Konsep Hakimiyah Islam Radikal

Islam sebagaimana lazimnya agama di muka bumi ini tercipta untuk menebar kasih sayang dan menciptakan kedamaian. Baik itu kedamaian batin maupun zahir. Bahkan kasih sayang Islam tidak hanya berlaku bagi pemeluknya, tetapi untuk seluruh alam. Kita sering menyebutnya dengan istilah rahmatan lil ‘alamin.

Baca juga : Alasan Mengapa Mesir Tidak Menerapkan Syariat Islam

Namun fitrah agama ini menjadi tercoreng manakala sebuah kelompok dari internal Islam mencoba untuk menampilkan Islam dengan wajah yang bengis, brutal, dan haus kekuasaan. Mereka dengan mudahnya mengalirkan darah bahkan terhadap saudara sesama muslim. Karena mereka memahami agama ini dengan hawa nafsunya. Mereka radikal.

Banyak pemikiran-pemikiran sesat yang mereka peluk erat yang keluar dari metodologi para ulama yang sudah sampai kata sepakat. Namun kita akan membincangkan pemikiran utama mereka yang di mana ini menjadi dasar semua kekacauan yang mereka buat, yaitu konsep Hakimiyah. Mereka ingin syariat Islam dijadikan landasan hukum dalam sebuah perundang-undangan negara.

Dari konsep ini lahirlah syirik hakimiyah dan tauhid hakimiyah. Di mana orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah (syariat Islam) dianggap kafir.

Syekh Usamah al-Azhari dalam bukunya al-Haqq al-Mubin yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diberi nama Islam Radikal, Telaah Kritis Radikalisme dari Ikwanul Muslimin hingga Isis mengatakan, sumber dan muara dari semua pandangan kelompok-kelompok Islam radikal adalah kitab Fi Dzilal al-Qur’an milik Sayyid Qutub.

Sayyid Qutub. Sumber gambar aljazeeea.net

Meskipun sebenarnya benih-benih pemikiran ini sudah lahir dari tulisan-tulisan Hasan al Banna, namun Sayyid Qutub lah yang menulis dan menjelaskan pemikiran ini panjang lebar. Dengan demikian Sayyid Qutub adalah sosok yang senantiasa menyirami benih tersebut hingga tumbuh dan berkembang.

Kemudian beliau menjelaskan, Sayyid Qutub membangun paradigma takfiri; konsep hakimiyah ini berdasarkan pemahamannya yang salah terhadap firman Allah: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44). Ia mengafirkan seseorang yang tidak menerapkan hukum Islam, meskipun orang tersebut meyakini bahwa ayat itu benar dan merupakan wahyu dari Allah.

Ia menjadikan hakimiyah sebagai pokok iman. Ia menambahkan syarat sahnya iman dari dirinya sendiri. Kemudian ia mengafirkan masyarakat muslim karena syarat ini tidak ada pada diri mereka. Pandangan seperti ini sama persis dengan pandangan sekte Khawarij.

Sedangkan pandangan umat Islam dari generasi ke generasi, sejak era para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– sampai sekarang, bertentangan dengan pandangan Sayyid Qutub. Para ulama memiliki beberapa pendapat dan orientasi dalam memahami ayat 44 dari surah al-Maidah tersebut. Pendapat yang paling kuat mengenai maksud dari ayat tersebut adalah, siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah lantaran menolak ayat tersebut sebagai wahyu yang datang dari-Nya, maka tanpa diragukan lagi orang ini telah kafir. Adapun orang yang mengakui bahwa ayat tersebut benar, wahyu, dan perintah Allah, akan tetapi ia tidak mampu menjalankannya, maka ia tidak dihukumi kafir.

Kesalahpahaman ini terjadi karena Sayyid Qutub sama sekali tidak memahami salah satu bab yang sangat detail dan penting dalam ilmu ushul fiqh, yaitu bab ‘awaridl al-ahliyyah yang menyebabkan seseorang tidak dikenakan konsekuensi hukum syariat karena beberapa hal. Bahkan lebih jauh, Sayyid Qutub menjauhkan dirinya dari metodologi para ulama dalam memahami al-Qur’an. Ia berusaha untuk memahaminya dengan asumsi, perasaan, dan paradigmanya sendiri.

Ia juga menganggap umat Islam sekarang kafir dan kembali menjadi jahiliyyah. Karena umat ini telah meninggalkan hukum Allah dan tunduk pada hukum buatan manusia. Menurutnya, ini adalah sikap penghambaan kepada manusia. Maka negara kita pun dianggap sebagai negara kafir karena tidak patuh pada syariat Islam, dan wajib untuk diperangi.

Mohammad Iqbal Marzuqi (Mahasiswa Fak. Ushuluddin Universitas Al-Azhar)

Baca juga Apakah Syariat Islam Masih Relevan Dengan Zaman Sekarang?

One Response

Tinggalkan Balasan