Simulacra; Robohnya Demokrasi dan Etika dalam Era Digitalisasi

Era digitalisasi sekarang ini tampak baik-baik saja dan cenderung mengarah ke hal positif di mana semua informasi, baik privat maupun publik, bisa diakses dalam genggaman tangan kita. Kemajuan komunikasi digital secara signifikan ini melahirkan banyak gagasan dan inovasi baru. Bahkan tidak sedikit pihak yang menyebut era ini adalah era demokrasi di mana setiap individu dengan bebas menyuarakan pendapatnya.

Namun, anggapan tersebut adalah anggapan yang tidak mendasar pada realita. Ketika siapa saja dapat bicara, maka seolah siapa saja dapat mengakses kekuasaan tanpa aturan. Menurut Prof. Dr. Budi Hardiman dalam pidatonya di acara pengukuhannya menjadi Guru Besar Filsafat Universitas Pelita Harapan, ketika akses ada dalam genggaman seperti saat ini, maka cita-cita demokrasi dapat terancam luput dari genggaman. Sebab dengan telepon cerdas, ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih.

Fenomena penyebaran hoaks yang sekarang ini masif tersebar dalam bentuk teks, video, poster, chat, atau foto yang mendistorsi kenyataan, menurut beliau adalah fenomena industri kebohongan yang telah sampai ke ruang privat untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebencian timbal balik.

Di akhir abad ke-20, seorang sosiolog politik Prancis bernama Jean Baudrillard (1929-2007), ketika menggambarkan realitas semu, ia bicara tentang ‘simulacra’. Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), ia menyebut manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, yaitu tentang kondisi kita saat ini, ketika realitas telah diganti dengan simbol. Manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru.

Dalam situs Republika.co.id, Ubedillah Badrun berbicara tentang era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat seperti saat ini, dapat membuat realitas menghilang dan kebenaran seringkali manguap. Simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu. Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat, dan dicitrakan. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya episode baru dinamika manusia topeng.

Masyarakat tidak sadar akan pengaruh citra (signs/simulacra). Menurut Direktur Eksekutif Puspol Indonesia tersebut, fenomena ini membuat masyarakat kerap kali– mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulacra– untuk membeli, bekerja, dan lain-lain termasuk misalnya untuk memilih pemimpin, baik presiden, gubernur, wali kota, maupun bupati.

Hal inilah yang memicu politisi berlomba-lomba memamerkan citra mereka dengan berbagai simbol. Seperti pemasangan baliho politik di tengah situasi keprihatinan bangsa akibat pandemi sekarang ini, tidak diragukan lagi adalah akibat simulacra yang menjangkiti etika politik di kalangan elite. Kita bersyukur ada beberapa kalangan kita yang risih dengan aksi dari kalangan elite politik tersebut. Seperti kasus vandalisme terhadap baliho salah satu elite politik salah satu partai politik di Indonesia. Menurut keterangan dalam situs Kompas.com, vandalisme pada baliho politisi perempuan itu berupa coretan gambar tak sopan disertai kata-kata dalam Bahasa Jawa berbunyi, “2024 masih lama, Cuk!”.

Akhir kata, kita sedang hidup di mana isi dalam Zoom, Whatsapp, Twitter, dan Tik-Tok terasa lebih real daripada orang yang duduk di depan kita. Kita telah diserbu oleh simbol-simbol, penanda, dan iklan yang tidak selalu mewakili realitas sejati. Maka sebagai akademisi, filterisasi merupakan syai’un dlaruriy yang harus kita miliki di era digitalisasi seraya sifat saling memahami di tengah agresivitas dunia maya yang tidak lagi maya karena pengaruhnya sangat kuat pada kehidupan nyata. Apakah bisa disebut komunikasi jika kita tidak saling memahami? Apa bisa disebut demokrasi, jika kebohongan merusak komunikasi?

Penulis: Muhammad Najmuddin [Mahasiswa International University of Africa, Fakultas Bahasa Arab, Prodi Linguistik Terapan]

Baca juga: Generasi Milenial di Era Society 5.0

One Response

Tinggalkan Balasan