Patut kita sesali atas apa yang terjadi belakangan ini tentang kasus anak Kiai Jombang yang menjadi tersangka kasus pencabulan. Berita tersebut pun menuai berbagai respons dari berbagai elemen masyarakat. Media-media pun tak kalah untuk unjuk kebolehan menggoreng narasi demi menggaet perhatian. Tajuk “Anak Kiai Pengasuh Pesantren di Jombang” pun menjadi viral karena seakan-akan merobohkan “kesucian” keluarga pesantren.
Belum lama ini ada kasus yang melibatkan pesantren lagi. Kali ini seorang pengasuh di salah satu pesantren di Banyuwangi yang juga dilaporkan atas kasus pencabulan terhadap beberapa santrinya. Oknum pengasuh pesantren tersebut pun diciduk di Lampung setelah bersembunyi di rumah salah satu alumni pesantrennya. Tentu dua kasus seperti ini harus kita gencarkan bahwa pelaku hanyalah oknum, tidak boleh disamaratakan. Apalagi pesantren adalah lembaga yang kaitannya dengan pembelajaran agama yang bertolak belakang dengan kasus ini.
Kita pasti tahu bahwa pesantren adalah tempat di mana seseorang dapat belajar ilmu agama secara komprehensif, detail, dan talaqqi. Santri yang belajar di pesantren dan sejenis pesantren akan disuguhi 24 jam penuh ilmu dan adab beragama dengan cara dibimbing oleh guru-guru yang pakar di bidangnya. Di pesantren ini, santri tidak hanya diajak belajar agama, tapi juga mengimplementasikan apa yang telah dipelajarinya dengan pengawasan dari pihak pesantren; seperti pengurus, pengajar, dan bahkan pengasuh serta keluarga pengasuh pun ikut mengawasi perkembangan santri. Kasus pesantren di Jombang dan Banyuwangi sama sekali tidak mencerminkan perilaku keluarga pengasuh.
Apalagi kasus yang di Jombang, Pesantren yang bernama Majma’ al Bahrain tersebut ternyata tidak memiliki sanad mu’tabar (legal) yang lolos legalisasi organisasi Jam’iyyah Ahlith Thariqoh al Mu’tabarah (JATMAN) dan tidak pula berafiliasi dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama. Sanad yang legal merupakan unsur penting dalam ilmu agama sebagaimana sertifikat ijazah kelulusan. Bagaimana tidak penting? Calon mahasiswa kedokteran tentu akan mencari fakultas yang memang memiliki kompetensi dalam bidangnya serta lolos acc oleh organisasi yang menangani verifikasi pada bidang tersebut. Kalau ada mahasiswa belum lulus atau lulus tapi fakultasnya belum lolos kok nekat membuka praktik untuk mengobati berbagai penyakit, tentu bisa terjadi kasus malpraktik atau lainnya.
Baca juga: Spirit Keilmuan dan Peran Global Muslimah
Begitu juga dalam bidang agama, seseorang yang terjun mendalami atau mengajarkan samudera ilmu agama bertahun-tahun lamanya, maka akan sadar jika agama adalah amanah dari Tuhan, tidak boleh asal berfatwa ini halal, ini haram, ini bid’ah, ini sunnah. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin terjadi yang namanya malpraktik agama.
Coba kita tengok ulama kita, mereka bisa menjadi alim karena dibimbing langsung oleh gurunya yang memiliki sanad keilmuan. Imam asy Syafi’iy bisa menjadi pakar fikih karena berguru dengan Imam Abu Hanifah. Asy Syaikh Zakariya al Anshary bisa menjadi pakar fikih, bahkan mendapatkan julukan “Syaikhul Islam” karena belajar dari para gurunya, seperti asy Syaikh Ibnu Hajar al Atsqalaniy (pengarang fathul bari fi syarhi shahih al bukhary) dan Sirajuddin al Bulqiny (ulama yang dikatakan sebagai ‘Allamatud Dunya). Imam Nawawi bisa mengarang Syarhul Muslim yang sangat populer di kalangan pencinta ilmu Hadits karena didikan sang guru, seperti asy Syaikh ‘Abdul Aziz bin Muhammad al Anshary. Imam Jalaluddin as Suyuthiy yang karangannya mencapai 300 buku lebih juga karena jasa para gurunya, seperti Sirajuddin Al bulqiny. Inilah salah satu keistimewaan agama islam, ilmunya diwarisi secara turun menurun melalui mata rantai keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Namun yang terjadi zaman sekarang cukup ironis, di mana nama pesantren tercoreng dengan kasus dari oknum-oknum tersebut. Orang tua seharusnya memilih pesantren yang bersanad serta benar-benar mengajarkan ilmu dan mendidik santri untuk menjadi manusia yang beradab. Jika salah memilih, bukan tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan. Menukil sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Jika segala urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.”
Meskipun begitu, kita harus menghargai semangat mereka dan menjadi tugas kita untuk sekedar mengarahkan agar tidak salah cara belajar. Mengutip dawuh dari Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang, Kiai Ahmad Samsul Rijal, “Orang tua yang akan mengirim putra-putrinya untuk menimba ilmu ke pesantren harus menyeleksi betul apakah Ponpes tersebut bisa diberi amanah untuk untukmendidik putra-putrinya dengan baik,” ucap beliau dalam situs nu.or.id menanggapi perihal kasus di Jombang.
Penulis: Muhammad Najmuddin
Baca juga Ahlussunnah wal Jamaah Sebagai Keyakinan Mayoritas Umat Islam
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
2 Responses
Sebenernya ya klo baca quran kita bakal nemu bahwa Kan’an yang putranya nabi Nuh AS aja mati dalam keadaan kafir jadi ya klo anak kiai maksiat ya walaupun mengejutkan tpi juga tidaklah mengejutkan juga…..
Semoga musibah dan kurnia menjadi asbab turun hidayah ke aeluruh alam.