Integrasi Islam dan Negara dalam Bingkai Pemikiran Politik Gus Dur

Gus dur islam dan negara

Integrasi Islam dan Negara dalam Bingkai Pemikiran Politik Gus Dur – Agama dan negara adalah salah satu diskursus yang bersifat dinamis dalam setiap fase perkembangan peradaban dunia barat dan Islam. Perkembangan perdebatan dua konsep berbeda yang kemudian melahirkan perbedaan pandangan dalam kehidupan masyarakat.

Pertama, pandangan yang didukung kaum agamawan. Mereka memandang segala urusan duniawi harus pada prinsip agama. Pandangan kedua, pandangan ini didukung kaum sekularis. Mereka memandang negara tidak perlu mengikuti prinsip agama, sehingga jelas kekuasaan negara untuk memilih prinsipnya. Tidak lain perbedaan pandangan ini didasari oleh sedikitnya pemahaman terhadap konsep agama dan negara. Jika ditelaah secara mendalam, maka akan ditemukan bahwa agama dan negara mempunyai integrasi. Keduanya tidak terpisah.

Ditarik dari sejarah, awal mulai terbentuknya konsep negara atau nation state untuk mengubah sistem dan tatanan kerajaan yang sudah dianggap usang. Selain itu, konsep negara juga ditujukan agar terciptanya kedudukan yang sama rata bagi setiap individu, sehingga tidak ada raja dan bawahan dalam suatu wilayah. Semuanya satu secara kedudukan sebagai manusia.

Seiring berjalannya waktu, dengan perkembangan peradaban yang semakin maju, konsep nation state mulai mengalami kemerosotan yang ditandai dengan berkembangnya diskriminasi warna kulit, antar suku, hingga agama dalam suatu negara.

Baca juga: Peradaban Islam: Garis Waktu dan Definisi

Perbuatan rasis menjamur di mana-mana terutama yang dialami oleh orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat. Di Indonesia pun demikian, cukup banyak kita jumpai kasus intoleran pada perbedaan keyakinan serta kebebasan beribadah. Menyaksikan ini tentu bukanlah permasalahan yang bisa dipandang sebelah mata. Tentu harus segera ditangani dan ditemukan jalan keluarnya.

Salah satu cendekiawan tanah air yang memiliki posisi dan pengaruh penting ialah Gus Dur melalui teori Pribumisasi Islam. Menurut Gus Dur, ajaran Islam harus dihayati dalam kehidupan sosial dengan jalan bersikap terbuka terhadap berbagai perbedaan yang ada.

Gus Dur adalah salah satu sosok yang dikenal sebagai sosok yang menjunjung tinggi demokrasi, Islam inklusif, pluralisme, kasih sayang, keadilan, dan hak asasi manusia. Bagi Gus Dur, Islam merupakan agama cinta sekaligus agama keadilan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Islam adalah keyakinan egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan diskriminatif. Apresiasi Gus Dur terhadap Islam sebagai agama yang sangat inklusif dan egaliter mewarnai setiap pemikiran, sikap, dan konsistensi dalam setiap wacana yang dikembangkannya.

Menurut Gus Dur, prinsip-prinsip yang tertuang dalam negara seperti pancasila adalah prinsip yang disempurnakan oleh seluruh ajaran yang tertuang dalam agama. Dengan demikian, setiap penganut agama bisa mengekspresikan keyakinannya dengan bebas, bertanggung jawab, dan tanpa adanya paksaan. Agama dalam langkahnya memberikan kontribusi yang luar biasa dalam mendukung berdirinya suatu negara. Sampai di sini bisa dipahami dengan jelas bahwa agama dan negara memiliki integrasi yang saling mendukung perkembangan dalam tatanan peradaban masyarakat sosial.

Perlu dipahami bahwa basis agama dalam mendukung berdirinya Negara Indonesia adalah sebuah langkah sempurna yang tidak bertolak belakang terhadap kehidupan sosial. Sehingga sejarah merekam jejak perjalanan masyarakat Indonesia yang tidak mempunyai trauma terhadap agama dan negara.

Berbanding terbalik dengan perkembangan yang ada di barat. Mereka menggambarkan adanya rasa trauma masyarakat terhadap agama dan negara yang disebabkan pemerintah dan kaum agamawan bersama-sama memperbudak masyarakat untuk mendapatkan keuntungan.

Menurut Gus Dur, Islam adalah agama yang mengakui bahwa menurut Tuhan, kedudukan manusia adalah sama. Bahkan status Muslim dan non-Muslim adalah sama. Jika Tuhan hanya menghargai manusia, mengapa manusia tidak menghormati sesama manusia? Martabat manusia berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Perbedaan sosial, ras, dan gender tidak boleh menjadi alasan perbedaan harkat dan martabat atau perbedaan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Dengan demikian, bisa dipahami dengan jelas bahwa agama dan negara memiliki integrasi. Hal ini menjadi begitu penting demi terciptanya persatuan di tengah perbedaan. Tentu tidak mudah untuk mencapai persatuan di tengah perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan sikap untuk saling terbuka, menghormati, dan senantiasa menjaga nilai-nilai yang dianut.

*tulisan diambil dari diskusi Komunitas Ngopi Ngalor Ngidul (3NG) pada Kamis, 14 April 2022, pemantik Aazliansyah

Tinggalkan Balasan