Bagi mahasiswa Indonesia yang sedang atau pernah tinggal di Timur Tengah (baca: Arab –pen) , mungkin tidak asing lagi dengan istilah “InsyaaAllah” (إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ ),“bukrah”, (بكرة) dan “ma’lesy” (معليش). Ketiga kata ini, oleh John Mason, seorang antropolog Amerika yang lama tinggal di Mesir, disebut dengan istilah “IBM”. Namun IBM yang dimaksud bukan akronim dari “International Business Machines Corporation (IBM)” – sebagaimana yang terkenal di Amerika – melainkan kepanjangan dari istilah “InsyaaAllah, Bukrah, dan Ma’lesy”.
Baca juga : Ali bin Abi Thalib Sang Sastrawan
Menurut John Mason, bagi orang Amerika yang tinggal di Arab, IBM atau InsyaaAllah, Bukrah, dan Ma’lesy ini memiliki konotasi negatif. Mereka seakan mengalami “shock culture” akibat rasa frustrasi karena hidup dalam budaya baru, di mana kultur kehidupan sehari-hari di Arab sangat kontras dengan apa yang biasa mereka rasakan di negaranya. Khususnya ketika dihadapkan dengan urusan administratif.
Hal itu juga mungkin dialami oleh sebagian besar mahasiswa Indonesia yang tinggal di Timur Tengah (Arab). Mona Abazza, seorang peneliti dari Jerman yang mengajar di American University di Cairo, Mesir, menulis sebuah artikel yang berjudul “Indonesian students In Cairo” (mahasiswa Indonesia di Kairo). Dalam tulisannya, ia menyebutkan ada beberapa problematika yang dihadapi mahasiswa Indonesia di Kairo, – penulis kira problematika ini juga dirasakan oleh mahasiswa Indonesia lainnya yang belajar di Timur Tengah-, salah satunya adalah sistem administrasi di negara Timur Tengah (Arab) yang sulit dan berbelit-belit.
Persoalan di atas menurut hemat penulis merupakan salah satu manifestasi dari persepsi atau pikiran orang-orang Arab terhadap istilah InsyaaAllah, Bukrah, dan Ma’lesy.
Sebagaimana pendapat Edward Sapir, seorang anthropologis-linguis dari Amerika, yang menyatakan bahwa bahasa suatu kaum atau kelompok berfungsi membentuk persepsi dan pikiran, lalu pada akhirnya cara seseorang melakukan sesuatu. Teori ini kemudian dikenal dengan teori Sapir.
Misalnya istilah “bukrah” ketika petugas administrasi di Arab ditanya, “kapan visa akan selesai?”, mereka menjawab “Bukrah”.
Secara semantik, menurut Ahmad Mukhtar Umar dalam kamusnya Mu’jam al-lughah al-Arabiyah al-mu’ashiroh, kata bukrah merupakan kosakata nomina polisemi yang memiliki dua makna. Pertama; bermakna “ghudwah” atau “shobah” (pagi hari), sebagaimana ayat Al-Qur’an:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا
Dan ingatlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang ( Q.S. Al-Insan: 25).
Kedua; bermakna ghad (besok hari). Sementara dalam bahasa Inggris, kata bukrah memiliki arti tomorrow (besok hari). Di Timur Tengah sendiri, istilah bukrah lebih populer dan sering digunakan ketimbang ghad.
Namun, bagaimana kata bukrah menurut persepsi orang Arab? Apakah besok adalah hari setelah hari ini? Jika hari ini minggu, maka besok adalah senin. Jika hari ini senin, maka besok adalah selasa, dan seterusnya.
Nampaknya kata besok menurut persepsi orang Arab bisa berarti “waktu yang akan datang”. Artinya, bisa bermakna 24 jam dari hari ini, bisa juga bermakna lusa, satu minggu, atau satu bulan atau bahkan satu tahun yang akan datang.
Misalnya ketika seorang laki-laki di Arab berkata kepada seorang perempuan “Saya akan melamarmu besok”. Jika dia mengatakannya di hari minggu, maka belum tentu dia akan melamar di hari senin, karena kata “besok” di sini memiliki beragam interpretasi sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Terkadang “besok” menurut persepsi orang Arab dengan “besok” menurut persepsi orang barat mungkin saja berbeda. Seperti halnya kadar “sebentar” menurut kaum pria dengan “sebentar” menurut kaum wanita, atau kadar “jauh” menurut anak-anak dengan “jauh” menurut orang dewasa.
Selanjutnya, kata “bukrah” juga sering dibumbui dengan kata “InsyaaAllah” , “InsyaaAllah bukrah” atau “InsyaaAllah ba’da bukrah”.
Insyaallah atau Insya Allah (إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ ) adalah ucapan seseorang dalam bahasa Arab yang memiliki arti “Jika Allah mengizinkan” atau “Kehendak Allah”. Istilah ini digunakan untuk menyertai pernyataan akan berbuat sesuatu pada masa yang akan datang.
Di negara-negara yang menggunakan Bahasa Arab, istilah ini digunakan oleh semua umat beragama, yang berarti istilah ini tidak menunjukkan sifat suatu agama tertentu, tetapi hanya memiliki arti “Jika Allah/Tuhan mengizinkan”.
Namun John Bagnol, seorang dosen/peneliti di Ohio University, Amerika Serikat, pernah meninjau/mengkaji kata “insyaaAllah”. Setelah itu, ia mulai mengadakan penelitian ilmiah tentang kalimat ini dan kaitannya dengan tingkah orang Arab (kaum muslimin) yang suka menyia-nyiakan/mengulur-ulur waktu.
Sebenarnya, istilah InsyaaAllah tidak hanya digunakan di Arab, tetapi juga oleh umat Islam di Indonesia. Kita sering mendengar kata “InsyaaAllah” keluar dari lisan orang Indonesia saat hendak melakukan sesuatu. Namun kata “InsyaaAllah” kadang di persepsikan negatif, karena ia terkesan digunakan untuk melegitimasi tindakan kebohongan. Meskipun ada juga yang menggunakannya dengan benar, yaitu meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya.
Mungkin kita ingat salah satu dialog dalam film Ketika Cinta Bertasbih, saat Azzam diminta Kiyai Luthfi (bapak Ana Althofunnisa) untuk datang ke pengajian dan hadir di pernikahan putrinya”, Azzam menjawab “InsyaaAllah, Pa Kiai”, lalu sambil tersenyum sang kiyai bilang “Semua InsyaaAllah mu itu akan ditagih loh, Zam!”.
Ketika janji yang sudah disepakati itu ternyata tidak ditepati, karena beragam kendala, maka orang-orang Arab akan mengatakan “ma’lasy” معليش, yang secara kontekstual bermakna “maaf”.
Awalnya penulis mengira, itu adalah bahasa Arab pasar (Amiyah), ternyata ma’lasy itu bahasa resmi (fusha) yang merupakan bentuk akronim dari “ma alaihi syaiun” atau “ma’ alaika syai’un “ yang secara literal bermakna “tidak apa-apa” atau meminjam istilah John Bagnol dalam bahasa Inggris yaitu “never mind” atau “it’s not important” .
Ungkapan ma’lasy berimplikasi pada perilaku orang-orang Arab, seringkali keterlambatan, penundaan, atau kesalahan, dianggap “hal biasa/tidak apa-apa” dan “tidak penting”, meskipun bagi orang lain itu sangat penting dan mendesak. Misalnya, ketika ia menjanjikan visa selesai di waktu yang telah ditentukan, ternyata belum selesai karena berbagai alasan, maka dengan enteng mereka mengatakan “ma’lesy”.
Lagi-lagi kebiasaan menggunakan kata-kata ini seolah menolerir bentuk kesalahan atau ketidakmampuan dalam menepati janji. Sepertinya kata-kata itu memberi pesan bahwa kata “manusia” dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Arab “Man Nasia” (من نسي), yang artinya orang yang lupa. Bahwa manusia tempat salah dan lupa.
Tujuan paparan di atas bukan untuk mendeskriditkan budaya Arab dan memberi stigma negatif terhadap orang-orang Arab, melainkan sebagai langkah antisipatif terhadap komunikasi antar budaya, juga agar seseorang memiliki suatu standar tingkah laku sehingga ia berhasil bergaul dengan berbagai bangsa yang berbeda di dunia, melaui bahasa dan budayanya masing-masing.
Prof. Dr. Azhar Arsyad, Guru Besar Bahasa Arab UIN Makassar, mengutip pendapat pakar budaya Amerika (Samavar dan Rubben) disebutkan bahwa perangsa, stereotype, dan etnosentrisme merupakan kendala yang menghalangi terealisasinya komunikasi antar budaya. Sebaliknya, empati merupakan suatu penunjang keberhasilan komunikasi antar kaum, golongan, atau bangsa. Oleh karena itu, toleransi menjadi suatu keniscayaan bagi mereka yang tinggal di tempat dengan budaya, adat, dan bahasa yang berbeda.
Perlu diketahui juga, sebelum menulis artikel ini, saya sempat bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang sedang menempuh Pendidikan Tinggi di Timur Tengah “Mas, apakah tulisan ini nanti tidak menyinggung, karena isinya yang agak mendeskriditkan budaya Arab yang cenderung lambat dan tidak tepat janji?” Kata beliau “ndak papa, Mas”. Hehe.
Jika di dunia ini selalu ada dualitas, misalnya ada sisi terang dan sisi gelap, maka percayalah! Tulisan ini hanya mengulas sisi gelapnya saja, tentunya ada bahkan sangat banyak sisi terang lain misalnya kata Alhamdulillah, Ahlan wa sahlan, dan lain sebagainya dalam bahasa Arab yang InsyaaAllah bukrah penulis akan mengulasnya.
Penulis : Oman Karya Suhada
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)