Ramadhan Masih Bernilai?

Bulan Ramadhan selalu menjadi yang ditunggu oleh ribuan umat muslim. Mulai dari persiapan memasuki, penyambutannya, sampai akhirnya menjalankan dan memanfaatkan waktu untuk beribadah di dalamnya. Bulan Ramadhan yang penuh dengan keagungan dan kelebihan menjadikannya banyak kisah yang terdapat di dalamnya. Mulai dari peristiwa Nuzul Al-Quran, perang Badar, dan masih banyak lagi.

Bulan suci ini sangat diwanti-wanti oleh ulama terdahulu agar kita tidak sampai menyia-nyiakan momentum ini, baik memanfaatkannya untuk beribadah, berzikir, dan bertadarus al-Qur’an, karena segala amal baik yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan dilipat-gandakan.

Bulan agung ini juga adalah tempat belajar dan bertadabbur. Teringat pesan yang disampaikan oleh Habib Abdullah bin Husein Al-Masyhur dalam kitabnya Risalah fii Shoum fimaa Yakhfa ‘alal Awam, beliau berkata, “Berpuasa adalah cara atau metode terbaik untuk mengetahui nikmat-nikmat Allah yang banyak, karena tidak ada keistimewaan perkara jika tidak dialami langsung.” Artinya, kita tidak akan tahu nikmatnya menyantap makanan jika kita tidak merasakan lapar.

Sebagai kaum santri, hal-hal di atas mungkin sudah tidak asing lagi. Kita secara tidak langsung diberi tanbih (peringatan) bahwa Ramadhan memiliki kesakralan tersendiri dari bulan yang lain. Pertanyaanya, apakah kita masih menjaga kesakralan Ramadhan? Dan apakah Ramadhan masih sakral?

Keistimewaan atau kesakralan Ramadhan direspon oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan dengan berbagai bentuk kegiatan. Mulai dari sisi pengaderan Ulama ala PCINU Sudan dengan mengatur giliran Imam, Bilal sholat, dan tadarus. Untuk sisi keilmuan berupa Ngaji Posonan, dan menjalankan Komunitas Diskusi. Hal ini merupakan respon menanggapi kesakralan Ramadhan.

Pengaderan Ulama ala PCINU Sudan

Kegiatan ini bertujuan untuk membuat mental setiap anggota PCINU Sudan menjadi orang yang siap untuk memimpin masyarakat nanti sewaktu pulangnya ke tanah air. Menjadikan gambaran peran Santri yang dibutuhkan dalam bermasyarakat. Kemantapan seseorang akan bertambah dengan pengalaman, dan pengalaman adalah sosok guru terbaik.

Perspektif Keilmuan

Puasa dan panasnya negeri Sudan yang dapat mencapai 45 derajat ini tidak menurunkan semangat santri PCINU Sudan dalam menjalankan budaya intelektual Santri. Jika dahulu kita biasa mejalankan Ngaji Posonan (Ngaji Ramadhan) dalam suasana pesantren, bertabarruk langsung dengan para Kiai. Di sini, PCINU Sudan menjaga tradisi tersebut dalam meng-istimewakan Ramadhan. Ditambah dengan kegiatan diskusi komunitas seperti, Ngopi Ngalor-Ngidoel (3NG) yang membahas pemikiran para tokoh, kemudian Komunitas Study Hadits (KOMUSH) yang diisi dengan diskusi ilmu hadits, Komunitas Ilmu al Quran (KOMIQ), dan masih banyak kegiatan ilmiah yang berjalan mengisi waktu selama Ramadhan.

Sebagai kaum santri, memang sudah seharusnya menjaga dan memanfaatkan Ramadhan dengan baik. Jika dahulu Nabi di bulan ini berjuang dengan perang Badar, maka kita seyogyanya juga berjuang memanfaatkan momentum ini dengan meningkatkan ibadah dan ngaji (belajar).

Ora sah melu perang koyok jamane Kanjeng Nabi, awakdewe ngaji kitab wes cukup dijenengi jihad fisabilillah

Disampaikan oleh Romo Kiai Masyhudi “Ora sah melu perang koyok jamane Kanjeng Nabi, awakdewe ngaji kitab wes cukup dijenengi jihad fisabilillah” (tidak perlu ikut perang seperti halnya di zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kita ngaji kitab itu sudah cukup dianggap jihad fisabilillah). Bersama teman-teman santri PCINU Sudan mengingatkan kembali bahwa khazanah keilmuan sangat pantas untuk menghiasi Ramadhan kali ini.

Menjaga auntetikasi Ramadhan serta berpuasa merupakan PR penting yang harus kita ingat selalu, seperti disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghozali di dalam kitab Bidayatul Hidayah, “Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapat secuil apapun dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus”. Semoga kita semua tidak menjadi golongan seperti itu. Aamiin.

Penulis: Hadziq Mubarok (Aktivis Lakpesdam PCINU Sudan)

Baca juga Cerita Ramadan Kami di PCINU Sudan

Tinggalkan Balasan