Perempuan, Ditindas ataukah Diberdayakan?

Membincang makna Jahiliyah, bahwa masa tersebut ialah masa di mana masyarakat tidak mengetahui ilmu pengetahuan, tetapi cerdas dalam segi verbal-linguistik yang khas dimiliki oleh masyarakat Arab, yaitu syiir. Kecerdasan logika matematika pada komoditas utama masyarakat pra-Islam adalah dengan berdagang. Serta kecerdasan astronomi atau perbintangan yang mana keadaan mereka yang hidup di gurun pasir mengharuskannya untuk mempelajari alam untuk mengetahui perubahan musim. Adapun makna khusus untuk mengartikan masyarakat Jahiliyah yaitu mereka yang hidup sebelum diutusnya Nabi ataupun setelah diutusnya Nabi tetapi mereka menyimpang dari ajaran-ajaran syariat.

Baca juga Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Masa Sekarang

Tradisi masyarakat Arab pra-Islam sangat buruk. Mulai dari menyembah berhala, mabuk-mabukan, perzinaan di mana-mana, peperangan, dan yang paling tragis adalah perlakuan mereka terhadap kaum perempuan. Pada masa pra-Islam, mereka mempunyai dua cara dalam menyambut kehadiran perempuan. Menguburnya hidup-hidup dan membunuhnya. Karena kehadiran bayi perempuan dianggap sebagai aib, atau tetap membesarkannya dengan perlakuan tidak adil dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan seorang perempuan dijadikan sebagai harta benda yang dapat diwariskan. Masa jahiliyah ini menjadi titik hitam peradaban perempuan.

Bukan hanya itu, sebelum hadirnya ajaran Islam, banyak peradaban-peradaban besar yang ada di belahan dunia seperti Yunani, Romawi, India, Cina, Mesir, dan lain-lain, juga telah ada agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani, Budha, dll, akan tetapi semua peradaban dan agama tersebut tidak punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perempuan. Bahkan mereka cenderung tidak menghargai sama sekali hak-hak dari kaum perempuan, malahan kaum perempuan punya kedudukan yang direndahkan.

Kedudukan sosial pada perempuan saat itu pun lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki karena mereka memandang perempuan sebagai barang dagangan yang bisa dimiliki seperti uang, kendaraan, atau bahkan binatang ternak yang mana akan menyebabkan perempuan tidak memiliki hak waris, dan hak untuk dirinya sendiri. Perempuan pada waktu itu tidak berhak mendapatkan pendidikan dan hanya sebagai pelayan laki-laki. Dalam hal ini, perempuan bukan diajarkan pada moral dan akhlak, justru diajarkan sebagai pemuas laki-laki. Inilah yang disebut dengan perempuan yang ditindas dan tidak diberdayakan.

Berbeda dengan peradaban-peradaban dan agama-agama besar tersebut, kedatangan Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan serta segi-segi kehidupan mereka. Dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-Hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak sulit kita membuktikan betapa Islam benar-benar memperhatikan persoalan perempuan dan menempatkan mereka pada tempat yang terhormat.

Islam datang dengan keadilan dan persamaan antara lelaki dan perempuan serta menghormati harkat dan martabatnya. Dengan demikian, Islam memperluas ruang peranan dan memenuhi hak-hak perempuan secara sempurna, menghargai kemanusiaan, mengakui keterlibatannya bersama kaum laki-laki di segala bidang pekerjaan dan tugas, kecuali pekerjaan yang tidak sesuai dengan harkat, martabat, dan kodrat keperempuanannya.

Semenjak zaman itu, keterdidikan perempuan sangat esensial dalam menghasilkan prototipe manusia beriman, mampu bekerja, berpikir, berkarya, dan hidup dalam konteks transparan yang bermutu. Menjadikan agama sebagai kekuatan universal berfungsi sebagai alat pengenalan diri manusia muslim dalam menemukan makna hidup dan lingkungan, serta berkiprah di berbagai bidang kehidupan dengan kajian berpikir positif, kritis, dan dinamis demi kemaslahatan orang banyak dengan landasan keimanan pada kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala.

Pola pikir ini menyaratkan kemauan dan kemampuan perempuan muslim untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan landasan keimanan agar tidak tertepis. Perpaduan antara pikir dan dzikir itu berguna untuk mewaspadai ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dalam totalitas keimanan, keilmuan, dan pengalaman yang merupakan perwujudan, penyandaran, dan pengendalian diri untuk mewaspadai dampak negatif kemajuan terhadap ajaran agama.

Lalu, jika dilihat dari segi historisnya, Islam itu terbagi menjadi tiga; Islam klasik (650-1020 M.), pertengahan (1020-1800 M.), dan modern (1800-sekarang). Tepatnya pada zaman sekarang sudah memasuki era modern di mana perempuan dituntut untuk menjadi perempuan yang memiliki nalar kritis, menciptakan ide-ide kreatif, aktif berperan membangun peradaban modern. Inilah yang disebut dengan creative modernizer. Bukanlah perempuan yang hanya sebagai masyarakat pada umumnya, tidak menjadi pembaharu zaman atau yang bisa disebut dengan reactive modernizer.

Jadi, perempuan itu bukan saatnya ditindas lagi, akan tetapi diberdayakan. Sebagai seorang perempuan, maka harus pandai-pandai untuk mengambil tempat dalam pemberdayaan tersebut. Apalagi di era modern ini, yang perlu dipupuk dalam dirinya ialah dengan memperkuat keilmuan dan ketakwaannya. Dengan melalui kecerdasan dalam intelektual, kearifan pola kehidupan, dan idealisme ataupun menggunakan watak pengabdian yang akan membawa dirinya pada keoptimalan peran ataupun peluangnya.

*Tulisan ini bersumber dari diskusi Lingkar Studi Perempuan Sudan Part V dengan tema, “Perempuan Muslimah Ditindas ataukah Diberdayakan?”. Pemantik 1 : Ustazah Mubarokatul Aulia dan pemantik 2 : Ustazah Atikal Maula pada 4 Juni 2022.

Baca juga Balutan Debu Negeri Darwis

Tinggalkan Balasan