Makna Yasin untuk Santri

Yasin, ayat pertama dari Surah Yasin adalah salah satu dari fawatih suwar yang berbunyikan kumpulan huruf huruf yang pada dasarnya tidak memiliki makna dalam bahasa arab. Namun, ayat-ayat ini tetap memiliki makna yang dapat dipahami oleh berbagai macam jenis subjek yang memperhatikan, dan dari situ juga derajat-derajat kepahaman masing-masing subjek akan berbeda-beda.

Ada makna-makna dari fawatih suwar ini yang hanya Allah Swt. sendirilah yang memahaminya sebagai tuhan semesta alam yang Maha Mengetahui, adapula makna-makna yang hanya Rosululloh saw sebagai manusia yang paling sempurna lah yang memahami, adapula makna-makna yang hanya para Khulafa’ Ar-rosyidin dan jajaran-jajarannya yang memahami, adapula makna-makna yang hanya para aulia yang memahami.

Baca juga Nasihat dalam Shalat

Lantas, bagaimana sebaiknya manusia biasa yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan kiai memahami Yasin? Mari kita kaji pelan-pelan.

Yasin, dalam topik pembahasan pertama surah menempati posisi objek yang Allah Swt. gunakan untuk memanggil Rosululloh saw, walaupun sudah diketahui bahwa beliau saw bernamakan Muhammad. Maka dari situ bisa disinyalir bahwa ketika Allah Swt. memanggil Rosululloh saw sebagai Yasin, Allah Swt. melambangkan Rosululloh saw sebagai wujud ideal dari Yasin tersebut. Maka sebenarnya apa itu Yasin? Dan mengapa Rosululloh saw menjadi wujud ideal dari Yasin tersebut?

Yasin merupakan satu kata yang terdiri dari 2 huruf, yaitu Ya’ (ي) dan huruf Sin (س). Ya’ ini melambangkan satu wadah atau mangkuk yang berdiri di atas 2 titik yang ada dibawahnya, dia melambangkan satu manusia yang dikiaskan dengan mangkuknya Ya’ yang berdiri di atas kesulitan, cobaan, ujian, musibah, dan kepahitan kehidupan dan segala sesuatu yang secara alamiahnya tidak disukai manusia yang dilambangkan dengan titik dari huruf Ya’ yang sebelah kiri dan kemudahan, keindahan, kejayaan, kemuliaan, kekayaan hidup dan segala sesuatu yang secara alamiahnya disukai manusia yang dilambangkan oleh titik dari huruf Ya’ yang sebelah kanan.

Mangkuk yang berdiri di atas kedua itulah yang melambangkan manusia yang mampu bersabar dan bersyukur, yang tidak merasa rugi ketika celaka dan tidak merasa untung ketika dapat karunia, sehingga huruf Ya’ dalam Yasin melambangkan Zuhud dan Wiro’i seorang hamba, dikarenakan kezuhudan memiliki ketergantungan yang tak terpisahkan dengan kewiro’ian seorang hamba dalam memutuskan sikap dalam menghadapi perkara-perkara kehidupan duniawi dan ukhrawi agar kezuhudan itu sendiri senantiasa terpelihara lestari.

Akan tetapi, garis-garis dalam huruf Ya’ adalah garis-garis yang tertulis dengan memanjangkan titik-titik yang kemudian membentuk mangkuk, ini memberikan makna bahwasanya sebagai manusia biasa yang jelas-jelas bukan nabi, bukan wali, dan bukan kiai kita ini pasti akan lahir, hidup dan mati selalu dalam keadaan menghadapi kesulitan dan kemudahan yang bisa muncul dengan manifestasi yang berbeda-beda sesuai takarannya individu masing-masing. Dan mangkuk-mangkuk ini, dalam proses pembentukan juga memang tidak selalu mendapat wujud yang paling ideal.

Ada mangkuk yang bagian bawah atau sisinya kurang tebal, ada mangkuk yang sisi kepalanya malah tertutup dan tidak terbuka, adapula mangkuk mangkuk yang titiknya malah di dalam dan bukan di bawah.

Ketiga wujud huruf Ya’ ini melambangkan wujud-wujud manusia yang dalam proses pembentukan wadah penghambaan dalam menjadi seorang hamba yang menyembah Allah Swt., dia menghadapi kesulitan dan ketidaksempurnaan yang senantiasa mendampingi perjalanannya, yang terkadang muncul dalam wujud kebimbangan yang mengaburkan kejernihan pandangannya dalam berkeyakinan dan godaan-godaan yang setan hiasi dengan keindahan agar dia berpaling.

dia juga melambangkan keadaan jiwa manusia yang malah menutup kepala dan hatinya dari kebenaran agama, sehingga dia ingkar dan bahkan menentang agama itu sendiri. Dan yang terakhir dari ketiga wujud Ya’, dia melambangkan keadaan manusia yang senantiasa merangkul kesulitan dan ketidaksukaannya atau kemudahan dan kesukaannya namun belum bisa merelakannya sehingga kebenaran dan hidayah yang seharusnya masuk kedalam mangkuk itu malah jadi kesulitan cari tempat karena dia masih dipenuhi dengan hal-hal yang seharusnya tidak berada disitu.

Maka dari itu, secara singkat huruf Ya’ dalam Yasin itu melambangkan wujud ideal dari kezuhudan dan kewiro’ian seorang hamba yang mana wujud ideal itu adalah Rosululloh saw. Kemudian, bagaimana dengan Sin (س)?

Sin (س) memiliki bentuk garis melengkung yang naik tiga kali kemudian turun ke bawah dan kemudian naik ke titik dasar. dia memberikan makna bahwa sebagai manusia, wujud ideal jiwa seorang hamba adalah dia yang menyadari bahwa segala sesuatu yang baik dari pikiran di akalnya, kehendak dan perasaan di hatinya, dan sikap dalam amal perbuatannya adalah sesuatu yang semuanya berasal dari Allah sehingga dia mengerahkan seluruh kezuhudan dan kewiro’iannya sebagai seorang hamba agar apa-apa yang baik turun dari Allah tidak dia nodai dengan cacat-cacat manusiawi yang muncul karena dia kurang perhatian.

Kemudian, dia berusaha dengan amal perbuatan yang didukung oleh niat sebersih mungkin sebagai usaha untuk mengembalikan segala sesuatu yang baik yang ada pada dirinya kepada Allah, hanya demi bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tidak ada zat yang agung selain Allah, tidak ada zat yang lebih benar daripada Allah, yang mana semua pengecualian ini tidak sedikitpun mengecualikan dirinya sendiri.

pada satu sisi lain, ketiga lengkungan huruf Sin (س) yang mengarah ke atas dalam Yasin juga mengindikasikan Iman, Islam dan Ihsan yang seharusnya hadir dalam wujud ideal seorang hamba yang zuhud dan wiro’i agar dia mampu membuat keputusan itu bukan untuk mengagungkan dirinya sendiri, bukan untuk membesarkan dirinya sendiri namun untuk mengagungkan keagungan Allah sebagaimana juga untuk membesarkan kebesaran Allah.

Terakhir, lengkungan ke bawah yang kemudian naik ke titik dasar adalah amal perbuatan dari seorang hamba yang zuhud dan wiro’i, yang menekuni tertib dan disiplin iman, islam, dan ihsan yang turun ke bawah untuk mengasuh umat yang wujudnya pasti belum ideal agar dia membimbingdan mengasuh umat dengan cara yang halus seperti lengkungan-lengkungan garis Yasin sendiri agar mereka bisa naik ke titik dasar dari Iman, Islam dan Ihsan.

Lengkungan ini melambangkan tugas Rosululloh saw sebagai utusan dari zat yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang dan mereka yang mewariskan tugas kenabian setelahnya untuk mengasuh umat penuh dengan kehati-hatian yang berakar pada zuhud dan wiro’i, dengan cara menghadapi umat dengan sikap hati dan pendekatan yang sesuai dengan keadaan normatif dan adat istiadat yang berlaku di dalam umat yang dihadapi.

Perkara ini harus diperhatikan dengan sangat jeli agar supaya keadaan normatif dan adat istiadat ini menjadi lebih benar, lebih baik, dan lebih indah dengan masuknya nilai-nilai iman, islam dan ihsan agar supaya dari umat itu muncul pula bibit-bibit unggul yang di kemudian harinya akan menghidupkan makna yasin tersebut.

Singkat bicara, kesimpulan yang bisa ditarik dari makna lafadz Yasin adalah bahwasanya Yasin adalah ayat Fawatih Suwar yang mengindikasikan gagasan deskriptif Allah Swt. tentang ciri-ciri keperkasaan seorang hamba, latar belakang dari keperkasaan itu, dan bagaimana sebaiknya seorang hamba menyikapi keperkasaan itu. Dan secara ideal, semua gagasan ini tidak hanya ada namun juga hidup di dalam diri Rosululloh saw.

Kesimpulan ini muncul karena prolog Surah Yasin sendiri turun dalam format karya literatur yang mengindikasikan gaya bahasa pujian Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad saw yang sehingga kemudian sangat mengerucutkan topik pembahasan makna Yasin yang aslinya tidak punya makna dalam bahasa arab menjadi bermakna. Dan berporos dari pemikiran itu, maka secara singkat Yasin bermakna “Wahai manusia yang melakukan sesuatu” yang kemudian menjadi makin jelas ketika dikorelasikan dengan ayat-ayat setelahnya sampai akhir surah.

Maka sebagai santri, langkah apa yang kita bisa ambil agar kita bisa ikut menghidupkan sebagian walau bagaimanapun sedikitnya gagasan deskriptif Yasin dalam diri kita? Kita bisa memulai dengan memahami dan menerima gagasan bahwasanya kesulitan dan kemudahan, kehinaan dan kejayaan, kemiskinan dan kekayaan yang akan selalu kita temui dalam kehidupan adalah sarana duniawi yang Allah gunakan untuk mendidik hambaNya agar supaya dia menjadi hamba yang makin saleh dan bertakwa di kemudian harinya.

Dan sikap menerima ini, ditujukan bukan untuk menyelesaikan masalah ataupun mencari kesempatan di tengah kesempitan dan semacamnya namun semata-mata untuk menarik pertolongan Allah Swt.

Karena dalam perjalanan mengasuh keimanan, kesalehan dan ketakwaan manusia bekal inti yang tidak boleh absen bukanlah harta, takhta, maupun juga wanita karena islam turun sebagai rahmat untuk seluruh alam, sebagaimana dia datang untuk orang kaya dia juga datang untuk orang miskin. Dan tidaklah terkecuali, sebagaimana pula dia datang untuk orang yang sehat dia juga datang untuk orang sakit.

Maka dari awal sampai akhir harta, takhta, dan juga wanita bukanlah bekal yang tidak boleh absen dalam perjalanan namun amal saleh yang berkah. Seteliti dan sejeli apa kita dalam menekuni dan menelaah amal saleh inilah juga yang akan secara alamiah dan manusiawi menentukan sebanyak apa berkah yang akan datang ke hadapan kita.

Kemudian, setelah sikap hati telah memiliki garis besar yang didesain untuk berjalan dengan lurus kita bisa mulai melangkah dengan menekuni arahan-arahan tauhid dan fiqh dalam memupuk keimanan, kesalehan dan ketakwaan yaitu dengan menekuni karsa-karsa interaktif dengan Tuhan seperti salat, puasa, zikir dan sebagainya serta karsa-karsa interaktif dengan manusia seperti zakat, infak sedekah dan sebagainya.

Prinsip practice makes perfect berlaku di sini, dalam artian di kali pertama kita mengamalkan satu amalan yang kita sukai, awalnya mungkin tidaklah sempurna, teliti dan juga konsisten namun seiring dengan berjalannya waktu dengan mengerahkan waktu dan tenaga yang kita miliki semampu kita untuk menekuni karsa agama perlahan-lahan kekuatan untuk menekuni satu perkara akan tumbuh dan berkembang sebagaimana kepekaan terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan perkara yang kita tekuni sendiri akan makin menajam.

Kedua komponen ini, yaitu kekuatan beramal dan kepekaan dalam beramal ini akan menopang perjalanan kita untuk berkomitmen secara konsisten dalam menekuni karsa agama seiring berjalannya waktu dan berubah-rubahnya fase kehidupan.

Di saat itulah, sikap hati yang beramal untuk menarik pertolongan Allah Swt. dan bukan selainnya akan berfungsi di sini, karena sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam perjuangan pasti seseorang akan diuji oleh permusuhan, keraguan, dan ketidaktahuan. Dan dalam menghadapi ketiga ujian ini, sikap hati seorang hamba yang beramal untuk menarik pertolongan Allah Swt. semata inilah yang akan paling membantu, karena satu sikap inilah yang akan menentukan kadar kita sebagai hamba, sebagai pejuang, dan sebagai manusia.

Kemudian, setelah seorang santri mampu mengamalkan amalan agama dengan tekun dan teliti serta memperhatikan dengan jeli perkara-perkara yang berkaitan baik secara umum maupun spesifik dengan amalan tersebut, dianjurkan juga untuk belajar merendah hati, agar supaya dia memiliki bahasa tubuh dan tutur kata yang encer dan mudah diterima oleh manusia.

Salah satu diantaranya sebab anjuran ini muncul adalah dikarenakan dikala seorang santri menekuni karsa keagamaan, sebagaimana dia berinteraksi dengan amalannya di tengah keasikannya, amalannya juga akan menuntun dia kepada kebenaran-kebenaran yang Allah Swt. tetapkan dibalik amalan itu yang kemudian secara bertahap akan memperkaya hatinya sendiri.

Dan disaat hati seorang santri menjadi kaya dengan kebenaran, sebagaimana kekayaan hati ini melahirkan bahasa tubuh dan tutur kata yang segar dan bugar sebagai simbol kekuatan hatinya dia juga akan menjadi panutan dan suri teladan bagi orang-orang disekitarnya.

Maka beruntunglah seorang santri yang mampu merendah hati, karena kerendahan hati merupakan sumber dari bahasa tubuh dan tutur kata yang singkat, padat, encer dan mengarahkan orang-orang disekitarnya pada indahnya kelembutan hati yang terpoles halus oleh interaksi dengan zat yang Maha Gaib.

Maka dari itu, alangkah baiknya bila kita memulai dengan mengamalkan amalan agama yang kita ketahui sesuai dengan kadar kita, dan menekuninya dengan penuh kegigihan dan kepekaan agar suatu saat nanti atas izin Allah Swt., walaupun kita sebagai manusia yang jelas-jelas bukan nabi, bukan wali, dan bukan kiai mampu menghidupkan ilmu agama dengan gigih, teliti, dan kasih sayang. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Adzkar Ilahi Rifai

One Response

Tinggalkan Balasan