Teks merupakan naskah yang berisikan kata-kata asli yang ditulis oleh seseorang sebagai sarana untuk menuangkan gagasan dan pikirannya kepada orang lain. Hanya saja, tidak jarang ditemukan dalam struktur kalimat adanya kejanggalan baik dalam aspek esensi gagasan dan redaksi kalimat itu sendiri. Maka dari itu, pengkajian penafsiran teks sangat diperlukan terlebih itu adalah nas Al-Quran dan Hadis nabi yang bersifat sakral di tubuh Islam.
Baca juga Perbedaan Ekspresi Cinta Antara Laki-laki dan Perempuan
Sudah maklum, bahwa terjadinya perkhilafan dalam memahami teks disebabkan apabila ditemukan dua hal yang kontradiksi, dan sesuatu yang kontradiksi tidak akan diketahui hakikat maknanya kecuali dengan mengetahui karakteristiknya. Maka mengenal karakteristik dua hal itu merupakan suatu hal yang niscaya agar dapat diidentifikasi mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya atau setidaknya mengetahui sudut pandang dalam memahami kedua hal tersebut agar tidak kontradiksi.
Dalam studi penafsiran teks seperti nas Al-Quran dan hadis, telah banyak ditemukan kalimat yang kontradiksi sehingga hal itu dianggap suatu hal yang problematis. Dalam hal ini, para pakar ilmu telah memberikan berbagai solusi agar dapat dibedakan antara dua teks yang kontradiksi seperti metode kombinasi, dan metode abrogasi dalam kajian Musthalah al-Hadits.
Solusi dalam memahami teks yang kontradiksi ini diberikan, karena adanya dua pemahaman yang berlawanan biasanya akan memberikan indikasi, bahwa di antara salah satu dari dua pemahaman teks itu ada yang benar dan ada yang salah sebagaimana pristiwa kontradiksi hadits valid (baca: Sahih) yang terjadi di zamannya Imam Syafii.
Pengkajian penafsiran teks dari masa klasik hingga dekade ini masih terus digencarkan karena beberapa sebab, di antaranya karena mayoritas manusia di muka bumi ini memiliki ketergantungan terhadap teks yang inheren bagi mereka sebagai tolak ukur kebahagiaan dunia dan akhirat seperti pemeluk agama Islam bersandar kepada Al-Quran dan hadist sebagai landasan utama, begitu juga pemeluk agama Yahudi kepada Taurat dan pemeluk agama Nasrani kepada Injil.
Di antara ulama kontemporer yang memiliki perhatian dalam kajian menafsirkan teks ini adalah seorang pakar ushul fikih berkebangsaan Maroko bernama Abu Thayyib Maulud Surairy denga karyanya yang berjudul al-Qonun fi Tafsir al-Nushus dengan memberikan sebuah metode yang diyakini sebagai metode solutif dalam penafsiran teks, khusunya nas-nas keagamaan.
Adapun metode yang diusulkan oleh Maulud Surairy disebut dengan al-Manhaj al-Mansuj (metode rajutan). Dinamakan dengan manhaj al-mansuj dikarenakan selalu terpaku dengan melihat kaidah dan dhawabit yang ada dalam suatu redaksi kalimat. Adapun para pakar metode ini diberi gelar dengan Qhowaidiyyin.
Metode ini, sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Qonun fi Tafsir al-Nushus sangat menekankan pada beberapa hal, yaitu: Pertama, penekanan pada muatan kalimat. Kedua, makna dan faidah dari kandungan kalimat. Ketiga, sensitifitas atas tingkatan ucapan. Empat, analisis antar kalimat.
Berasaskan analisis yang mendalam terhadap empat hal ini, Qhawaidiyyin (para legislator) dapat mengetahui makna suatu teks baik aspek psikis maupun intelektual penulisnya, begitu juga mereka mampu mengetahui makna lafaz yang dimaksudkan bahkan ketepatan makna suatu lafaz dapat terukur akurat.
Selain itu juga, mereka menghadirkan makna yang dikandung oleh suatu lafaz yang mereka teliti dengan memaksudkan untuk mengembangkan lafaz tersebut. Karena mereka berkeyakinan, bahwa aspek psikis dan intelektual seseorang dapat diketahui dengan batasan-batasan, dan indikasi-indikasi lafaz. Karena lafaz merupakan tanda sedangkan tanda menunjukkan adanya suatu makna.
Tanda yang dimaksudkan oleh Maulud Surairy adalah keadaan suatu lafaz yang memiliki hukum atas terbentuk atau diletakkannya lafaz itu, dan keadaan suatu lafaz yang memiliki hukum atas konteks lafaz yang formulasinya bervariatif.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa metode yang digunakan oleh para Qhawaidiyyin tidak hanya terpaku dengan makna susunan kalimat akan tetapi mereka malakukan penalaran terhadap setiap lafaz dan menggali makna tersirat dengan mendialogkan lafaz itu karena untuk memperoleh makan-makna yang tersirat diperlukan adanya penalaran terhadap tanda-tanda ilmiah tersebut.
Terkait dengan al-manhaj al-mansuj (metode rajutan) ini, Maulud Surairy mengemukakan, bahwa orang yang menggunakannya memiliki tingkatan yang bervariasi karena ada di antara mereka sampai pada level tadkik (pendalaman) dan tahkik (hakikat) karena mereka sampai merenungkan setiap lafaz teks atau ucapan dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang kritis, seperti apa hakikat dari kata ini? apa rahasia menggunakan istilah ini dan kenapa tidak menggunakan istilah yang lain? Kenapa menggunakan konjungsi yang ini dan kenapa tidak menggunakan yang lain? Dan lain sebagainya dari pertanyaan-pertanyaan yang kritis.
Akan tetapi metode ini disikapi negatif oleh sebagian ulama di antaranya Ibn Hazm al-Andalusi karena ia menganggap metode ini merupakan metode yang terlalu berlebihan dalam memahami suatu teks. Sekalipun begitu, metode ini adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para ulama ketika ingin mengkaji makna suatu teks terkhusus nas-nas keagamaan yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Banyaknya para ulama yang menggunakan Metode al-Mansuj (metode rajutan) ini bukan berarti mereka serta merta dapat melakukannya akan tetapi sebelum itu mereka dituntut untuk mendalami aspek linguistik, semiotik, begitu juga dituntut melakukan kontemplasi mendalam dan melakukan perbandingan antara satu indikasi dengan indikasi makna yang lain sehingga dapat membuahkan hasil yang akurat.
Di antara ulama klasik yang menggunakan metode ini sebagai penalarannya terhadap teks adalah Ahmad Abdul Halim Ibn Taimiyyah, al-Zamakhsyari, dan Imam Abdul Qohir al-Jurjani karena mereka merupakan ulama dan tokoh linguistik arab terkemuka yang mampu menalar susunan teks seperti isim, fiil, huruf dan yang berkaitan dengannya sebagaimana yang telah lumrah dalam kajian-kajian kebahasaan.
Dalam memperhatikan teks, Qowaidhiyyun sangat memperhatikan dengan jeli apa saja muatan struktur suatu kalimat yang mengandung isim, fiil, huruf dan apa saja yang berkaitan dengannya.
Perhatian terhadap huruf sebagai konjungsi dari satu isim ke isim yang lain atau dari satu fiil ke isim dan lainnya merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena huruf memiliki peran dan pengaruh yang signifikan dalam menentukan makna suatu kalimat.
Sebagai contoh dalam kitab Jami al-Durus karya Musthafa al-Gulayaini misalnya mengatakan, bahwa huruf jar ba memiliki makna sampai tiga belas makna sehingga membutuhkan perhatian penting terkait makna mana yang seharusnya diambil oleh seorang interpreter teks dari huruf yang diteliti karena dengan berbedanya makna yang dihasilkan akan memberikan makna yang berbeda dalam berijtihad seperti terjadinya perbedaan penafsiran pada surah al-Maidah ayat 6 yang disebabkan karena perbedaan dalam memaknai huruf ba.
Adapun cara yang ditempuh oleh Qhawaidhiyyun dalam hal ini yaitu menggunakan pendekatan kebahasaan dan sintaksis yang berkaitan dengan pembahasan apa yang diteliti dan dianalisis seperti memperhatikan konteks pembahasan suatu teks. Kemudian jika hasil analisis mereka menghasilkan bahwa huruf itu mengandung suatu makna tertentu dalam suatu teks, maka makna itu akan dikuatkan dengan cara memaparkan dalil-dalil argumentatif dialogis.
Melihat peran pentingnya kata penghubung atau konjungsi (huruf) dalam menentukan makna suatu kalimat maka para Qhawaidhiyyun tidak mau kecolongan dalam melontarkan suatu huruf tanpa memperhatikan makna yang berkaitan dengan isim atau fiil karena kritikan-kritikan yang biasa terjadi dalam dunia penafsiran teks bisanya terjadi dalam penentuan makna suatu huruf (kata penghubung), bahkan dalam disiplin Ushul Fikih telah dibuatkan pasal khusus terkait dengan makna huruf dalam teks-teks Al-Quran seperti Imam al-Juwaini dalam Kitabnya Al-Talkhis fi Ushul al-Fikh. Hal itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan karena huruf (kata penghubung) memiliki pengaruh penting dalam menentukan hasil proses ijtihad.
Terkait pembahasan huruf, Maulud Surairy mengusulkan beberapa kitab yang diasumsikan begitu komperhensif membahas hal ini di antaranya seperti Mughni Al-Labib An Kutub al-Aarib karya Ibn Hisyam al-Anshary, kitab Maani al-Adawat wa al-Huruf karya Ibn al-Qayyim dan kitab Maani karya al-Sayyid Abdul Halil Ibn Fairuz al-Gaznawi.
Selain mengkaji makna huruf, Qowaidhiyyun memperhatikan dhamir (kata ganti) dengan nalar kritis dan penuh ketelitian karena kata ganti ini juga memberikan pengaruh signifikan dalam hasil pemahaman suatu redaksi teks. Penalaran itu akan semakin membutuhkan energi tatkala kata ganti itu mengindikasikan kemungkinan adanya makna yang beragam yang tidak mungkin untuk dikompromikan seperti dhamir فَإٍنّهُ dalam surah al-Anam ayat 145 yang memungkinkan maknanya merujuk ke al–Khinzir (Babi), dan al–Lahm (Daging). Dalam hal ini, ahli sintaksis memiliki kaidah sebagaimana yang dikemukakan oleh Maulud Surairy:
“Ulama Nahwu dan bahasa telah terbiasa melakukan pentarjihan dengan melihat kedekatan sehingga mereka berpendapat; bahwa dhamir (kata ganti) itu kembali kepada redaksi terdekat yang telah disebutkan selama tidak ada indikasi yang membuatnya berubah dari hal yang dekat itu”
Selain memperhatikan huruf dan dhamir Qawaidhiyyun juga memperhatikan isim isyarat, isim musytaq, kata kerja, posisi struktur kalimat dalam aspek irab, idhafat beserta sepuluh variasinya dan perhatian terhadap konteks termasuk kaidah yang diperhatikan juga sebab yang namanya konteks (siyaq) adalah penjelas kandungan-kandungan makna suatu lafaz yang tidak akan bisa terpisahkan sebagaimana lafaz memiliki makna yang tidak bisa terpisahkan darinya pula.
Adapun titik fokus yang perlu diperhatikan dalam metode ini selain memperhatikan aspek teks, telah ditegaskan oleh Maulud Surairy dalam kitabnya al-Qonun fi Tafsir al-Nushus, bahwa dalam menggunakan manhaj al-mansuj (metode rajutan) ini tidak terlepas dengan perlunya memahami siapa yang berbicara, aliran ideologi dan sifat yang inheren padanya. Karena suatu ucapan atau gagasan itu muncul tidak akan terlepas dengan keadaan penuturnya. Hal itu terlihat jelas dalam ungkapan Maulud Surairy sebagai berikut;
“Setiap ucapan yang memberikan makna yang berbeda dengan kondisi penuturnya, dengan gambaran jika tuntutan ucapan itu memberikan perbedaan yang jelas maka ucapan itu tidaklah seperti realitanya………”. Hal itu disebabkan, karena yang namanya pemikiran tidak ada yang bebas, akan tetapi suatu pemikiran pasti inheren dengan ideologi penuturnya.
Selain memperhatikan pemilik teks, memperhatikan posisi teks juga dianggap hal yang sangat signifikan seperti Al-Quran dan hadis nabi yang memiliki supremasi ilahiyyah karena ucapan seorang nabi tidak dapat diterjemahkan kecuali dengan sesuatu yang sepadan dengannya yaitu dengan memposisikannya sebagai nabi dan utusan dari Allah Swt yang memiliki sifat mulia dan terpuji.
Oleh karenanya, setiap penafsiran atas ucapan seperti nabi yang berbeda dengan hakikatnya maka hal itu ditolak. Penolakan itu dikarenakan bisa jadi karena penafsira itu tidak tahu menahu tentang makna lafaz dan makna teks-teks itu, atau tidak memahami cara mengeluarkan makna dari sumbernya atau memang disebabkan karena ia tidak memahami metode yang memang dikhususkan untuk membahas cara mensistematiskan dalil dan mengedepankan dalil dari dalil-dalil yang ada.
Terlepas dari perlunya memposisikan teks dan mengetahui pemilik teks, akal juga memiliki peran penting untuk meneliti dan menjelaskan makna-makna teks dan kandungan-kandungannya karena tatkala dijumpai antara makna yang rajih (kuat) dan marjuh (dikuatkan) maka logisnya akal harus mendahulukan makna yang rajih.
Hanya saja di sini perlu diketahui, bahwa akal tidak memiliki otoritas untuk menemukan makna suatu lafaz karena antara lafaz dan makna tidak ada hubungannya dengan akal sebab makna suatu lafaz diketahui dengan cara belajar. Hal ini jelas disampaikan oleh Maulud Surairy dalam kitabnya al-Qonun fi Tafsir al-Nushus.
“Sudah lumrah, bahwa lafaz tidak mungkin makna yang telah dibuat untuknya akan diketahui dengan menggunakan akal melainkan makna lafaz itu dapat dijumpai dengan menggunakan cara yang telah diketahui yaitu mempelajarinya”
Kemudian melanjutkan dari apa yang harus diperhatikan yaitu kaidah-kaidah ilmiah di mana ini merupakan suatu hal yang wajib secara akal karena menggunakan kaidah-kaidah ilmiah merupakan pembeda antara manhaj mansuj (metode rajutan) dengan manhaj faudha (metode amburadul). Sebagaimana telah diketahui, bahwa kaidah ilmiah akan menuntun untuk bernalar dengan pandangan yang sistematis dan tidak mendahulukan hawa nafsunya. Sebagaimana dikatakan pula oleh Prof. Dr. Muhammad Abdul Munim al-Qii dalam kitabnya Qonun al-Fikr al-Islami, bahwa penelitian yang benar adalah penelitian yang dimana aktornya terhindar dari hawa nafsu.
Dalam dunia keilmuan, metode dan kaidah ilmiah merupakan suatu hal yang inheren dalam suatu disiplin ilmu. Tidak terkecuali ilmu teks, ia juga memiliki kaidah ilmiah yang telah dibuat oleh pakarnya yang harus ditaati dan dipatuhi karena metode penafsiran teks akan mengarahkan seorang interpreter kepada kemampuan untuk menafsirkan teks, mengeluarkan hasil dari teks dan mengetahui keadaan-keadannya yang tidak dapat diketahui kecuali dengan mengetahui segala muatan teks tersebut. Maulud Surairy mengungkapkan
“…….Sebuah teks tidak bisa disimpulkan hukum darinya kecuali apabila telah diketahui tidak ada teks lain yang mempengaruhi kandungannya………”.
Selain dari pada itu, memperhatikan landasan berikir dan dan landasan penelitian juga menjadi perhatian yang harus dipahami karena penafsiran yang bertolak dari sufime misalkan akan berbeda dengan penafsiran yang bertolak dari empirisme.
Adapun yang perlu diperhatikan juga dalam menafsirkan suatu teks menurut Maulud Surairy adalah memahami tradisi lafaz teks itu sendiri karena menurutnya tradisi teks adalah salah satu landasan dasar untuk menafsirkan suatu teks. Misalkan dalam dunia Islam, suatu lafaz dibawa kepada kebiasaan penuturnya yang di mana secara kebiasaan atau teradisi teks keagamaan memiliki nuansa hukum. Akan tetapi jika tidak ada kaitannya dengan hukum maka ungkapan itu dikembalikan kepada kaidah-kaidah kebahasaan seperti mendahulukan hakikat ketimbang majaz.
Penulis: Muhammad Solahudin. Mahasiswa Universitas Internasional Afrika. Email: ibnusholah321@gmail.com
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response