Perubahan sikap dan perilaku masyarakat sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut para ahli hukum Islam (fuqoha) untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan dalam memenuhi tuntutan ketetapan hukum Islam atas permasalahan yang muncul. Permasalahan di masyarakat lebih sering muncul tidak sama dengan hukum-hukum yang telah ada. Artinya, perkembangan permasalahan tidak selalu dibarengi dengan ketersediaan ketentuan hukum yang siap dipedomani warga dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari. Ketentuan hukum yang diperlukan masih terkemas dalam sumber-sumber (kitab-kitab) rujukan yang siap dikeluarkan melalui sebuah forum kajian mendalam yang jama’ dikenal di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dengan istilah “bahtsul masail”.
Baca juga Bahtsul Masail; Problematika Ikhtilat
Istilah bahtsul masail di kalangan warga NU menjadi salah satu media untuk menetapkan hukum (istinbath al-ahkam), tidak dimaksudkan sebagai bentuk menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qu’an dan al-Hadits melalui proses ijtihad, melainkan dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara mencocokkan atau menerapkan (tathbiq) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ibarah dalam kitab-kitab yang mu’tabar (valid) di lingkungan madzhab tertentu (Syafi’i) terhadap permasalahan yang muncul.
Forum bahtsul masail dimaksud memiliki tugas merumuskan keputusan tentang hukum-hukum Islam dari kejadian-kejadian yang berkaitan dengan masail fiqhiyyah, baik tematik (maudhuiyah), problem nyata (waqiiyah), atau aturan undang-undang (qanuniyah).
Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan; pertama, esensi permasalahan atau kejadian (waqi’iyah) yang diajukan belum dikenali oleh peserta dengan benar sesuai disiplin ilmu yang diperlukan; kedua, keterbatasan sudut pandang dalam memahami kejadian yang diajukan, sehingga menghasilkan ketentuan hukum yang masih parsial tidak menyeluruh; ketiga, keterbatasan peserta di forum dalam menguasai pendekatan dan metode untuk mengungkap hukum-hukum dari sumber rujukan serta langkah-langkah aplikasinya, sehingga yang terjadi antara permasalahan dan jawaban terlihat kurang padu. Untuk menjadikan forum bahtsul masail yang berkualitas, serta mampu menghasilkan produk hukum yang memiliki akuntabilitas tinggi, maka diperlukan peserta yang memiliki kompetensi sesuai keahlian masing-masing. Peserta selain menguasai kitab-kitab rujukan sebagai sumber hukum, perlu juga menguasai pendekatan dan metodologi berikut aplikasi serta pengembangannya.
Cara Analisis Masalah
Pola kerja forum bahtsul masail membutuhkan kerangka dasar yang kuat secara metodologis, agar rumusan hukum yang dihasilkan memiliki theoretical concept yang kuat dan aplicable. Dalam memecahkan dan merespons masalah, forum bahtsul masail menggunakan langkah-langkah pembahasan seperti berikut;
Pertama, melakukan analisis masalah, mencari sebab-sebab mengapa dan bagaimana terjadinya masalah/kasus. Kegiatan ini membutuhkan tahapan-tahapan: (a) memahami dengan benar esensi dari masalah yang diajukan; (b) mendefinisikan dengan benar menurut disiplin ilmu yang bersangkutan; (c) memahami pola kerja (proses) masalah atau kasus yang diajukan; dan (d) memahami masalah atau kasus dari berbagai faktor: ekonomi, politik, budaya, sosial, dan faktor lain yang dianggap berkaitan.
Kedua, melakukan analisis dampak, langkah ini untuk memahami dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh kejadian atau kasus yang dicari hukumnya, dilihat dari berbagai aspek, antara lain; aspek sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik, dan aspek lainnya yang mungkin ada peluang berdampak.
Ketiga, melakukan analisis hukum, setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampak dari segala aspek terhadap kejadian atau kasus yang diajukan, forum bahtsul masail mempertimbangkan juga aspek yuridis formal ketentuan hukum yang akan dihasilkan, dengan melihat: (a) status hukum (al-ahkam al-khamsah); (b) dasar dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah; dan (c) hukum positif yang berlaku.
Strategi Pemecahan Masalah
Setelah didapatkan kerangka hasil analisis masalah, selanjutnya menetapkan prosedur pemecahan masalah untuk mendapatkan keputusan. Dalam mengambil keputusan bahtsul masail yang berlaku di lingkungan warga NU, dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang sudah disepakati. Dalam hal ini mengutamakan bermadzhab secara qauliy (pendapat fuqaha) dari pada bermazhab secara manhajiy (metodologis). Oleh karena itu, prosedur pemecahan masalah yang dibahas dalam forum tersebut sederhana dan praktis dengan langkah sebagai berikut:
Pertama, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh ‘ibarah al-kitab (ungkapan teks kitab rujukan) dari kitab-kitab madzhab empat dan di sana terdapat hanya satu qaul atau wajah (pendapat), maka dipakailah qaul atau wajah sebagaimana diterangkan dalam teks tersebut. Secara operasional prosedur pertama ini dilakukan dengan mencocokkan kasus yang hendak dicari jawaban hukumnya dengan arti teks fiqh secara tektual tanpa ada pertimbangan konteks situasi dan kondisi dimana teks itu muncul.
Kedua, dalam kasus ketika jawaban masalah bisa dicukupi oleh ‘ibarah al-kitab (ungkapan teks kitab rujukan) dan di sana terdapat lebih dari satu qaul atau wajah, maka dilakukan taqrir jama’i (penetapan hukum secara kolektif) untuk memilih satu qaul/wajah yang dianggap lebih valid. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan mengambil hukum yang lebih tinggi berdasarkan urutan secara hierarki sebagai berikut: (1) pendapat yang paling maslahat, (2) pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (al-Nawawi dan Rofi’i), (3) pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja, (4) pendapat yang dipegang oleh Rafi’i saja, (5) pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama, (6) pendapat ulama yang terpandai, (7) pendapat ulama yang paling wara’/zuhud.
Ketiga, dalam kasus tidak ada qaul atau wajah sama sekali yang dapat memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazha’iriha (mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama’i (kolektif) oleh para ahlinya. Prosedur yang ketiga ini dilakukan dengan mengikuti logika analogi dalam metode al-Qiyas. Prosedur ini sering disebut sebagai metode al-qiyas khas Nahdlatul Ulama. Dalam praktiknya, metode ini belum bisa terlepas dari keterikatan dengan teks fiqih tanpa mempertimbangkan konteks masing-masing masalah yang hendak dipersamakan sebagaimana hukumnya yang ada.
Keempat, dalam kasus tidak ada satu qaul atau wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaqul masail bi nazha’iriha (mempersamakan masalah-masalah dengan masalah-masalah lain yang mempunyai kemiripan) secara jama’i (kolektif), maka bisa dilakukan istinbath jama’i (menggali hukum dari sumbernya secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhajiy (metodologis) oleh para ahlinya. Metode ini secara operasional dilakukan dengan cara mengalisis masalah menggunakan perangkat metodologis sesuai dengan teori-teori dalam ushul fiqih dan al qawaidul fiqhiyyah.
Implementasi Keputusan Hukum Bahtsul Masail
Langkah berikutnya menindaklanjuti hasil-hasil keputusan hukum-hukum produk bahtsul masail untuk sosialisasi dan implementasi. Langkah ini perlu dilakukan agar produk hukum dari bahtsul masail memiliki jangkauan tindakan nyata dalam kehidupan sesuai objek permasalahan. Analisis penegakan tindakan hukum seperti itu, membutuhkan peran dan pengawasan secara efektif dengan merumuskan: apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana melakukan, kapan dan di mana hal itu hendak dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi (diseminasi) dan pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan hasil keputusan.
Tradisi bahtsul masail yang selama ini berjalan sering dinilai sebagai produk hukum yang tidak memiliki landasan hukum kuat. Pasalnya, setiap ketentuan hukum hasil bahtsul masail kadang tidak mencantumkan ayat al-Qur’an maupun al-Hadits serta dalil-dalil syara’ lainnya. Untuk memberi kekuatan dan kepastian hukum yang kuat, maka setiap produk hukum harus mencantumkan ayat al-Qur’an dan al-Hadits ataupun dalil-dalil syara‘ lainnya.
Setiap hukum hakikatnya pasti berlandaskan dari salah satu dan atau perpaduan dari ketiga sumber tersebut. Sesungguhnya pencantuman ketiga sumber hukum tersebut merupakan bagian dari pendapat Ulama (mujtahid) yang terdapat dalam al kutub al-mu’tabarah, bukan dari pengambilan langsung dari sumber-sumber pokok hukum Islam sebagaimana prinsip dari peserta bahtsul masail. Hal tersebut karena menyadari, bahwa yang mampu berijtihad langsung dari al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‘ lainnya adalah para mujtahid, yang menurut aturan berijtihad sudah memenuhi persyaratan untuk berijtihad secara pribadi.
Berdasarkan penjelasan sebagaimana diuraikan penulis, dapat diambil pemahaman, bahwa bahtsul masail merupakan forum pengambilan hukum Islam atas berbagai persoalan atau kejadian yang belum memiliki ketentuan hukum. Agar memperoleh kepastian hukum yang padu, dalam penetapan hukum perlu melibatkan kajian dari berbagai disiplin ilmu, serta melihat proses dan dampak dari ketetapan hukum. Diperlukan proses pelatihan yang mendalam agar penguasaan metode pengembangan bahtsul masail serta aplikasinya dapat membuahkan hasil yang efektif.
Mengingat bahwa masyarakat terus berkembang sejalan dengan kebutuhan dan dinamisasi zaman, permasalahanpun mengalami perubahan secara cepat. Perumusan hukum fiqih membutuhkan pendekatan baru agar produk hukum tidak tertinggal dari dinamika perubahan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan: (1) Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih guna mencari konteksnya yang baru; (2) Menggeser sikap dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauliy) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajiy); (3) Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); (4) Menempatkan hukum fiqih sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif; (5) Melakukan pemahaman metodologis dan filosofis terhadap masalah-masalah sosial budaya yang ada.
Dengan ini, fitrah sebagai manusia akan yang akan memberikan kemaslahatan benar-benar nyata, al-faqih fii masholihil khalqi (seorang ahli hukum akan memberikan kemaslahatan kepada manusia lainnya) kiranya bisa memberikan maslahat secara esensial (maslahah muhaqqaqah) bukan sekedar maslahat secara prediksial (maslahah mauhumah). Sehingga kelestarian tujuan-tujuan syariah agama akan tetap terpelihara “المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلاح” atau memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
“Bahtsul masail dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara mencocokkan atau menerapkan (tathbiq) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ibarah dalam kitab-kitab yang mu’tabar (valid) di lingkungan madzhab tertentu (Syafi’i) terhadap permasalahan yang muncul.”
Baca juga Start Seminar Internasional 2022; Membumi dan Menghidupkan Lapisan Cendekiawan dari Berbagai Lini
Penulis Ahmad Kharirusshofa (Santri NU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response