Ketika kita ditanya apa yang menentukan masa depan? Maka jawabannya tentu ilmu pengetahuan. Yup kita berada di tengah gegap gembitanya kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah jawaban masa depan. Yang membedakan masa depan negara-negara Asia Afrika dengan negara-negara Barat Eropa tentu saja ilmu pengetahuan. Kita bisa melihatnya dari berapa banyak orang yang masih mengalami buta huruf di negara-negara Asia Afrika.
Baca juga: Perbedaan Ekspresi Cinta Antara Laki-laki dan Perempuan
Universitas-universitas di negara-negara maju dijadikan sebagai laboratorium tempat penelitian ilmu pengetahuan tetapi universitas di negara berkembang malah tidak jelas ke mana arah yang akan ditujunya. Alih-alih malah dijadikan sebagai tempat mencari suara politik, nyatanya universitas di Indonesia melahirkan para demonstran yang siap turun ke jalan.
Baiklah, kita kerucutkan pembahasan ini tentang Indonesia. Indonesia telah tertinggal 10-15 tahun dari negara seasianya, Korea dan Jepang yang telah lebih dulu menjadi negara maju. Menurut UNDP pada tahun 2000 menjelaskan bawa sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-109, selisih satu angka dari Vietnam. Sedangkan daya saing Indonesia berada di urutan ke-46. Menurut data dari Alwasilah pada tahun 2000 84% dari jumlah penduduk Indonesia (168 juta dari 200 juta) adalah manusia yang melek huruf tetapi hanya mampu menerbitkan 12 buku untuk satu juta penduduk pertahun. Sedangkan rata-rata di negara berkembang lainnya adalah 55 buku dan di Negara maju mencapai 513 buku.
Kita juga perlu menyadari bahwa mahasiswa dan dosen di Indonesia bukanlah orang yang suka menulis. Buktinya Indonesia hanya mampu menerbitkan 3-4 ribu judul buku baru pertahunnya. Hal ini diperkuat oleh data dari Alwasilah di tahun 2000 bahwa kita berada di posisi ke-92 dari segi jumlah publikasi buku, masih di bawah Malaysia, Nigeria, dan Thailand. Berbeda dengan Amerika yang menerbitkan 77.000 buku, Jerman Barat 59.000, Inggris 43.000, Jepang 42.000, dan Prancis 37.000. Mengutip dari Republika.com menyatakan bahwa hasil survei yang diterbitkan UNESCO mengatakan bahwa minat baca di Indonesia hanya 0,001 saja. Artinya hanya ada satu dari 1.000 orang yang punya minat membaca, apalagi menulis. Masih dengan sumber yang sama mengatakan tingkat literasi Indonesia berada di rangking 64 dari 65 negara yang disurvei.
Perlukah kami menyebutkan lebih banyak realita lagi? Kurasa cukup. Cukup untuk membuktikan bahwa Indonesia masih menjadi penganut budaya lisan dan penyimak yang reseptif. Indonesia belum menjadi negara yang tinggi literasi yang mampu menuangkan segala pikiran-pikirannya ke dalam sebuah buku sebagai kontribusi besar terhadap peradaban manusia. Pertanyaannya, adakah yang peduli dengan fenomena ini? Mengapa tidak ada diskusi yang mengundang para pakar untuk membahasnya? Lalu mau sampai kapan fenomena ini terus berlanjut? Menunggu hingga Generasi Emas 2045? Kami rasa waktu yang dibutuhkan terlalu banyak karena di saat Indonesia masih sibuk menyiapkan generasi emasnya tapi di negara lain akan lebih jauh berkembang dan maju daripada Indonesia.
Kami rasa perlu untuk memaparkan sedikit mengenai beberapa penyebab ketertinggalan kita di dunia literasi. Bahwa di Indonesia masih mengikuti mitos-mitos lama di mana belajar adalah sebuah ketaatan bukan berpikir kritis, belajar harus melalui guru, belajar hanya di ruang kelas, guru adalah sumber informasi dan kebenaran, belajar hanya di sekolah dan kampus, dan lain-lain. Hal ini kemudian dijadikan alasan beberapa dosen untuk tidak menulis atau menghasilkan karya karena mereka hanya dituntut mampu mengajar, bukan mampu menulis. Lebih ironis ketika banyak guru besar yang hingga akhir hayatnya tidak menulis buku sama sekali. Jika para guru saja tidak memberi contoh sebagai seorang penulis lalu bagaimana bisa lahir seorang penulis dari para mahasiswa?
Penghargaan yang diterima oleh seorang penulis di Indonesia juga tergolong sangat rendah. Banyak penulis yang mengeluh karena royalti yang diterimanya sangat kecil. Maka tak heran jika banyak orang yang tidak memiliki cita-cita maupun keinginan sebagai seorang penulis karena takut miskin dan tidak punya karir masa depan. Seolah-olah tidak ada harapan besar bagi seorang penulis dalam menggeluti dunia kepenulisan. Kemudian mereka menjadikan menulis sebagai pekerjaan sampingan sehingga fokus mereka akan terbagai dengan pekerjaan utamanya. Hal ini tentu akan mengurangi produktifitas dan kreatifitasnya menurun.
Namun, faktor utama dan mendasar adalah kebiasaan membaca. Kebiasaan inilah yang menjadi salah satu faktor penentu terciptanya sumber daya manusia yang unggul untuk menghadapi tantangan di era globalisasi ini. Lagi-lagi sayang, kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap aktifitas membaca untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan untuk mengisi waktu (to full time) dengan sengaja. Artinya, aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan tapi lebih pantas disebut “iseng”.
Lantas, adakah harapan bagi Indonesia dalam membentuk Generasi Emas 2045 di bidang literasi? Jawabannya tentu sulit namun bisa diusahakan, baik dari diri sendiri, guru, instansi pemerintahan, dan lembaga-lembaga yang terkait. Dengan melihat sebab-sebab yang telah dijelaskan di atas kita bisa menarik penyelesainnya dengan mudah, yaitu dosen diharap lebih banyak menulis dan pemerintah diharap menaikkan royalti penulis. Mudah bukan? Hahaha. Namun sebelum menyelesaikan perkara di atas seharusnya kita perlu mengubah faktor yang paling mendasar dengan membentuk budaya literasi.
Pertama-pertama kita perlu melakukan pemerataan dan meningkatkan kualitas pendidikan hingga ke pelosok negeri, baik infrastruktur maupun suprastruktunya. Kemudian kita membangun banyak perpustakaan yang nyaman di banyak tempat, melakukan banyak terobosan yang dapat menarik minat baca tulis di masyarakat. Tentu perlu adanya campur tangan pemerintah dan lembaga kemasyarakatan untuk merealisasikannya.
Sedangkan dalam dunia maya kita bisa memaksimalkan social media dengan mengisinya berbagai konten-konten literasi dengan kemasan yang menarik sehingga dapat memancing kesadaran masyarakat dalam berliterasi. Cerita-cerita para tokoh berpengaruh di dunia yang gemar membaca juga perlu kita sampaikan sebagai upaya pancingan motivasi. Sebut saja Mohammat Hatta yang rela dipenjara di Boven Digoel asalkan bersama buku karena dengan buku ia merasakan kebebasan.
Berdasarkan data-data yang telah disebutkan di atas seharusnya kita semakin sadar bahwa Indonesia sedang dalam keadaan kritis dalam hal literasi, satu sisi minat baca dan menulis warga Indonesia sangat minim dan di sisi lain apresiasi dan penghargaan yang diperoleh juga tidak sesuai dengan kelayakan. Dari sini perlu adanya kesadaran dari berbagai pihak terkait untuk mencegah dan mengobatinya jika memang kita sangat berharap adanya Generasi Emas di tahun 2045. Siapa yang seharusnya memulai? Bukan pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dosen, atau orang lain, melainkan kita lah yang seharusnya memulai. Tanpa kata tunggu atau tapi. Sekaranglah saatnya melakukan perubahan.
Penulis: Lukman Al Khakim
Baca juga: Lethologica; Lupa Kata Secara Tiba-Tiba
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)