Perbedaan Penafsiran Ulama dalam Memahami Nash Al-Qur’an

Perkembangan zaman tidak merubah pengkajian al-Qur’an untuk hanya dibaca dan berpaku pada pemikiran-pemikiran terdahulu. Justru, di zaman milenial ini, pengkajian al-Qur’an terus berkembang dan selalu menarik untuk dibahas dengan alur perkembangan zaman. Sangat tidak mungkin kaum muslim yang diberi amanah oleh Tuhan untuk menjaga al-Qur’an, kemudian meninggalkannya begitu saja, tetapi pengkajian al-Qur’an akan menjadi keharusan, ketika para orientalis mempelajari seluk beluk khazanah keilmuan Islam dengan pemahaman baru yang memiliki misi dan kepentingan yang berbeda-beda.

Mengkaji al-Qur’an secara mendalam akan menjadi fatal dengan hanya berpangku pada hasil pemahaman sendiri, oleh sebab itu para ulama memberi rambu-rambu agar tidak salah dalam memahami Nash al-Qur’an. Rambu-rambu tersebut bisa dikaji dari kitab-kitab yang memuat ilmu-ilmu penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Tafsir) dan ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) secara umum. Hal ini, Al-Zarqani dalam kitab Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an telah memberi tawaran sistematis dalam penguasaan Ulum al-Qur’an secara keseluruhan dan secara utuh yang sesuai dengan zaman milenial tanpa meninggalkan pemahaman ulama terdahulu.

Perkembangan pengkajian ilmu al-Qur’an yang semula hanya menawarkan Ulum al-Tafsir dan Ulum al-Qur’an seperti yang disebutkan al-Suyuthi, ibn al-Jauzi, dan selanjutnya diteruskan oleh para ulama kontemporer, kemudian muncullah teori yang secara khusus membedah Manhaj al-Fikri atau Manhaj al-Tafsir sebagai disiplin ilmu lanjutan setelah mengkaji Ulum al-Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Tujuannya sebagai pondasi dalam memahami redaksi-redaksi hasil penafsiran para ulama dari zaman ke zaman. Di antara teori yang dibahas di dalamnya adalah sebab-sebab perbedaan penafsiran para ulama.

Kajian metodologi tafsir yang berkaitan dengan sebab-sebab perbedaan penafsiran para ulama, mencakup dua hal, yaitu: perbedaan memahami nash al-Qur’an dan kondisi mufassir dengan politik atau lingkungan pada saat menafsirkan al-Qur’an itu sendiri. Dua hal tersebut orang eropa menyebutnya faktor ekternal pada sosok mufassir dan faktor internal yang juga mempengaruhi penafsirannya.

Pembahasan

Kajian metodelogi penafsiran al-Qur’an yang berkaitan dengan sebab-sebab penafsiran al-Qur’an dalam memahami Nash al-Qur’an secara umum mencakup beberapa hal, di antaranya adalah:

  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi riwayat qira’at
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi periwayatan hadits atau atsar
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi kedudukan susunan kalimat
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi qaidah ushul
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi uslub al-Qur’an
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi fungsi ahruf
  • Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi pemaknaan kata
  1. Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Riwayat Qira’at

Sebab perbedaan riwayat qira’at sangat berpengaruh dengan hasil penafsiran para ulama, karena antara satu riwayat dengan riwayat yang kedua atau beberapa riwayat qira’at dapat merubah wajhu al-i’rab, merubah arti dan pemahaman.

  1. Contoh perbedaan qira’at yang berpengaruh pada wajhu al-i’rab:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ . (البقرة [2] : 38)

Kata آدَمُ terdapat dua riwayat. Riwayat pertama dengan me-nashab-kan kata آدَمَ dan me-rafa’-kan kata كَلِمَاتٌ, dan riwayat kedua dengan me-rafa’-kan kata آدَمُ dan me-nashab-kan kata كَلِمَاتٍ , sehingga memunculkan perbedaan penafsiran, yaitu: (1) sebuah kalimat (firman Allah) diturunkan kepada Nabi Adam AS,. setelah memakan buah khuldi, kemudian kalimat tersebut sebagai tameng agar Nabi Adam AS., dijauhkan dari godaan syetan, kemudian Nabi Adam AS., bertaubat, dan (2) Nabi Adam AS., menerima sebuah kalimat peringatan (firman Allah) yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Nabi Adam AS., bertaubat kemudian Nabi Adam AS., bertaubat.

  • Contoh perbedaan qira’at yang berpengaruh pada perubahan arti dan pemahaman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا. (النساء [4] : 43)

Kata لمَسْتُمُ terdapat dua riwayat. Riwayat pertama dengan fi’il madhi tambahan alif setelah huruf lam, dan riwayat kedua dengan fi’il madhi tanpa tambahan alif setelah huruf lam. Adanya dua riwayat tersebut memunculkan perbedaan penafsiran dikalangan para tokoh mufassir dengan pemaknaan dan pemahaman yang berbeda-beda.

Kelompok pertama menyebutkan: orang yang menyentuh dengan syahwat dapat membatalkan wudhuk. Kelompok kedua menyebutkan orang yang menyentuh dan yang disentuh batal wudhu’nya. Kelompok ketiga menyebutkan: bersentuhan yang seketika tidak membatalkan wudhu’. Kelompok yang keempat menyebutkan: maksud dari lamsun adalah bersetubuh.

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Periwayatan Hadits Atau Atsar

Sebab perbedaan periwayatan hadits dan atsar dapat mempengaruhi penafsiran pada ayat al-Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan: Riwayat ada dua macam, yaitu: Riwayat dari Ma’shum dan Ghairu Maksum. Contoh penafsiran pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ . (الحج [22] : 19)

Maksud ayat adalah dua kelompok yang saling berseteru itu adalah kaum muslimin dan kuffar Makkah, mereka berseteru hingga terjadinya peperangan.

Penafsiran yang demikian berdasarkan riwayat dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari yang mengatakan: aku bersumpah turunnya ayat ini terkait sahabat Hamzah, Ali dan ‘Abidah bin al-Harits saat perang Badar dengan kelompok kuffar Makkah dengan tokoh utama saat tanding, yaitu ‘Utbah, Syaibah dan al-Walid bin ‘Utbah, kemudian dimenangkan oleh kaum muslimin. Riwayat ini dikuatkan oleh riwayat sahabat Ali dan juga pendapatnya Qais bin Abdurrawi.

Sementara Qatadah dari riwayat Ibn Abbas mengatakan perseteruan tersebut antara kaum muslimin dengan Ahl Kitab. Di mana Ahl Kitab mengatakan Nabi-ku lebih awal diutus, begitu pula kitab yang diwahyukannya, kami golongan yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebaliknya kaum muslimin membela dengan hujjah-hujjah yang membenarkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Perseteruan ini tidak selesai-selesai, sehingga ayat ini diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam.

Riwayat lain disebutkan oleh Mujahid dan ‘Atha’, kemudian Imam ibn Jarir al-Thabari menganggapnya sebagai penafsiran yang rajih. Mujahid dan ‘Atha’ mengatakan dua kelompok yang beseteru tersebut adalah kaum muslimin dan kaum kafir (tanpa mengkhususkan kuffar Makkah).

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Kedudukan Susunan Kalimat

Sebab perbedaan penafsiran dari segi kedudukan susunan kalimat (wujuh al-‘Irab) sering pula terjadi dikalangan para ulama tafsir, contohnya pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ (آل عمران [3] : 7)

Kata وَالرَّاسِخُونَ bisa di-athaf-kan pada lafad اللهُ, namun bisa pula kedudukannya sebagai mubtada’ dengan khabar-nya pada kalimat يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ .

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Qaidah Ushul

Sebab perbedaan penafsiran ulama dari segi qaidah ushul, terdapat beberapa bagian, di antaranya:

  1. Sebab bentuk kalimat yang mujmal sehingga dimungkinkan beberapa penafsiran, contoh:

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ الله فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ الله فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ الله فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ الله فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (البقرة [2] : ٢٢٩)

Kalimat الطَّلاقُ مَرَّتَانِ berbentuk kalimat yang mujmal, sehingga bisa ditafsirkan dengan dua penafsiran, yaitu: (1) الطَّلاقُ الرجغي مَرَّتَانِ dan (2) الطَّلاقُ المشروع مَرَّتَانِ.

  • Sebab dimungkinkannya penerapan qaidah taqyid dan ithlaq, contoh:

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ واللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة [58] : 3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَئًا وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ (النساء [4] : 92)

Para ulama sepakat budak yang harus dimerdekakan dalam mas’alah kafaroh qital (pembunuhan) harus budak yang muslim (mu’min), sesuai nash al-Qur’an dalam surah an-Nisa’ ayat 92 yang menyebutkan kata Mu’minah, namun para ulama berbeda pendapat dalam mas’alah kafaroh dhihar (sumpah dhihar), apakah harus budak mu’min (beragama Islam) atau boleh dengan budak non mu’min ?

  • Sebab dimungkinkannya penerapan qaidah khash dan ‘am, contoh:

فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ الله يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِّنَ الله (آل عمران [3] : 39)

Kata الْمَلآئِكَةُ  berbentuk ‘am (umum), namun ayat tersebut sekalipun berbentuk ‘am, tapi bisa dikehendaki khash (khusus), bila dikehendaki khusus, maka apakah yang dimaksud malaikat dalam ayat tersebut adalah malaikat Jibril (malaikat penyampai wahyu kepada para Nabi) atau selain malaikat Jibril?

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Uslub Al-Qur’an

Sebab  perbedaan  penafsiran  ulama  bisa  juga  dilihat  dari  cara

pandang mereka tentang uslub al-Qur’an, misalnya dari segi balaghah-nya al-Qur’an. Masuk dalam cabang ilmu balaghah misalnya terkait kalimat yang dimungkinkan adanya kalimat majaz atau cukup dengan makna haqiqi, misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (النساء [4] : 43)

Kataالصَّلاةَ  apakah diterapkan sebagai kata hakiki dengan melihat pada redaksi berikutnya yang terdapat kalimat حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ dan juga melihat sebab turunnya ayat yang menyebutkan kesia-siaan orang mabuk yang melakukan shalat? atau kata الصَّلاةَ  diterapkan sebagai kata majazi sebab pada redaksi berikutnya terdapat kalimat وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ , dengan kesimpulan bahwa orang mabuk dan orang junub tidak boleh mendekati tempat-tempat shalat?

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Fungsi Ahruf

Sebab perbedaan penafsiran dari segi fungsi atau faidah huruf-huruf yang ada pada ayat al-Qur’an, contoh pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (القيامة [75] : 1)

Para mufassir berbeda-beda pandangan terkait fungsi atau faidah huruf لَا pada surat al-Qiyamah, setidaknya ada tiga kelompok, yaitu: pertama: berfaidah zaidah (tambahan), kedua: qasam (sumpah) dan ketiga: la nafyi li ta’kid (huruf la yang berfungsi menafikan untuk menguatkan kalimat tersebut) sekaligus bersumpah, sehingga takdirnya لَا , واللهِ  .

  • Sebab Perbedaan Penafsiran Ulama dari Segi Pemaknaan Kata

Satu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki arti musytarak atau mutaradlif, bahkan ada kata yang gharib (asing), sehingga memunculkan penafsiran-penafsiran yang banyak dikalangan para mufassir. Oleh karena itu setiap kata dalam al-Qur’an pasti terdapat kata yang membutuhkan penelitian khusus melalui sya’ir-sya’ir dan prosa-prosa orang-orang terdahulu.

Contoh kata yang memiliki arti musytarak:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ الله فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ باللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ واللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة [2] : 228)

Kata قُرُوءٍ bisa diartikan suci dan bisa pula diartikan haid sebagaimana perbedaan pendapat antara Malikiyah dan Syafi’iyah, sehingga para mufassir dalam mengartikan dan menjelaskan kata ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ maksudnya adalah tiga kali sucian atau tiga kali haid.

Contoh kata yang memiliki arti mutaqarib:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ . (الشورى [42] : 7)

Kata أَوْحَيْنَا dalam bahasa arab tidak ditemukan kata padanannya (sinonim) pada kata tersebut, sehingga untuk menjelaskan kata wahyu dengan kata yang berdekatan, walaupun belum pas dengan kata yang dimaksud, dalam hal ini para ulama menafsirkan kata أَوْحَيْنَا dengan kata أَنزَلْنَا yang didasarkan pada ayat lain, misalnya:

وَكَذَٰلِكَ أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمِنْ هَٰؤُلَاءِ مَن يُؤْمِنُ بِهِ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الْكَافِرُونَ . (العنكبوت [29] : ٤٧)

Contoh kata yang memiliki arti mutaradif:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل [16] : ٤4)

Kata لِتُبَيِّنَ atau “bayan” memiliki makna mutaradif, misalnya wadlih dan dhahir, walaupun penggunaanya berbeda. Tujuannya adalah untuk memahamkan siapa saja yang membaca kitab tafsir tersebut.

Penutup

Akhiran, penafsiran para ulama tentu memiliki dasar pijakan, baik dengan pijakan riwayat qira’ah, riwayat hadits dan atsar, susunan kalimat, uslub nash al-Qur’an, hingga pemaknaan kata dalam kamus dan mu’jam bahasa arab sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Pijakan-pijakan tersebut didasarkan pada rambu-rambu sabda Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa Sallam agar dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an tidak berdasarkan nafsu dan kepentingan masing-masing, oleh karena itu Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa Sallam menegaskan dalam sabdanya:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Barang siapa yang berbicara dalam penafsiran al-Qur’an tanpa dasar ilmu, maka supaya siap-siaplah tempatnya di neraka.

Jauh meneropong ke dunia Eropa, penafsiran kitab suci al-Qur’an tumbuh subur dari bebagai perspektif masing-masing diri mufassir. Perkembangan itu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, baik sudut pandang positif atau negatif. Realita ini disebabkan munculnya penafsir kontemporer yang memiliki maksud dan kepentingan dengan membawa dalil-dalil al-Qur’an yang jauh dari penafsiran ulama terdahulu.

Betul, bahwa penafsiran firman-firman Tuhan yang tertulis dalam mushaf al-Qur’an merupakan hasil ijtihad para mufassir, namun landasan dasar penafsirannya sesuai qaidah-qaidah metode penafsiran, sehingga walaupun hasil penafsirannya berbeda-beda, tapi tetap pada jalan tempuh sesuai qaidah-qaidah metode penafsiran, maka tidak bisa dikatakan hasil penafsirannya keluar dari pemahaman sesuai nafsunya.

Sangat penting diketahui oleh para pengkaji al-Qur’an untuk benar-benar faham rambu-rambu yang telah dirumuskan para ulama dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an atau semacamnya, agar tidak asal mengambil sebuah kesimpulan atau bahkan asal menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Jika menemukan sebuah perbedaan penafsiran, bukan berarti penafsiran yang beda tersebut dihukumi salah, tetapi hasil penafsiran yang beda tersebut merupan bagian dari keindahan al-Qur’an. Beda penafsiran, namun tidak keluar dari Syari’at Islam.

Oleh sebab itu, indahnya sebuah perbedaan-perbedaan dalam penafsiran para ulama dapat diketahui dengan mengkaji lebih jauh dan dalam sebab-sebab terjadinya perbedan-perbedaan penafsiran tersebut, lebih khusus lagi dalam kajian ini yang fokus pada bagaimana tokoh mufassir dalam memahami nash al-Qur’an dengan hasil penafsiran yang bermacam-macam dan tidak bertentangan dengan teori yang diterapkan.

Referensi

Abdul Ilah Huri al-Huri, Asbabu Ikhtilafi al-Mufassirin, Suriah: Dar al-Nawadir, 2011.

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. 1. Maktabah Syamelah versi 2.

Fahad bi Abdurrahman, Ush al-Tafsir wa Manahijuhu, Riyad: Maktabah al-Mulk, 2017.

Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alimu al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, vol. 2. Maktbah Syamela versi 2.

Muhamad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan “Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an”, vol. 1. Bairut: Maktabah al-‘Ahriyah, 2005.

Muhamad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 5. Maktabah Syamelah versi 2.

Muhamad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, vol. 4. Maktabah Syamelah versi 2.

Muhamad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. 1-3. Mesir: Maktabah Wahbah, 2011.

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, Damaskus: Dar al-Qalam, 2008.

Shalih Abdul Aziz, Syarah Muqadimah fi Ush al-Tafsir li Ibn Taimiyah, Makkah: Maktabah  Dar  Minhaj, 1432.

Umar Muhyiddin Huri, Manhaj al-Tafsir ‘inda al-Imam al-Thabari, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008.

Tinggalkan Balasan