Baca juga Menggugat “Tuhan yang Maskulin”
Belakangan ini, marak tersebar berita aksi protes dan perlawanan warga Afghanistan setelah Taliban berhasil menghegemoni negaranya. Terlebih dalam kasus hangat pada akhir tahun bahwa Taliban melarang keras perempuan untuk menduduki bangku universitas yang memicu berbagai kecaman internasional. Dilansir dari kompas.com bahwa seorang professor Universitas Kabul menghancurkan ijazahnya di siaran langsung TV Afghanistan, dan banyak protes keras perempuan-perempuan di Taliban yang setia pada perlawanan bahkan rela mengorbankan hidup mereka demi keadilan. Taliban tampaknya juga memprakarsai radikalisasi dan ekstrimisme Islam sambil mempertahankan cengkeraman institusional yang kuat pada agama dan budaya seperti; memutuskan metode apa saja yang dapat diajarkan di beberapa sekolah dan siapa saja yang “boleh” belajar dan mengajar untuk mengontrol sistem hukum negara tersebut yang bisa dibilang “bias gender”.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa narasi dan taktik taliban dalam menciptakan ramuan Islamis demi mewujudkan hukum Islam di negaranya justru kontradiktif dengan hukum Islam itu sendiri, terutama dalam urusan pendidikan. Di beberapa teks agama nabi Muhammad saw. jelas menuturkan bahwa menuntut ilmu itu adalah wajib (fardhu ‘ain) bagi Muslim dan Muslimah. Perkataan tersebut bertendensi justru bukan hanya menjadi sebatas hak tetapi adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab bagi setiap Muslim dan Muslimah. Apakah Taliban melupakan sejarah Islam bahwa Sayyidah Aisyah ra. adalah pakar Hadits bahkan menjadi rujukan beberapa ulama laki-laki di masa lampau? Rupanya Taliban seolah juga melupakan bahwa mereka pernah terlahir dari rahim perempuan.
Lalu, bagaimana konsepsi hukum Islam terhadap kesetaraan hak laki-laki dan perempuan?
Berbicara mengenai hukum Islam, tentu kita tidak bisa lepas dalam kendali Al-Qur’an sebagai pedoman hidup ummat Muhammad. Banyak ayat yang merepresentasikan terkait hal ini. Menilik dari beberapa ayat Qur’an dalam hal kesetaraan Gender yang terkonstruksi secara ideal terdapat cuplikan ayat dalam surat An-Nahl: 97
“Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Berdasarkan ayat tersebut, dapat diartikan bahwa berpendidikan atau menuntut ilmu adalah salah satu dari praktik amal sholeh. Jika perempuan muslim diberikan akses pendidikan yang kuat maka akan berdampak signifikan terhadap relasi gender dalam segi maslahat. Mendidik perempuan akan memiliki suatu kebermenfaatan besar bagi keluarga dan masyarakatnya, apalagi perempuan mempunyai peran yang fundamental dalam mendidik anak.
Tentu dapat dipikirkan secara logika bahwa hal ini akan menghasilkan distribusi modal yang besar dalam menciptakan generasi penerus bangsa. Menurut para ahli hukum dan Cendekiawan Muslim, menuntut ilmu bagi perempuan juga merupakan syarat maqasid dan mashalih mursalah atau kemaslahatan umum, selain itu mengejar kebaikan publik adalah maqasid , (maksud/tujuan) hukum dalam pemerintahan Islam. Al-Qur’an mendesak umat Islam untuk meningkatkan kehidupan komunal mereka dan saling mendukung satu sama lain.
Premis (Belajar dari Afghanistan)
Asumsi ketika melihat kasus Afghanistan yang diracuni oleh berbagai basis radikalisme dan ekstrimisme Taliban, rasanya perlu untuk menelaah kembali bibit-bibit tersebut sedikit banyak muncul di negeri sendiri, Indonesia. Bagaimana jika pencegahan radikalisme dan ekstrimisme dimulai dari peran pendidikan?
Mengutip dari sebuah jurnal proyek penelitian eropa mengenai “Ketahanan dan Pencegahan Ekstrimisme Melalui Pendidikan” dalam konteks ini pendidikan memainkan peran penting. Polarisasi masyarakat, gerakan ekstremisme, dan serangan ekstremis sedang meningkat dan semuanya menjadi motivasi dalam pengembangan kebijakan.
Seperti yang dibuktikan oleh sejumlah penelitian, di Indonesia pengintaian terhadap anak-anak dalam tingkat Sekolah Dasar dan Menengah bahkan Taman Kanak-anak beresiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme. Maka hemat penulis, penting kiranya dimulai dari sektor pendidikan untuk menekankan pentingnya membangun ketahanan terhadap radikalisasi melalui misalnya, mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan berbagai keterampilan yang berkaitan dengan critical thinking (berprikir kritis) dengan tujuan untuk meningkatkan warga negara yang toleran, berpendidikan, dan nalar kritis yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi. Memang, banyak inisiatif yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan kaum muda terhadap hal itu, namun fokus utama dalam hal ini adalah pendidikan karena di sanalah cikal bakal sebuah peradaban dibentuk. Maka dengan demikian, dukungan institusional juga menjadi sangat penting dalam mendukung terciptanya hal tersebut.
Penulis: Laila Aghnia (Muslimat NU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)