Konsep Teori Abrogasi Perspektif Imam Juwaini dalam Mendialogkan Sumber Hukum Islam

Imam Juwaini (wafat 478 H) adalah seorang sarjana muslim terkenal dalam bidang ushul fiqih (The Principles Islamic Jurisprudence), fiqih (Islamic Jurisprudence), dan teologi (The Principles Islamic Teologhy) yang pernah diberi mandat oleh seorang menteri pada masa pemerintahan dinasti Saljuk untuk menjadi promotor orientasi pendidikan Islam di masanya melalui sebuah universitas yang dikenal dengan Madrasah Nidhzamiyyah di Baghdad. Di antara murid-murid Imam Juwaini yaitu Imam Abu Hamid al-Ghazali, Syekh Al-Kiya al-Harosi, Syekh Ibn AL-Qusyairi, Syekh Al-Khowani.

Disamping itu kualitas intelektual imam Juwaini dalam disiplin ilmu pengetahuan telah diakui oleh lawan ideologinya seperti Muktazilah. Ketinggian nalar berfikir Imam Juwaini ini telah terdokumentasikan dalam karya-karyanya seperti al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, at-Talkhis fi Uhsul al-Fiqh, Al-Mankhul dalam bidang ushul fiqih (The Principles Islamic Jurisprudence), as-Syafil fi Ushul al-Din, al-Irsyad Ila al-Qawathi’ al-Adillah dalam bidang teologi (The Principles Islamic Teologhy), Nihayah al-Mathlab wa Dirayah al-Madzhab (Islamic Jurisprudence) dan lain-lain.

Sebagai ulama panutan untuk generasi selanjutnya dalam berpikir dengan nalar Islam, tentunya Imam Juwaini memiliki pandangan-pandangan khusus yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah terkait konsep dalam mendialogkan sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan hadits berdasarkan metodologi Islam deduktif rasionalis (ushul fikih) yang nantinya dapat diterapkan pada pembacaan nas Al-Qur’an dan hadis guna menemukan suatu hukum yang dikehendaki tuhan. Di antaranya adalah teori pembatalan atau abrogasi (naskh).

Dalam beberapa kitab Imam Juwaini seperti At-Talkhis fi Ushul Al-Fiqh dan al-Mankhul maksud naskh (abrogasi) telah disebutkan secara etimologi bermakna menghilangkan atau memindahkan dan secara terminologi naskh adalah sebuah khitob yang mengindikasikan atas terangkatnya hukum yang telah ditetapkan oleh khitob yang datang terdahulu sekiranya jika tidak karena khitob itu (yang datang kemudian) maka hukum itu akan ditetapkan seterusnya. Adapun redaksinya sebagai berikut:

النسخ هو الخطاب الدال على ارتفاع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على وجه لولاه لكان ثابتا مع تراخيه عنه

Artinya:

“Naskh adalah suatu khitob yang mengindikasikan atas terangkatnya ketentuan yang telah ditetapkan dengan khitob terdahulu serta adanya kerentanan antar keduanya dari segi jika tidak ada khitob itu maka hukum itu akan tetap”.

Dari definisi ini kita dapat memahami, bahwa naskh menurut Imam Al-Juwaini harus ada sebuah hukum terdahulu yang telah ditetapkan yang nantinya disebut mansukh (hukum yang diangkat) dengan datangnya khitob baru (yang nantinya diistilahkan dengan nasikh) guna mengangkat hukum yang telah ditetapkan oleh khitob yang terdahulu.

Imam Juwaini dalam pemahamannya terkait teori abrogasi ini bukan hanya mencakup hal yang berkaitan dengan permasalahan yang tersurat (nash) akan tetapi juga tersirat (dhimnan). Begitu pula Imam Al-Juwaini tidak hanya membatasi hukum perintah (al-Amr) dan larangan (an-Nahyu) saja, akan tetapi hukum taklifi yang lain seperti makruh, mubah, nadb juga termasuk. Hal itu terlihat dengan hanya memahami penggunaan kata-kata “khitob” oleh Imam Al-Juwaini. Maka dari sini, imam Al-Juwaini terang-terangan tidak setuju jika hanya menggunakan kata “An-Nash” karena akan mencakup hal yang tersurat saja dan “Al-Amr” yang hanya mencakup perintah semata-mata.

Dengan memahami kalimat ارتفاع الحكم الثابت yang berarti terangkatnya hukum yang telah ditetapkan dari definisi di atas, maka di sini penulis berasumsi, makna naskh menurut Imam Juwaini bukanlah pembatalan hukum sebelumnya melainkan terangkatnya hukum. Sebab makna naskh dengan“pembatalan hukum” nantinya akan memberikan asumsi negatif seperti hukum yang pertama adalah tidak baik dan yang datang kemudian adalah baik.

Dalam teori naskh (Baca: abrogasi), dalam kitabnya At-Talkhis fi Uhsul al-Fiqh Imam Juwaini menetapkan empat unsur yang harus terpenuhi sehingga teori ini sempurna, yaitu nasikh (yang mengangkat), naskh (proses pengangkatan), mansukh (yang diangkat) manuskh ‘anhu (yang diangkat tentangnya).

Adapun makna nasikh (yang menghapus) menurut Imam Juwaini dalam unsur teori abrogasi ini adalah Allah SWT yang mana Dia-lah yang membatalkan hukum dan menetapkannya pula. Dan terkadang yang dimakasudkan dari nasikh ini adalah khitob itu sendiri.

Sedangkan makna naskh yang merupakan unsur kedua dalam teori abrogasi telah dikemukakan oleh Imam Juwaini pada paragraf sebelumnya, yaitu sebuah khitob yang mengindikasikan atas terangkatnya hukum yang telah ditetapkan oleh khitob yang datang terdahulu sekiranya jika tidak karena khitob itu (yang datang kemudian) maka hukum itu akan ditetapkan seterusnya.

Sementara makna mansukh yang merupakan unsur ketiga berarti hukum yang diangkat dengan adanya proses pengangkatan (naskh). Sedangkan maksud dari unsur yang terakhir yaitu mansukh ‘Anhu hanya disebutkan saja oleh imam Juwaini dalam kitab At-Talkhisnya dan tidak dijelaskan secara jelas dalam kitab-kitabnya yang lain baik Al-Burhan, Al-Mankhul atau pun kitab Al-Waraqat.

Terlepas dari pembahasan unsur teori abrogasi ini, ternyata perdebatan antara adanya teori abrogasi dalam Islam dianggap sangat krusial seperti penolakan Abu Muslim Al-Asfihani ulama yang pertama kali menentang adanya teori abrogasi dalam Islam terlebih dari kalangan Yahudi sebagaimana dikatakan pada awal pembahasan teori abrogasi di kitab al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul karya Imam Juwaini yang dikomentari oleh Imam Ghazali di mana orang-orang Yahudi menolak dengan berlandaskan akal terkait adanya teori abrogasi ini.

Sangat menarik ketika menganalisis metode dialogis Imam Juwaini dalam kitab al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul saat memberikan pernyatan yang diarahkan kepada kaum Yahudi “Jika saja teori abrogasi ini dianggap mustahil adanya karena anda tidak menjumpai gambarannya”. Maka Imam Juwaini memberikan contoh sangat logis, yaitu seperti ungkapan seorang tuan kepada pembantunya “Kerjakan ini!, kemudian setelahnya mengatakan “Jangan kerjakan!”. kemudian jika nanti orang-orang Yahudi mengatakan, bahwa kemustahilan adanya teori abrogasi ini dinukil dari nabi Musa, A.S. maka mereka telah berdusta sebab nabi Musa, A.S. syariatnya pernah dinaskh.

Di antara klaiman terkait teori abrogasi ini yaitu teori ini akan mengarah kepada pemahaman akan adanya permulaan hukum. Pemahaman seperti ini menurut Imam Juwaini kurang tepat, sebab naskh dalam pemahaman para ahli ushul adalah mengangkat hukum yang telah ditetapkan terdahulu sehingga yang datang setelahnya menjadi pengganti hukum tersebut bukan permulaan. Maka dari itu, penolakan terhadap kaum Yahudi telah berakhir.

Adapun perdebatan antar ulama muslim terkait ada dan tidaknya teori abrogasi ini merujuk kepada ayat 106 dari surah Al-Baqaroh.

Artinya:

“Ayat mana saja yang kami naskh-kan atau kami jadikan lupa kepadanya, kami akan datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya……dst”.

Pemahaman kata “ayat” pada ayat ini, sangat berpengaruh dalam perdebatan antara ulama yang pro dan kontra terkait teori abrogasi ini. Adapun ulama yang pro karena memandang makna naskh adalah penghapusan atau pembatalan yang kemudian memaknai kata “ayat” sebagai ayat Al-Qur’an sehingga teori abrogasi secara nas telah ditetapkan. Menurut Mustafha Zaid, pandangan ini dijadikan pegangan oleh mayoritas ulama seperti ibn Kastir, Imam Juwaini dan lainnya.

Berbeda halnya dengan ulama yang kontra, pemaknaan kata “ayat” dalam konteks ayat dari surah Al-Baqaroh di atas bermakna mukjizat atau bukti kenabian atau seperti pemaknaan Abu Muslim dengan mamaknai kata “ayat” dengan syariat terdahulu yang kemudian dihapus oleh Syariat Rasulallah SAW sehingga bukan artinya pembatalan ayat atau hukum dengan ayat yang datang kemudian, akan tetapi pembatalan syariat terdahulu dengan syariatnya Rasulallah S.AW. Tentu dengan adanya dua pandangan ini akan membentuk suatu hukum yang sangat berbeda nantinya dalam mengistimbathkan hukum.

Dikarenakan inti poin pembicaraan kita adalah berkaitan dengan ulama yang mengatakan, bahwa teori abrogasi ini ada di dalam Islam di antaranya Imam Juwaini, oleh karenanya kita tidak membicarakan panjang lebar terkait pandangan-pandangan yang menolak adanya teori abrogasi ini.

Menurut hemat penulis, adanya teori abrogasi dalam Islam sudah ada yang nantiya digunakan oleh ulama untuk mendialogkan sumber-sumber hukum Islam yang terlihat kontradiksi. Adanya teori abrogasi ini ada berlandaskan dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam begitu juga dengan berlandaskan nalar rasional bahkan secara historis. Seperti pemindahan arah kiblat yang awalnya ke bait al-Maqdis kemudian ke arah ka’bah dan inilah asal-muasal turunnya ayat surah Al-Baqarah sebagaimana yang telah dilansir di paragraf sebelumnya.

Adapun aturan dalam mengoprasionalkan teori abrogasi ini, menurut Imam Juwaini hanya berlaku pada Al-Qur’an dengan Al-Qur’an kemudian sunnah dengan Al-Quran. Artinya Al-Qur’an dapat menaskh (mengangkat) hukum yang dikandung oleh ayat Al-Qur’an begitu pula hukum yang dikandung dalam sunnah bisa diangkat oleh Al-Quran.

Adapun hukum yang dikandung oleh ayat Al-Quran yang diangkat oleh hadis menurut para pakar ushul dapat terjadi. Berbeda halnya dengan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Al-Ustaz Abu Ishaq menolak hal demikian itu sebagaimana imam Ghazali merilis pandangan ini dalam kitabnya al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul.

Terlepas dari apa yang telah dijelaskan di atas, menurut Imam Juwaini, konsekuensi dari penerapan teori abrogasi untuk mendialogkan sumber agama Islam ini bisa saja terjadi dalam beberapa gambaran, yaitu dihapusnya ayat namun hukumnya ditetapkan atau hukumnya dihapus namun ayatnya masih dapat dibaca dan yang terakhir bisa saja ayat dan hukumnya dihapus secara bersamaan.

Penulis: Sholah ibn Mawardi

Baca juga Metode Penafsiran Teks Keagamaan dalam Penalaran Ulama Maroko; Abu Thayyib Maulud Surairy

One Response

Tinggalkan Balasan