“Apakah Allah laki-laki ataukah perempuan?” Lalu “Apakah hanya laki-laki yang berhak menerima wahyu saja?”
Kita tahu bahwa mengajukan saja pertanyaan-pertanyaan semacam itu terkadang dianggap ‘tabu’ karena tidak pantas mempertanyakan jenis kelamin Tuhan. Atau itu pertanyaan syirik karena mengasumsikan personifikasi Tuhan, dan seterusnya.
Namun, saya mengutip salah satu pemikiran dari Kaukab Siddique, yang merupakan seorang Doktor di Dalhousie University, Halifax, Canada dan aktif melakukan advokasi gender dalam berbagai forum diskusi dan publikasi.
Beliau memaparkan, “Justru pertanyaan-pertanyaan di atas yang harus diajukan dan diberikan jawabannya. Sebab persoalan-persoalan yang ‘mengganjal’ itulah yang selama ini telah menjadi tulang punggung “agama laki-laki” untuk menindas kaum perempuan. Jika perempuan hendak dibebaskan, maka ‘iman’ yang male oriented inilah yang harus dibongkar”.
Apakah Allah Laki-Laki ataukah Perempuan?
- Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang (Q.S. Al-Fatihah:1)
- Katakanlah: “Dialah Allah, Ytmg Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tiada pula dilahirkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia. “(Q.S. Al-Ikhlas:1-4)
- Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian. (Q.S An-Nisa’: 1)
Dalam Q.S. Al-Ikhlas yang sudah disebutkan dalam nomor 2 di atas adalah jelas bahwa ayat tersebut menggambarkan sifat khas keesaan Allah. Konsep al-Qur’an ini sama sekali berbeda dengan agama-agama takhayul yang mencoba “Menciptakan” Tuhan dalam citra manusia. Umat manusia mengalami kesulitan untuk menceritakan suatu Pencipta yang berada di luar daya ungkap bahasa manusia dan di luar kemampuan pencitraan. Oleh sebab itulah, kaum pagan merasa perlu untuk membuat berbagai pencitraan Tuhan. Perkembangan lebih lanjut dari kebutuhan ini adalah kepercayaan mengenai reinkarnasi. Orang-orang Yunani, Hindu, Kristen, masing-masing memiliki konsep tentang inkarnasi Tuhan dalam bentuk manusia.
Al-Qur’an memangkas konsep anthropomorfis Tuhan itu dengan mengatakan dalam salah satu ayatnya yang paling kuat bahwa “Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” Tuhan tidak melahirkan, karena Dia memang bukan perempuan, dan tidak pula dilahirkan seperti al-Masih.
Dalam pembahasan paragraf ini yang menurut saya adalah penting dan banyak sekali mengundang pertanyaan, “Mengapa Allah menggunakan kata ganti huwa (“Dia laki-laki” dalam Bahasa Arab) dalam Al-Qur’an, dan apakah Allah memang lebih Pro pada sifat maskulinitas yang sangat jelas yakni terhadap kaum laki-laki? Lalu bagaimana Allah memandang kaum perempuan?
Penggunaan kata ganti huwa untuk Allah bisa membingungkan sejumlah ulama dan mereka sampai-sampai menganggap Allah adalah Tuhan yang laki-laki. Dari situlah mereka kemudian mempostulatkan suatu versi Islam yang sangat maskulin. Namun, ayat-ayat dalam surat al-Ikhlas tersebut menunjukkan bahwa pemikiran semacam itu dapat divonis sebagai syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain), yang dalam Islam adalah dosa yang paling besar.
Dalam berkomunikasi dengan umat manusia, Allah memang selalu menggunakan istilah-istilah manusia. Oleh sebab itulah digunakan istilah huwa (Dia) atau nahnu (Kami) sebagai kata ganti untuk Allah. Untuk menyampaikan makna Kemaha-beradaan dari Sang Pencipta dan Sang Pemelihara Semesta, Allah menggunakan untuk diri-Nya atribut-atribut atau sifat-sifat terbaik yang bisa dipahami manusia. Jadi, salah besar apabila orang memahami atribut-atribut itu hanya dari dimensi makna maskulinnya.
Sebenarnya, istilah-istilah al-Qur’ an untuk Allah tidak melulu menggunakan atribut-atribut yang maskulin, tetapi juga ada yang menggunakan atribut feminin. Kalian perhatikan, bahwa dalam setiap surat dalam al-Qur’an (kecuali surat at-Taubah) selalu diawali dengan kalimat: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (rahim)”. Istilah rahim berasal dari kata rahm yang berarti rahim, dan mengandung arti cinta tulus seorang ibu. Kualitas feminin ini harus dijaga oleh umat Islam. Salah satunya ada dalam Surah (An-Nisa’) yang menempatkan kepatuhan kepada Allah dan “rahim-rahim” secara bersamaan.
Dengan pemahaman ini orang dapat membayangkan betapa jauh penyimpangan mereka yang menyepelekan keibuan dan mencoba merendahkan wanita karena menstruasi dan melahirkan anak.
lnterpretasi ini berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Qurthubi dan Ibn Katsir saat menafsirkan ayat pertama dalam surat al-Fatihah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah menyatakan ‘Aku adalah Rahman, dan Aku menciptakan rahim {rahm} dan nama rahm merupakan salah satu nama-Ku (rahim). Barang siapa yang ‘menyambung hubungan rahim (silaturrahim) akan ku jaga sepenuhnya, dan barangsiapa yang memutuskan silaturrahim ini akan Aku putuskan. “
Hubungan-hubungan rahim adalah segenap hubungan darah yang telah disucikan oleh Allah. Oleh sebab itulah dalam Islam sangat perlu untuk menjaga seluruh keluarga, menyayangi dan mencintai anak-anak dan kedua orang tua.
Jadi, Allah mengajari manusia dengan bahasa mereka sendiri. Sebuah kesia-siaan belaka jika hanya membatasi Tuhan dalam batas-batas bahasa manusia. Allah tidak laki-laki dan tidak pula perempuan. Allah mencintai kedua jenis kelamin itu. Maka sudah sangat jelas bahwa dalam pandangan Allah hanya amal shaleh-lah yang dilihat-Nya, bukan dari jenis kelamin.
Penulis: Laila Aghnia (Muslimat NU Sudan)
Baca juga Kembara Jarak
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response