Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) NU Sudan telah mengadakan Webinar Kebahasaan secara daring. Webinar tersebut diadakan Jumat, 30 Desember kemarin, pukul 14.00 CAT atau 19.00 WIB. Materi Webinar disampaikan menggunakan tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris oleh narasumber yang ahli di bidangnya.
Baca juga Mahasiswa Indonesia Sabet Juara Pertama Perlombaan Pidato Bahasa Arab Internasional
Pada webinar kebahasaan ini demonstrasi bahasa Arab disampaikan oleh Oman Karya Suhada, M.Ed., alumnus Khartoum Internasional Institute For Arabic Language Sudan. Sedangkan bahasa Inggris disampaikan oleh Faridlatus Sya’adah, M.Hum., dosen bahasa Inggris di STAI Al-Anwar Rembang. Serta dihadiri Dr. Kiai Ribut Nur Huda, M.A., selaku Mustasyar PCINU Sudan dan keynote speaker.
LPBA NU Sudan merasa penting menanamkan kesadaran akan pentingnya bahasa asing bagi masyarakat sebagai warga dunia dan memberikan pemahaman tentang peluang dan juga tantangan ketika sudah menguasai bahasa asing. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bahasa merupakan perantara komunikasi yang bertujuan memberi pemahaman kepada lawan bicara tentang maksud yang ingin diutarakan.
Di dunia yang kita diami ini terdapat beragam bangsa dan negara dengan beragam bahasa. Bahasa pemersatu sangat diperlukan untuk dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan antar bangsa. Saat ini bahasa Inggris masih menjadi bahasa internasional yang digunakan oleh hampir seluruh negara di dunia. Miss Sya’adah menuturkan bahwa Bahasa Inggris digunakan hampir si seluruh bidang, di antaranya bisnis, diplomasi, sains, pendidikan, teknologi, dan bidang lainnya.
Sedangkan bahasa Arab, yang merupakan bahasa asli negara-negara Timur Tengah, kini telah digunakan oleh lebih dari 23 negara di dunia, bahkan pada bulan Desember ini, Parlemen Liga Arab telah membentuk undang-undang yang bertujuan untuk mengembangkan bahasa Arab. Selain itu, baru-baru ini Bahasa Tiongkok juga mulai eksis di kancah internasional, dibuktikan dengan penggunaan Bahasa Tiongkok di beberapa bandar udara.
Kiai Ribut, selaku keynote speaker, menukil perkataan Ludwin von Wittgenstein, seorang filsuf Jerman, bahwa haddu alamiy haddu lughati (batas bahasaku adalah batas duniaku). Maksud ungkapan ini adalah dunia yang kita lihat sebatas bahasa yang kita kuasai. Jika kita hanya menguasai bahasa ibu dan tidak mempelajari bahasa asing lainnya maka dunia ini sebatas negara kita saja, padahal dunia ini begitu luas. Itu karena bahasa adalah nilai peradaban, pintu memahami keilmuan, dan perantara pembuka hubungan diplomasi.
Pada konteks yang sama, Kiai Oman juga menekankan bahwa bahasa itu universal, bisa dipelajari oleh siapa pun dan di mana pun tidak dibatasi oleh agama ataupun wilayah. Adapun relasi bahasa Arab dengan agama, yaitu seperti yang diungkapkan oleh Umar bin Khattab, “Pelajarilah Bahasa Arab karena itu sebagian dari agamamu”. Di era global ini menguasai bahasa Arab saja tidak cukup, sebagaimana yang dikatakan Miss Sya’adah bahwa umat muslim butuh sebuah alat untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh negeri, alat itu adalah bahasa Inggris.
Hal-hal yang telah disebutkan menunjukkan betapa krusialnya bahasa dalam kehidupan berwarganegara. Bahasa bukan sekadar sebagai alat berpikir melainkan juga alat untuk memetakan pemikiran umat manusia. Bahasa juga sebagai kunci untuk membuka pintu-pintu perbatasan antar negara. Oleh karena itu, sebagai masyarakat internasional, suatu keharusan bagi kita menguasai bahasa asing untuk dapat menembus seluruh lapisan dunia.
Namun, perlu diingat di sini bahwa bahasa adalah berbicara. Maka orientasi mempelajari bahasa asing adalah agar dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai negara, tak cukup hanya untuk dapat memahami tulisan. Kiai Ribut dalam risetnya, berani menuturkan bahwa keterampilan berbahasa (Al-Maharat Al-Lughowiyah) hanya ada 2, yaitu Kalam (Speaking) dan Istima’ (Listening). Pernyataan ini telah diterima oleh Pusat Pendidikan Bahasa Arab Negara-Negara Teluk, Uni Emirat Arab.
Beliau menyandarkan pernyataannya pada perkataan Ibnu Jinni bahwa “al-lughatu ashwatun laisa rumuzan” (bahasa adalah suara, bukan rumus). Maka saat mempelajari suatu bahasa, jangan terlalu fokus pada retorika (shorof), gramatikal (nahwu), atau balaghahnya saja, melainkan bagaimana agar dapat berinteraksi menggunakan bahasa tersebut. Karena realitanya, tak sedikit yang paham kaidah bahasa, namun tidak dapat menggunakannya secara verbal (ta’bir).
Pernyataan tersebut sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Tholib, “Belajar fikih untuk agama, belajar kedokteran untuk kesehatan, dan belajar nahwu untuk menjaga lisan”. Perkataan ini membuktikan bahwa mempelajari kaidah-kaidah bahasa hanya untuk menjaga lisan dari kesalahan namun tidak melatih kita untuk berbicara.
Di era modern ini kemampuan berbahasa asing juga dapat meningkatkan prospek kerja seseorang. Sejak dulu hingga sekarang perusahaan maupun instansi mensyaratkan pegawainya melek huruf. Namun, makna melek huruf di era ini bukan sekadar dapat membaca dan menulis, namun juga mampu menguasai bahasa asing, sebagaimana yang dituturkan oleh Prof. Mahmud bahwa zaman dulu orang yang buta huruf adalah orang yang tidak bisa baca tulis, namun sekarang, orang yang buta huruf adalah orang yang tidak bisa menguasai bahasa dan teknologi.
“..makna melek huruf di era ini bukan sekadar dapat membaca dan menulis, namun juga mampu menguasai bahasa asing”
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)