Pemanusiaan Perempuan Dalam Al Quran

pemanusiaan perempuan

Salah satu bentuk tindakan diskriminasi kemanusiaan yang mendapat perhatian serius pada masa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah diskriminasi terhadap perempuan. Masyarakat Arab Jahiliyah zaman dahulu menganut sistem patriarki (al-abawiy) yang sangat melekat kuat. Sistem ini menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama, sentral, dan bahkan terbilang tunggal. Sementara pemanusiaan perempuan dipinggirkan, dianggap tidak penting, bahkan dianggap sebagai sumber paceklik dalam kehidupan.

Dengan demikian, pemahaman dan penerapan ajaran Islam tentang perempuan di manapun dan kapanpun semestinya harus dipertimbangkan bukan dengan jenis kelamin (natural biologis), melainkan nilai ketakwaan yang menjadi ukuran kemuliaan manusia disisi Allah. Dengan ukuran seperti itulah tidak akan ada perlakuan yang terwujud pada pengabaian tujuan akhir dari salah satu keduanya, yaitu memanusiakan perempuan secara universal.

Al Quran adalah sebuah sistem ajaran Islam dan sebuah proses sistem pemanusian penuh perempuan. Apa arti dari pemanusiaan penuh perempuan? Yaitu pemanusiaan perempuan yang tidak bisa menjadikan laki-laki sebagai standar tunggal kemanusiaan perempuan, sehingga persamaan dan perbedaannya perlu dipertimbangkan. Pesan Al-Quran dalam pemanusian perempuan itu akan kelihatan pada sejarah kehadirannya.

Sistem nilai secara umum, perempuan secara mutlak miliknya laki-laki selama seumur hidupnya. Anak perempuan sebelum menikah pasti miliknya ayah, ketika sudah menikah sudah pasti menjadi miliknya suami. Seorang ayah atau suami bisa saja menjual anak perempuannya atau istrinya. Tetapi di zaman sekarang hak tersebut sudah tidak memungkinkan. Di zaman sekarang para lelaki  modus untuk menikahi perempuan kemudian perempuan tersebut dijadikan pelacur atau dieksploitasi sehingga laki-laki mendapatkan uang. Tradisi memperlakukan perempuan seolah-olah sebuah benda ini ditemukan pada zaman Jazirah Arab sebelum Islam datang.

Relasi antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan ialah laki-laki sebagai subjek, perempuan sebagai objek, laki-laki manusia dan perempuan sebagai benda. Al-Quran sering meminjam cara berfikir masyarakat arab. Dalam ayat-ayat al-quran sendiri ada ayat yang memaknai perempuan sebagai objek dan ini merupakan titik perangkat islamisasi dari pemanusiaan penuh pada perempuan. Contohnya pada ayat tentang menjelaskan bidadari surga yang mana perempuan itu di lihat sebagai objek melampiaskan kebutuhan biologis. Surga menurut pandangan masyarakat patriarki merupakan puncak kebahagiaan yang dikelilingi oleh perempuan cantik dan muda.

Titik kompromi dalam proses pemanusiaan perempuan itu diperlakukan sebagai objek, mau diperlakukan sebagai subjek secara penuh itu tidak mudah dan cepat prosesnya, perlu adanya target antara laki-laki subjek dan perempuan benda kemudian menjadikan perempuan menjadi manusia tetapi standar manusianya sama dengan laki-laki. Perempuan itu subjek primer sedangkan laki-laki itu subjek sekunder. Kerentangan seorang perempuan dilakukan tidak adil itu karena kerentanannya, maka jangan sampai menyakiti perempuan.  Standar biologisnya perempuan itu ada 5 yaitu, menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Kemudian standar sosial nya juga ada 5 yaitu stigmalisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.

Baca juga: Humor sebagai Penghilang Stres

Pemanusiaan penuh pada perempuan dalam proses berislam yaitu mengakui bahwa mengalami biologisnya perempuan, mencegah terjadinya kedzaliman karena itu menjadi tanggung jawab keperempuanan. Sedangkan menjadikan biologis perempuan dan kesakitan perempuan itu menjadi tanggung jawab bersama.

Manusia dibedakan atas ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, entah itu laki-laki atau perempuan juga dilihat dari ketakwaannya bukan karena ia laki-laki tangguh sebagaimana di jelaskan dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13. Al Quran itu tidak hanya merekam manusia yang di idealkan tetapi juga merekam relasi laki-laki dan perempuan sebagai problem diatasi dengan laki-laki sebagai subjek sekunder dan perempuan sebagai subjek primer. Tugas kita yaitu mengubah sistem yang dzalim untuk bergerak menjadi lebih adil, semakin adi, seadil-adilnya sesuai kemampuan kita, bukan memberantas kedzaliman sampai nol. Siapa kita? Kita ini bukan Rasul, hanya seorang manusia biasa.

Al-Quran itu firman Allah yang maha tahu dan maha adil sehingga ayat-ayat yang menjelaskan tentang perempuan itu benar-benar menjadi acuan keadilannya, tetapi manusialah yang salah penafsiran dan tidak tahu makna yang sesungguhnya.

Penulis: Atikal Maula

Baca juga Idris Jamma’; Pujangga Sudan yang Gila karena Cinta

Tinggalkan Balasan