Amanah merupakan sebuah konsep yang sangat penting dalam al-Quran yang berkaitan dengan hakikat spiritual keberagamaan muslim. Kata amanah mempunyai makna mendalam dan fundamental dalam Islam ia tidak saja mempunyai kaitan yang erat dengan esensi kekhalifahan manusia, baik iman maupun akhlak, tetapi juga ada syarat dan nilai-nilai etik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bersosial, berorganisasi, bermasyarakat, dan bernegara.
Baca juga Esensi Hari Pahlawan dalam Proses Pembentukan Karakter Generasi Milenial
Amanah memiliki arti yang sangat luas mencakup berbagai pengertian, namun titiknya yaitu bahwa manusia harus mempunyai perasaan tanggung jawab atas apa yang dilakukan di atas pundaknya. Diapun sadar bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkannya, baik kepada Allah yang menciptakannya maupun sesama makhluk. Kewajiban dan tanggung jawab adalah demikian berat sehingga makhluk-makhluk lain selain manusia tidak berani menerima dan memikulnya. Dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit bumi dan gunung-gunung tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu. Dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat dzolim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab ayat 72)
Menurut Hamka dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas bermaksud menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan betapa berat amanah itu sehingga gunung-gunung, bumi, dan langit pun tidak bersedia memikulnya. Maka yang mampu mengemban amanah tersebut adalah manusia karena manusia diberi kamampuan oleh Allah, walaupun mereka ternyata berbuat zalim, terhadap dirinya maupun orang lain serta bertindak bodoh dengan mengkhianati amanah itu.
Sedangkan menurut Quraish Shihab mengutip analisa dari Thabathaba’i menyampaikan bahwa yang dimaksud ”amanah” di sini adalah wilayah ilahiyah atau kesempurnaan sifat ubudiyah yang hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal salih.
Dalam al-Qur’am, lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang sebanyak 20 kali yang kesemuannya dalam bentuk isim kecuali satu lafaz dalam bentuk fi’il yaitu kata: ٱؤۡتُمِنَ dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 283.
Namun, untuk mengetahui subtansi amanah adalah kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga menimbulkan ketengan jiwa maka hal tersebut dapat dilihat dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 283:
وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barangsiapa yang menyebunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah ayat: 283).
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanah) maka amanah bisa datang dari Allah sebagaimana yang dipaparkan dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 72 di atas. Kadang amanah tersebut datang dari manusia sebagaimana yang tertera dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 283 yang tersebut di atas.
Amanah berarti memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat baik) dalam segala hal. Sifat amanah harus dimiliki oleh setiap mukmin dengan adanya nilai-nilai amanah sebagai strategi fungsional dalam mengelola organisasi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas baik dari sisi pengelolaannya maupun faktor-faktor pendukung lainnya. Kesadaran akan pentingnya amanah menjadi landasan bagi seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan tugas dan kewajibannya.
Dalam pandangan Islam, setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial juga. Tentu saja semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya, Rasulullah saw. bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpinan akan dimintai peratanggungjawaban kepemimpinannnya.” (HR. Muslim).
Amanah dalam hal ini menyampaikan apa yang seharusnya, memberikan yang semestinya, dan melakukan yang seharusnya dilakukan tanpa mengurangi dan menambahkan. Amanah mencakup segala aspek kehidupan dalam beragama maupun dalam kehidupan bersosial sesama manusia baik dalam bentuk pengendalian internal organisasi ataupun hal-hal lainnya. Konsep amanah juga berkaitan dengan akhlak antara kejujuran, keadilan, dan ketegasan. Namun, dengan kemampuannya dia juga bisa menyalahgunakan amanah tersebut.
Sikap al-Quran Terhadap Amanah
Untuk melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari maka penting menjelaskan sikap al-Quran terhadap amanah. Sikap al-Quran ketika menjelaskan ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
- Perintah Menjaga Amanah
Banyak dijumpai dalam al-Quran, ayat-ayat yang memerintahkan malaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Dalam al-Quran surah An-Nisa ayat 58;
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya.”
Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah Usman ibn Talhah al-Hujubi tentang kunci ka’bah yang diminta oleh al-Abbas agar dia memegangnya, kemudian Allah Swt. menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak. Namun, menurut Wabah Zuhaili ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menajdi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu tertentu.
Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il amr (perintah) secara langsung seperti pada ayat di atas, akan tetapi mengandung perintah untuk melaksanakan amanah karena mengandung fi’il mudhari’ yang disertai lam amr, seperti dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 283:
فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya).”
Dari kedua ayat di atas, dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai bentuk menunjukan bahwa amanah adalah tanggung jawab yang sangat besar yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2. Larangan Mengkhianati Amanah
Sebagai konsekuensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanat antara lain:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal ayat 27)
Ayat ini menjelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Nila-nilai Karakter Yang Terbangun dari Amanah
Tentu kesadaran akan amanah terhadap dirinya dan berusahan untuk menanamkan kepada dirinya agar bisa menghasilkan karakter yang lebih baik, karakter yang terbangun melalui kasadaran akan beratnya sebuah amanah, dan berusaha mengikuti bagaimana karakter seorang Nabi Muhammad saw. Salah satu karakter yang berusaha dibangun dalam bersikap amanah antara lain:
- Kejujuran
Prilaku jujur diakui dengan sikap tanggung jawab atas apa yang dilakukan (integritas). Seperti keikhlasan, kejujuran juga tidak datang dari luar melainkan dari bisikan hati yang terus-menerus mengetuk dan membisikan nilai-nilai moral luhur yang digerakan oleh hati nurani sebagai fitrah manusia.
Prilaku jujur dengan berkata sebenarnya, tidak curang, serta perbuatan dan perkataan yang tidak berlawanan. Perilaku jujur menyebabkan muslim memperoleh kepercayaan di lingkungan organisasi atau sekitar.
2. Keadilan
Islam sangat menjungjung tinggi nilai keadilan. Nilai keadilan yang diterapkan dalam setiap akses kehidupan. Keadilan merupakan suatu ciri utama dalam ajaran Islam. Setiap orang muslim akan memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Berdasarkan pada hakikat manusia yang derajatnya sama antara satu mukmin dengan mukmin yang lain. Dan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan dari setiap mukmin tersebut.
3. Ketegasan
Ajaran Islam mempunyai dua dimensi, yaitu ketegasan prinsip dan ketegasan di dalam bersikap. Dua ajaran ini semestinya dipahami secara proporsional, tegas terhadap apa atau siapa, serta kapan harus tegas. Tegas dalam prinsip adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan atau cita dalam dirinya. Sedangkan tegas dalam bersikap adalah implementasi atas hak tersebut. Penerapan hak yang telah diberikan tidak boleh mengganggu atau apalagi menzalimi orang lain.
Penulis: Saidul Arfan, S.Ag
Daftar pustaka
Abu al Husain Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbab an nuzul, (Cet. II; al-Mamlakah al-Sa’udiyyah: Dar al-Islah, 1412H./1992 M
Buhori, “Nilai-nilai Pendidikan Amanah dalam al-Qur’an”, Jurnal Madani: Volume 4:2 2014),, https://ejurnal.uin-suka.ac.id/index.php/madania/article/view/4780/2944
Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (semarang: Mizan, 1998)
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982)
Muhammad Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994)
SRI ASMIRA, “Akrual Basic dalam Metafora amanah: perwujudan Integritas laporan keuangan,” (UIN Alauddin Makasar, 2021
Wahbah Ibn Mustafa al-Zuhaili, Tafsir al-Wasit, Juz ke I (Cet I; Damsyiq: Dar al-Fikr,1442 H)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)