Relasi Laki-Laki dan Perempuan; Menabrak Tafsir Teks, Menakar Realitas

Relasi laki-laki dan perempuan

Isu gender menjadi sangat menarik ketika dihubungkan dengan wacana keislaman yang memang merupakan salah satu elemen dalam berbagai perubahan sosial, kebudayaan, dan politik. Berbagai upaya telah dilakukan guna mengembangkan isu tersebut mulai dari dekonstruksi khazanah Islam sampai upaya rekonstruksinya. Salah satu yang menjadi inti kajiannya adalah problem relasi laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks relasi tersebut, laki-laki selalu dianggap memiliki wilayah peran publik dan perempuan dianggap sebagai penguasa dan penentu peran domestik. Karena itu, keduanya dipersepsikan mempunyai wilayah aktualisasi diri yang berbeda. Sekat budaya ini, menurut kaum feminis, merupakan warisan kultural dan budaya, baik dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, maupun masyarakat modern.

Di sisi lain, ditemukan banyak pemahaman terhadap teks yang memperkuat bahkan ikut andil dalam mendawamkan kontruksi budaya tersebut, yang notabene teks-teks tersebut diturunkan pada budaya Arab yang patriarkis, sehingga tafsiran tersebut selalu berbias gender. Padahal dalam pendekatan yang berbeda didapatkan banyak teks yang justru mendukung kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks tersebut, dapat dielaborasi bahwa konsep relasi laki-laki dan perempuan muncul dan berkembang mulai dari hasil pemahaman terhadap teks dan konstruksi budaya sehingga saat ini ditemukan wujud realitas yang berbeda.

Jika melihat fakta sejarah, Islam adalah satu-satunya agama yang menentang keras ketidakadilan terhadap manusia, termasuk ketidakadilan terhadap perempuan. Ketika Islam pertama kali masuk ke Jazirah Arab, Islam menghadapi budaya Arab dengan nuansa patriarki yang kental. Peradaban pra-Islam adalah peradaban laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki ruang untuk realisasi diri. Bahkan bagi orang Arab klasik, kelahiran seorang wanita merupakan aib yang tak tertahankan bagi keluarga.

Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam dengan sangat jelas menentang ketidakadilan dan sangat menjunjung tinggi kesetaraan antar manusia. Namun, memahami beberapa kitab suci yang diilhami oleh jiwa penafsir menghasilkan berbagai perspektif, terutama tentang ayat-ayat tentang laki-laki dan perempuan, yaitu terlalu patriarki atau tidak terlalu ramah terhadap perempuan.

Dilihat dari segi linguistik juga terlibat, termasuk bahasa Arab sebagai salah satu bahasa yang menjadikan identitas dan relasi gender sebagai basis tata bahasanya melalui konsep mudzakar dan muannats (laki-laki dan perempuan). Bahasa Arab memiliki beberapa aturan tentang relasi gender.

Kata benda perempuan dibentuk dari kata benda laki-laki yang sudah ada dengan cara menambahkan satu huruf, yaitu huruf ta marbuthoh. Huruf ini sekaligus berfungsi untuk menunjukkan identitas perempuan. Kata benda laki-laki adalah kata asal, sedangkan kata benda perempuan adalah kata jadian yang dibentuk dari kata benda laki-laki sebagai makhluk utama dan perempuan sebagai makhluk sekunder, perempuan diciptakan dari laki-laki. Contoh kata muslim (laki-laki) menjadi muslimah (perempuan).

Kata plural laki-laki (jama’ mudzakar) bisa mengandung perempuan, sedangkan kata plural perempuan tidak bisa mengandung laki-laki. Misalnya kata al-muslimun (orang-orang muslim laki-laki) bisa diartikan orang-orang muslim laki-laki saja, bisa pula laki-laki dan perempuan, sementara kata al-Muslimat (orang-orang muslim perempuan) hanya bisa diartikan orang-orang muslim perempuan saja. Laki-laki adalah manusia aktif yang bisa mengatasnamakan perempuan, sebaliknya perempuan adalah pasif yang hanya bisa mengatasnamakan dirinya dalam melakukan perbuatan.

Dalam budaya masyarakat patriarki, perempuan dianggap makhluk kedua dan masih tunduk pada sistem yang didasarkan pada interpretasi berbagai teks agama dan produk sosial budaya. Kekuasaan manusia menjadi mutlak dan sulit dibatasi oleh argumen-argumen rasional. Laki-laki selalu menjadi sumber utama keluarga. Kekuatan pria memperingatkan wanita tentang kesia-siaan dan mereka bahkan sering menjadi suara utama dalam keluarga. Arus utama masyarakat patriarki adalah sistem yang sudah berlangsung lama. Perempuan menjadi bagian dari realitas masyarakat patriarki yang menindas dan tidak manusiawi.

Wanita yang bekerja adalah kenyataan yang telah berlangsung lama dan telah dimulai selama bertahun-tahun yang tak terukur. Dinamika historis penanganan ortodoksi perempuan, termasuk norma dan ajaran agama, terintegrasi dengan realitas sosial. Wanita profesional, bahkan atas keinginan mereka sendiri, adalah anugerah yang bersyukur dan rela, bahkan dalam menghadapi kekurangan keluarga. “Belanja dan dapur” adalah sesuatu yang dicari wanita dalam pekerjaan apa pun.

Dalam konsep ini, teks tidak mungkin mewakili keseluruhan konteks. Pada saat yang sama, ada kebutuhan untuk menafsirkan teks dan mengambil realitas dan budaya masyarakat sebagai kriteria. Sementara penafsiran teks selalu memenangkan teks sebagai poin utama pemahaman hukum (Islam) dan selalu ada alasan bagi realitas perempuan pekerja. Interpretasi realitas ini memungkinkan perempuan untuk bekerja “lebih” daripada laki-laki.

Di pagi hari, perempuan biasanya menyiapkan semua pekerjaan mulai dari mencuci, memasak, memandikan anak-anak mereka, dan mengantar ke sekolah. Hal tersebut dilakukan dalam waktu yang lama tanpa batasan jam siang atau malam. Bahkan di beberapa daerah, terjadi pembalikan peran antara laki-laki dan perempuan, seperti di wilayah pesisir.

Di wilayah pesisir ini, perempuan memiliki ruang publik yang lebih luas dibandingkan laki-laki dengan batas dan ruang kerja yang lebih sempit. Ia tak hanya bekerja di sektor domestik (rumah) sebagai seorang ibu saja melainkan juga bekerja di sektor publik. Bagi para pemimpin agama, pekerjaan yang dilakukan perempuan bukanlah masalah karena yang terpenting adalah pekerjaan memenuhi ekonomi keluarga.

Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan subjek kajian yang mendesak, karena konsep hubungan ini selalu dikaitkan dengan konsep budaya lokal

Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan subjek kajian yang mendesak, karena konsep hubungan ini selalu dikaitkan dengan konsep budaya lokal, baik material maupun patriarki. Lebih jauh lagi, banyak penafsiran terhadap teks-teks sumber hukum Islam (Al-Quran dan Hadis) justru memperkuat budaya patriarki. Tradisi bias gender ini mengakar kuat di masyarakat. Namun, tidak dapat disangkal kenyataan yang berubah.

Sekarang mulai muncul bahwa peran yang dikonseptualisasikan secara kultural untuk laki-laki sebenarnya dipegang oleh perempuan. Fenomena ini merupakan bentuk pengubahan realitas yang akan mengarah pada rekonstruksi budaya egaliter baru. Oleh karena itu, perlu merespon fenomena dunia nyata sebagai upaya ijtihâd, yaitu sebuah paradigma baru untuk mengartikulasikan teks-teks Al-Qur’an dan Hadis, daripada bias gender.

*Hasil Diskusi Lingkar Studi Perempuan Sudan part 2
Penulis: Bidang Pendidikan Muslimat NU Sudan

Baca juga Membincang Feminisme dan Emansipasi; Diskursus Gender Perspektif Islam

Tinggalkan Balasan