Saya sempat heran kenapa Mesir sebagai negara Arab yang tentu mayoritas penduduknya muslim tidak menerapkan syariat Islam sebagai landasan hukumnya. Karena dalam benak saya, semua negara Arab ya hukumnya pasti hukum fiqh islami. Seperti yang saya dengar bahwa di Saudi ada hukum pancung dan potong tangan yang pasti geger di media jika ternyata yang akan dieksekusi adalah warga Indonesia yang bekerja di sana.
Baca juga Makna Yasin untuk Santri
Akhirnya rasa penasaran saya hilang ketika Syekh Abdul Wahab Khallaf memberi kuliah di sebuah Fakultas Hukum Universitas Kairo yang terdapat di buku beliau Maqalaat fi Ilmi Ushul al-Fiqh. Beliau menjelaskan di situ bagaimana sejarah dan sebab undang-undang Prancis dijadikan landasan hukum di Mesir.
Perlu diketahui bahwa sebelum datangnya penjajahan Prancis, Mesir di bawah pemerintahan Turki Utsmani menerapkan Syariat Islam sebagai landasan hukumnya. Meski pendudukan Prancis atas Mesir sangat singkat (tahun 1798-1801 M.), namun pengaruhnya sangat besar bagi kelangsungan hidup dan masyarakat Mesir.
Syeikh Abdul Wahab mengatakan, bahwa pada masa kekuasaan Khudaiwi Ismail Pasya (1867-1879 M.) terjadi kekacauan yudikatif karena setiap wilayah peradilan mempunyai cara pandang hukum masing-masing. Para hakim terkadang seenaknya mengubah hukum sesuai keinginan mereka. Banyak juga konsulat asing yang mempengaruhi cara penetapan hukum meskipun yang terpidana adalah pribumi Mesir sendiri, bukan warga negara mereka.
Maka pada tahun 1867 M. Perdana Menteri Nubar Pasha mempunyai ide untuk mencetuskan kompilasi hukum (al-Mahakim al-Mukhtalithah) untuk menyelesaikan konflik hukum yang terjadi. Ia merencanakan musyawarah Internasional dengan perwakilan negara-negara yang mempunyai pengaruh besar untuk meresmikan rancangan undang-undang ini.
Demi kesuksesan pengesahan hukum dan memuaskan hati pihak asing, ia terpaksa menjanjikan bahwa kompilasi hukum ini akan mengadopsi hukum Prancis sebagai landasan hukum Mesir. Akhirnya siasat ini tercapai tujuannya. Maka secara resmi, undang-undang ini disahkan pada tahun 1875 M. dan dijalankan hingga sekarang.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa Mesir mengambil hukum asing bukan karena hukum Islam sudah tidak relevan dengan zaman, namun semata-mata untuk memuaskan hati pihak asing yang saat itu mempunyai pengaruh besar. Dengan cara itulah Mesir dapat melahirkan konsensus hukum demi mengatasi konflik yang terjadi. Karena mereka tidak menghendaki kita mengembalikan Mesir pada hukum aslinya yang selaras dengan Syariat Islam dan tradisi Mesir serta lingkungannya.
Perlu kita ingat, bahwa goal utama disusunnya undang-undang ini adalah untuk mengobati kekacauan dan mendirikan mashlahat umat. Syekh Abdul Wahab mengatakan, “Aku menjamin, bahwa syariat ini adalah syariat mashlahat dan adil, dan semua undang-undang yang dimaksudkan untuk mendirikan mashlahat dan keadilan adalah Syariat Islam.”
Masih banyak ulama Mesir yang telah melakukan kajian dan membandingkan hukum Mesir sekarang dengan Syariat Islam. Salah satu dari mereka adalah mantan mufti ternama Syekh Ali Jum’ah. Beliau mengatakan bahwa undang-undang baru Mesir ini “Tidak keluar dari Syariat Islam.”
Meskipun jika kita telisik lebih dalam, kita pasti menemukan kekurangan dalam hukum pidana, perdagangan, dan setiap hukum yang diterapkan di Mesir, dan kita pasti menemukan bahwa di dalam Syariat Islam ada penyempurnanya.
Oleh Mohammad Iqbal Marzuqi (Mahasiswa Universitas Al-Azhar)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response