Dialektika Usul Fikih; Respons Santri Menjawab Problematika Modern

Panitia Seminar Internasional Lakpesdam 2022 pada Senin (15/8) telah menyelenggarakan Live Instagram membahas Dialektika Usul Fikih yang merupakan salah satu rangkaian acara sebelum acara besar Seminar Internasional bersama Majma Fikih Sudan pada September mendatang.

Acara virtual tersebut terselenggara melalui akun media sosial Instagram PCINU Sudan dan Agus H. Abdurrohman Al Auf (Pondok Pesantren Lirboyo). Jazli Huda Syarboness (Ketua Lakpesdam 2021-2022) menjadi pemandu acara yang mengambil judul “Dialektika Usul Fikih; Respon Santri Menjawab Problematika Modern” yang dimulai pukul 20.00 WIB/15.00 CAT – selesai.

Baca juga NU Sudan Bahas Urgensi Usul Fikih pada Rangkaian Acara Road to Seminar Internasional 2022

Santri memiliki definisi beragam, baik secara bahasa maupun istilah. Menurut Habib Umar al Muthohhar, santri secara global merupakan orang yang dekat dengan ulama (dalam hal ini para kiai). Tetapi, tidak berhenti sampai di situ, santri juga melaksanakan berbagai arahan nasihat yang disampaikan kepadanya dari para kiai, meskipun tidak mempelajari secara mendalam tentang ilmu agama.

Definisi tersebut senada dengan definisi santri menurut K.H. Hasan Nawawi Sidogiri, bahwa santri adalah orang yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits serta berpaham non-ekstrimis maupun non-rasionalis yang kokoh eksistensinya di setiap masa.

Adapun hakikat santri secara spesifik merupakan orang yang tidak hanya dekat dengan ulama, namun juga mempelajari secara mendalam berbagai fan ilmu agama yang ditempuh di berbagai pondok pesantren. Artinya, orang tersebut telah teruji kredibilitasnya untuk melanjutkan tonggak peran ulama di masa mendatang. Eksistensi peran santri di masyarakat, pada intinya santri memberikan sebuah keteladanan dan menyebarkan paham kebaikan yang berlandaskan al akhlaq al-karimah.

Ada sebuah istilah menarik dari K.H. Abdul Karim Lirboyo tentang istilah “ngadep dampar” yang secara bahasa menghadap meja. Adapun secara istilah ialah melakukan sesuatu bukan sebagai formalitas semata. Dalam konteks ini, santri secara formal dituntut untuk berdakwah dengan berceramah. Padahal, santri dituntut tidak hanya berdakwah melalui lisan berupa berceramah ilmu-ilmu agama saja, namun juga dituntut untuk berdakwah kepada masyarakat dengan memahami dan menyesuaikan kondisi sekitar saat itu. Artinya, santri dituntut untuk berdakwah tidak hanya dengan lisan, namun dengan pendekatan persuasif berupa sikap dan tingkah laku yang menjadi tuntutan bagi masyarakat sekitar sehingga ada ketertarikan masyarakat tersendiri terhadap santri tersebut.

Respons santri menjawab problematika-problematika modern, kali ini beliau menjelaskan bahwa Bahtsul Masail sebagai jawaban atas berbagai problematika modern saat ini. Melalui Bahtsul Masail pula santri dapat melatih kepercayaan diri menghadapi berbagai fenomena yang terjadi yang tentunya berlandaskan syariat Islam sehingga menghasilkan kader-kader ulama yang kritis dan berwawasan inklusif.

Relevansi menjadi seorang santri di zaman globalisasi sekarang ini, beliau memaparkan istilah santri masih sangat relevan bagi orang yang ingin memperdalam fan-fan ilmu agama. Terdapat tiga komponen aspek penting tatkala dalam proses at ta’lim wa at-ta’allum. Pertama keteladanan adab dari para pendidik, kedua ketakwaan secara langsung dari para pendidik, ketiga keikhlasan pendidik saat mengajarkan ilmunya.

Adapun ketiga komponen aspek tersebut tidak akan didapat hanya dengan belajar via media sosial (medsos) semata, karena sejatinya pembelajaran lewat medsos sebatas untuk selingan, dan bukan dijadikan sebagai prioritas utama untuk mendapatkan ilmu agama. Hal ini senada dengan dawuh K.H. (Alm) Dimyati Rais, “Jika kita ingin menjadi pendidik hanya sekedar mentransfer ilmu saja, maka ada masa di mana kita tidak dibutuhkan lagi. Sebab ilmunya Google lebih luas”. Artinya, ketiga komponen penting di atas tidak akan didapat ketika belajar hanya melalui medsos dan tidak akan menjadi seorang pakar ilmu agama. Sebab untuk menjadi pakar ilmu agama tentu tidak cukup hanya dengan belajar melalui medsos semata, namun seseorang tersebut dituntut untuk mendapatkan ketiga komponen penting diatas.

“Jika kita ingin menjadi pendidik hanya sekedar mentransfer ilmu saja, maka ada masa di mana kita tidak dibutuhkan lagi. Sebab ilmunya Google lebih luas”

– K.H. Dimyati Rais

Penulis: Aazliansyah Farizil Anam

Baca juga Dari Sebuah Kerinduan, Nahdliyin Sudan Luncurkan Gerakan Jemput Kiai

One Response

Tinggalkan Balasan