang menikahi putri Syekh Sulaiman Al-Maghribi. Kemudian beliau dan istrinya hijrah ke Sudan, dan melahirkan beberapa keturunan yang semuanya adalah perempuan dan sangat terkenal dengan kewaliannya. Kemudian ada syaikh Syekh Tajuddin Muhammad al-Buhari berasal dari Baghdah, Irak. Sebelumnya beliau tinggal di Makkah al-Mukarramah kemudian melanjutkan perjalanan dakwahnya sampai di Sudan. Hingga akhirnya beliau dikenal sebagai orang pertama yang mengajarkan tarekat Qadiriyyah di Sudan.
Di kawasan wilayah Nil putih ada Syaikh Mahmud al-Arraqiy, penganut tarekat Syadziliyah, beliau merupakan ulama yang pertama kali mengajarkan ilmu mengenai nikah di Sudan, terutama Bab Talak dan Iddah. Diriwayatkan bahwa dahulu penduduk Sudan menikah di pagi hari dan mentalak istrinya di sore hari. Sejak datangnya Syekh Mahmud Al-Ar-Raqiy tidak ada lagi adat seperti itu. Melihat latar belakang tersebut semakin bermunculan tarekat Sufi yang berkembang di Sudan.
Dari sekian banyaknya tarekat yang ada di bumi seribu darwis ini yang menjadi mayoritas dan mempunyai banyak pengikut di antaranya; Tarekat Qodiriyah (Syekh Abdul Qodir al-Jaelani), Tarekat Sammaniyah (Syaikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani), Tarekat Khotmiyyah (Syaikh Muhammad bin Utsman al-Khotmi), Tarekat Tijaniyah (Syekh Abul Abbas Ahmad At-Tijany), Tarekat Ahmadiyah (Syekh Ahmad al-Badawy) dan Tarekat Syadziliyah (Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili dan lain sebagainya.
*Tulisan ini merupakan hasil kajian Halaqah Ilmiah LAKPESDAM NU Sudan dengan tema, “Akar Histori Perkembangan Tasawuf” pada Senin, 30 Januari 2023. Pemantik: Ustazah Mala Himmah Ulya B.A.
Penulis: Riyan Abiwahyu Prihatin (Aktifis Lakpesdam NU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
2 Responses