Perdebatan Ulama Tentang Nuzulul Quran

Kita pasti sering menjumpai tradisi peringatan Nuzulul Quran di pelbagai daerah di Indonesia. Namun, apa yang dimaksud dengan peringatan nuzulul quran yang kita terjemahkan sebagai turunnya Al-Quran itu? Apakah ada mushaf Al-Quran jatuh dari langit ke bumi pada waktu itu? Atau Malaikat Jibril memberikan mushaf pada Nabi Muhammad? Atau justru turunnya bukan di bumi, tapi di tempat lain? Lantas mengapa diperingati tanggal 17 Ramadhan? Mari kita simak bagaimana Syekh Abdul Wahab Ghazlan yang merupakan guru dari ulama kaliber Syekh Nuruddin Itr dan Syekh Al-Azhar Ahmad Tayyib dalam menjelaskan peristiwa ini di kitabnya Al-Bayan.

Makna Nuzul dalam bahasa Arab diartikan turunnya sesuatu dari atas ke bawah. Atau mempunyai makna bertempat. Namun, tentu keduanya tidak sesuai dengan makna Al-Quran itu sendiri, karena turun dan bertempat itu untuk sesuatu yang bersifat fisik. Sedangkan Al-Quran adalah kalamullah. Maka kita terpaksa lari menuju makna majaz karena makna hakikinya tidak memungkinkan.

Jika kita maksudkan Al Quran adalah lafaz maka makna yang tepat adalah sampainya Al-Quran di muka bumi dan diinformasikannya Al-Quran pada Nabi. Karena ketika sesuatu itu diturunkan di sebuah tempat berarti sesuatu tersebut sampai pada tempat itu.

Sedangkan turunnya Al-Quran tidak sekali proses. Pertama, Al-Quran ditetapkan di al-lauh al-mahfudz dulu. Apa itu al-lauh al-mahfudz? Abu Hayyan dalam tafsirnya Al-Bahr Al-Muchid mengatakan : “Al-lauh al-mahfudz adalah tempat di mana segala sesuatu itu ada”. Tapi bentuk dan gambarannya seperti apa dan bagaimana Al-Quran ditulis di sana kita tidak tahu. Hanya saja kita harus mengimani adanya al-lauh al-mahfudz karena jelas ada dalam Al-Quran, seperti yang dikatakan Al-Alusi dalam tafsirnya.

Adapun proses turunnya yang kedua inilah yang menjadi perdebatan besar para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat sebagaimana yang dijelaskan Az-Zarkasi mengenai peristiwa nuzulul quran ini, yang semuanya merujuk pada tiga ayat Al-Quran : “Inna anzalnahu fii lailatil qadr” (QS. Al-Qadr: 1), “Syahru ramadhanal ladzi unzila fihil quran” (QS. Al-Baqarah: 185), dan “inna anzalnahu fii lailatin mubarakatin” (QS. Ad-Dukhan: 3).

Pendapat pertama yaitu pendapat mayoritas ulama, bahkan Imam Al Qurtubi mengklaim ini adalah ijma’ ulama mengatakan bahwa pada malam lailatul qadr Al-Quran diturunkan secara utuh dari al-lauh al-mahfudz ke langit dunia baitul izzah. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun (mengikuti mayoritas ulama yang mengatakan Al-Quran diturunkan kepada Nabi selama 23 tahun).

Dalil pendapat pertama disandarkannya kata Al-Quran pada ketiga ayat tadi tanpa adanya pembubuhan kata sebagian. Berarti dhahir dari ayat tersebut menunjukkan pada saat itu Al-Quran diturunkan secara utuh. Kita tahu bahwa Nabi menerima wahyu Al-Quran tidak serta merta sekaligus berarti turun yang dimaksud di ayat ini adalah turun yang lain, bukan turunnya Al-Quran pada Nabi.

Sahabat Ibnu Abbas pun berkata : “Al Quran diturunkan secara utuh di langit dunia pada malam lailatul qadr kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi selama dua puluh tahun”. Dan di riwayat lain Ibnu Abbas menyebut langit dengan nama baitul izzah.

Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa riwayat dari Ibnu Abbas ini sangat banyak sehingga haditsnya menjadi kuat. Meskipun hadits ini diucapkan oleh Ibnu Abbas tapi dihukumi dengan hadits Marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi) karena sesuatu yang dikabarkan ini tidak bersifat ijtihadi (tidak bisa dipikir oleh akal) dan juga tidak diambil dari israiliyyat.

Baca juga: Ali bin Abi Thalib Sang Sastrawan

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa turunnya Al-Quran ke langit dunia (baitul izzah) terjadi selama 23 lailatul qadr di mana setiap satu malam lailatul qadr diturunkan sekadar apa yang nantinya disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun itu. Pendapat kedua ini disampaikan oleh Muqatil Ibn Hayyan, Ibnu Juraij, Abu Abdullah Al-Halimi, dan ulama lainnya. Namun, sayangnya mereka yang mengamini pendapat ini tidak menyebutkan dalil atas dakwaannya.

Adapun pendapat ketiga, para ulama tidak menggunakan konsep diturunkannya Al-Quran secara utuh, melainkan pada malam itu Al-Quran turun untuk pertama kalinya kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril. Iya benar, wahyu iqra’ di gua Hira’ dan berlanjut ayat turun sampai 23 tahun.

Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah An-Nasafi, Asy-Sya’bi, An-Naisaburi, dan lainnya. Maka makna dari “inna anzalnaahu fii lailatil qadr” adalah bahwasanya Al-Quran untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad saat terjadi peristiwa lailatul qadr pada bulan Ramadhan kala itu. Pendapat inilah yang dimenangkan oleh Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi dalam kitabnya Fahmu Judzur Al-Bayan yang merupakan penjelasan dari kitab Al Bayan-nya Syekh Ghazlan di mana nasab keilmuan beliau adalah cucu dari Syekh Ghazlan karena Syekh Muhammad Salim adalah murid dari Syekh Nuruddin Itr.

Beliau dengan tegas menentang pendapat mayoritas ulama dengan mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas tertolak keabsahannya menjadi dalil karena dakwaan mereka dengan mengatakan Ibnu Abbas tidak pernah mengambil dari israiliyyat. Namun, faktanya tertolak dengan adanya catatan bahwa Ibnu Abbas adalah salah satu perawi Ka’b Al-Achbar yang merupakan salah satu panjer dari sumber kabar-kabar israiliyyat, sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya. Maka tidak bisa kita nisbatkan kalam Ibnu Abbas bersumber dari Rasulullah dan hukumnya Marfu’.

Sedangkan kemustahilan kedua bahwa kabar ini berasal dari Rasulullah adalah bahwasanya peristiwa sebesar ini harusnya diriwayatkan oleh banyak sahabat. Namun, faktanya yang meriwayatkan peristiwa turunnya Al-Quran di langit bumi ini hanya Ibnu Abbas. Maka ini sangat tidak masuk akal. Dan bukti atau salah satu alamat pemalsuan hadits adalah adanya aspek-aspek yang mendukung hadits ini diriwayatkan oleh banyak orang, tapi faktanya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi.

Paling mentok kita katakan bahwasanya apa yang dikatakan Ibnu Abbas itu adalah israiliyyat, bukan hadits Nabi karena tidak mungkin kita katakan Ibnu Abbas bohong atas nama Rasul. Karena kita sepakat bahwa semua sahabat bersifat adil.

Adapun untuk menjawab kenapa tidak dikatakan “diturunkan sebagian Al-Quran” di ayat tersebut dengan redaksi “syahru ramadhan alladzi unzila fiihi ba’dlul Quran” misalnya? Ya, karena ibarot ayat tersebut mengandung majaz yang menyebut keseluruhan tapi yang dimaksud sebagian. Toh menyebut sebagian ayat Al-Quran dengan nama Al-Quran pun boleh-boleh saja, seperti kita katakan “Aku mau bacakan Al-Quran buat kakekku yang meninggal” padahal yang dibaca hanya surat Yasiin.

Dakwaan Imam Al-Qurtubi bahwa pendapat pertama adalah ijma’ jelas terpatahkan dengan banyaknya ulama yang tidak menyetujui pendapat tersebut. Sedangkan pendapat kedua kita tahu bahwa pendapat ini tak berlandaskan dalil. Jadi memang tertolak sedari awal. Hingga tersisalah pendapat yang ketiga yang sesuai dengan riwayat di mana Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur dan turun pertama kali di bulan Ramadhan.

Pendapat terakhir ini juga diamini oleh ulama kontemporer ternama, Syekh Tahir Ibnu Ashur dalam tafsirnya At-Tahrir wa At-Tanwir. Beliau juga menambahkan bahwa banyak riwayat yang menerangkan Nabi menerima wahyu Al-Quran untuk pertama kali terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Oleh sebab itulah masyarakat kita ramai memperingati malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan. Wallahu a’lam…

Penulis: M. I. Marzuqi
Cairo, 21 Ramadhan 1443 / 22 April 2022.

2 Responses

Tinggalkan Balasan