Feminisme Memberikan Kebebasan, Namun Tradisi Budaya Memberikan yang Dibutuhkan Perempuan

Ketika kita mendengar kata “politik”, suatu yang tersirat pertama di benak kita masing-masing adalah sesuatu yang kotor, buruk, penuh dengan dosa, dan menghalalkan segala cara. Tak ayal hal inilah yang menjadikan politik sebagai sebuah ilmu yang dibenci begitu pun perlakuan. Namun pada kenyataannya, ilmu politik merupakan ilmu yang tua dan bertujuan untuk mencapai sesuatu yang mulia, pasti kita pernah mendengar nama Plato dan Aristoteles yang merupakan bapak atau kiblat dari para pemikir politik kontemporer. Penyebab daripada politik itu dibenci adalah para pelakunya yang kurang bijak dan hanya untuk ego diri sendiri, mengesampingkan kepentingan dan pencapaian bersama, sehingga menciptakan image yang demikian. Padahal poin besar dalam politik adalah untuk kesejahteraan bersama.

Setelah kita memahami bahwa politik adalah sebuah ilmu yang mulia demi kebaikan semua, namun dari ilmu ini banyak terjadi perdebatan di dalamnya. Kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan adalah polemik antara politik dengan agama, dan salah satunya nanti akan mengarah kepada keterlibatan kaum perempuan dalam politik. Banyak pemikir yang mengatakan bahwa agama dan politik haruslah dipisah karena agama bukan sebagai alat politik. Belum sampai di situ, timbullah lagi sebuah pertanyaan tentang keterlibatan perempuan dalam panggung politik dan kepemimpinan yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki saja. Mari kita lihat perspektif atau sudut pandang dari berbagai sudut tentang masalah ini, antara lain:

  1. Agama (Islam)

Ketika melihat agama dalam menilai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi penulis, namun akan penulis berikan beberapa poin untuk disajikan. Sudah jelas, Islam dalam hal keterlibatan perempuan dalam politik merupakan sesuatu yang dilarang. Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan Hadist menyatakan bidang politik bukanlah bidang yang cocok untuk perempuan. Dalam sudut pandang Yusuf Qardhawi, yang merupakan pemikir Islam asal Mesir, menuliskan dalam bukunya “Fiqh al-Daulah fi Al-Islam” bahwa perempuan tidak layak dalam konteks politik atau pemimpin dikarenakan hambatan yang merupakan tabiat mereka, seperti menstruasi beserta keluhannya, mengandung, melahirkan, menyusui, dan segala konsekuensinya. Semua itu membuat mereka secara fisik dan psikis tidak mampu mengemban tugas dengan baik.

Namun dalam sisi lain, ada suara dari pemikir perempuan Islam yang menyerukan feminisme, seperti Fatima Mernissi dan Wadud Muhsin yang menyerukan tentang feminisme versi Islam dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban nan sama dalam dunia politik. Mereka menyampaikan bahwa dunia politik bukanlah dunia maskulin yang hanya boleh dimasuki oleh laki-laki semata, namun perlu adanya penyeimbang dalam keterwakilan perempuan guna mewadahi suara-suara kaum perempuan.

  • Budaya

Budaya merupakan sebuah kebiasaan yang tertanam sejak lama sehingga menjadi kepercayan. Ketika kita mempertanyakan politik dalam sudut pandang budaya akan terkesan berwarna-warni karena setiap daerah punya budaya dan tradisi yang berbeda. Mungkin kita bisa mengambil contoh budaya atau tradisi Jawa kuno yang dengan jelas melarang atau membatasi peran dari perempuan (patriarki) karena peran dari perempuan hanyala dapur, sumur, dan kasur. Perempuan keluar dari rumah atau dari tiga hal tadi merupakan sebuah hal yang aneh pada saat itu. Begitupun di Arab Saudi yang budaya dan tradisinya bercampur dengan agama yang dengan jelas membatasi peran perempuan.

Namun di sisi lain, ada budaya yang menjadikan wanita menjadi pemimpin dan mempunyai hak penuh atas keluarga atau bahkan laki-laki (matriarki), termasuk juga dalam hal politik. Salah satu contohnya adalah masyarakat Minangkabau (Indonesia), Garo (India dan Banglades)

  • Modern

Tidak bisa dihindari kalau kita hidup di jaman modern. Dengan semua perubahan ilmu dan teori yang berjalan seiringnya waktu sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Sebut saja faham atau ideologi yang baru adalah “Feminisme” dengan tokoh seperti Hanna Arendt, Simon de Veauvoir, Rosa Luxemburg, dan lain-lain. Di antara nama yang lain, Hanna Arendt merupakan pemikir perempuan yang paling eksis dalam karyanya dalam mengkritisi tatanan yang dianggap merugikan kaum perempuan yang disebut sebagai “Diskriminasi Sistemik” yang di mana seseorang tidak merasa berbuat kejahatan karena kebisaannya sudah demikian.

Feminisme pun banyak alirannya, seperti feminisme liberal yang pandangannya untuk menempatkan posisi perempuan sebagai subjek secara penuh dan individual. Feminisme radikal yang di mana digunakan untuk mengeser peran atau dominasi dari kaum laki-laki dalam panggung politik dan kepemimpinan.

Namun feminisme secara pengertian umum adalah untuk menyamakan peran dan hak dari perempuan, hal inilah yang kemudian menjamur dan menjalar sehingga mendorong perempuan memasuki wilayah (yang dikatakan) milik kaum laki-laki karena mereka memiliki rasionalitas, hak, dan posisi yang sama dengan kaum laki-laki. Paham ini pada awalnya berjalan dalam lingkup kehidupan sehari-hari (pekerjaan yang mulai digeluti perempuan), lalu berlanjut ke tahapan kajian akademik, sehingga berujung kepada gerakan.

Dalam dewasa ini, faham dan ideologi ini merupakan sebuah tren di kalangan perempuan. Di mana perempuan selalu mengatas namakan kesetaraan untuk menuntut sesuatu, entah itu kepada pemerintah dan bahkan kaum laki-laki. Ini seperti sebuah kekeliruan yang semakin menjalar di mana seseorang yang tidak memahami arti dan pemahaman secara mendalam lalu mulai mengatakan kata “Feminisme”. Ini akan menjadikan pemahaman yang salah dan akan berlanjut menjadi kesalahan. Hal inilah kemudian memunculkan banyak feminisme radikal yang berhaluan keras secara paham, pemikiran, dan gerakan.

Hal inilah yang kemudian menjalar di Indonesia. Di mana modernisasi yang tidak bisa dibendung datangnya, tradisi yang mulai terkikis dengan masuknya budaya-budaya baru yang dianggap lebih terkini, semakin meminimalkan peran dan kemampuan masyarakatnya dalam menyaring sesuatu yang baik atau tidak, dan nilai-nilai agama yang dianggap jauh lebih tinggi daripada rasa kemanusiaan dan kewarganegaraan. Hal inilah yang kemudian menjadikan dan menanamkan sesuatu yang salah. Bahkan kita tahu sendiri, ada beberapa oknum atau pemain dari feminisme sendiri yang bertopengkan agama untuk memasarkan dan menggerakkan pemikirannya tersebut. Di mana agama seperti sebuah alat. Padahal sudah jelas dari semua agama dan kitabnya, posisi dari kaum perempuan sudah ada. Mereka tidak perlu menuntut untuk setara dengan laki-laki, namun mereka sudah diistimewakan daripada kaum laki-laki.

Baca juga: MTQ Bukan Sekedar Lomba Menang dan Kalah

Dalam daerah pinggiran kota besar atau sebut saja jauh dari kota, yaitu wilayah pedesaan, hal ini menjadikan sebuah ancaman. Desa yang merupakan penjaga tradisi dari sejarah mulai banyak dimasuki oleh orang-orang yang “berpendidikan” liberal. Maksudnya berpendidikan di sini adalah mereka yang belajar keluar dan mempelajari ilmu yang lebih modern, namun mereka membawa ilmu itu secara mentah-mentah untuk diterapkan dan dimasukkan dalam kehidupannya sehari-hari tanpa memahami banyaknya faktor yang perlu dipertimbangkan. Inilah yang kemudian diikuti oleh para pemuda desa dan kemudian meninggalkan tradisi yang sudah ditanamkan. Kesempatan inilah yang dilakukan oleh feminisme untuk masuk dalam segi-segi kehidupan sampai paling bawah. Di mana di wilayah global mereka sudah kuat secara pemikiran dan tujuan, lalu mereka menyongsong daerah bawah untuk menghimpun suatu pergerakan.

Kita ambil saja contoh perempuan Jawa. Di mana pada tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu bahwa perempuan punya batasan dan tugasnya masing-masing, yang di mana itu berbeda porsinya antara laki-laki dan perempuan. Karena tradisi dan agama menempatkan porsi perempuan dan laki-laki sesuai dengan porsi dan kemampuan, entah itu secara fikir atau fisik. Hal inilah yang kemudian mendapatkan pembaruan sehingga banyak pergerakan wanita yang mulai mengambil lahan laki-laki dan lama kelamaan semakin lupa dengan batasan yang ditanamkan. Seperti yang saya katakan di atas, bahwa kebiasaan yang dianggap kecil inilah yang kemudian menanamkan suatu nilai dan kemudian berlanjut ke dalam sisi akademisi. Hal ini kemudian yang semakin menanamkan paham dan ideologi, dan mengarah kepada gerakan. Dan di Indonesia pergerakan ini sudah dipenuhi tuntutannya. Yaitu sebagai contohnya adalah kursi parlemen di mana kaum perempuan berhak mendapatkan kursi 30%, di fasilitas umum perempuan ada tempatnya sendiri. Ini sudah membuktikan bahwa negara sudah memenuhi apa yang mereka tuntut. Jadi tidak perlu lagi untuk meniru feminisme versi luar yang diterjemahkan secara radikal.

Mungkin kalau berbicara feminisme memang benar ini tidak lepas dari peran modernisasi yang semakin menjadi di dewasa ini. Namun, membendung modernisasi merupakan sebuah ketidakmungkinan. Namun, yang bisa menjadi antithesis dari modernisasi adalah tradisi. Di mana tradisi yang kuat maka modernisasi tidak akan memberikan sesuatu yang buruk untuk ikut masuk dalam sendi kehidupan. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah penanaman bagi para perempuan Indonesia. Di mana tidak perlu menuntut sebuah kesamaan, namun kaum perempuan sudah diberikan sesuatu yang lebih dari setara, yaitu keistimewaan. Tidak perlu meniru feminisme versi luar, yang mana hanya menjanjikan perempuan apa yang diinginkan, yaitu kekuasaan dan juga kebebasan, namun dengan tradisi dan budaya perempuan akan diberikan apa yang kaum wanita butuhkan.

Penulis: M. Billy Multazam, S.Sos (Mahasiswa S2 Ilmu Politik, Universitas Airlangga dan Ketua DPC BMI Lamongan)

Tinggalkan Balasan