Penelitian dalam studi tafsir Al-Qur’an tidak ada habis-habisnya dilakukan oleh para ahli, dipandang dan dianalisis dari berbagai aspek dan lini. Ada yang mengkaji dari aspek sains, filsafat, mistis, sosiologi, anatomi, lingusitik dan masih banyak lagi. Hal itu disebabkan karena Al-Qur’an diyakini oleh umat muslim bahwa Al-Qur’an selalu bisa menjawab promblematika zaman, karena makna yang dikandung merupakan problem solving lintas waktu untuk kehidupan manusia.
Tafsir Al-Qur’an sendiri secara etimologi memiliki makna menjelaskan Al-Qur’an. Adapun secara terminlogi, tasfir Al-Qur’an memiliki makna yang bervariasi, namun semua definisi itu memiliki makna dan tujuan yang sama seperti dituturkan oleh Dr. Muhammad Husein ad-Dzahabi.
Di antara definisi tafsir Al-Qur’an, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hayyan, bahwa tafsir Al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mengkaji mengenai cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, makna Al-Qur’an, hukum-hukum lafad ifradi (individu) dan tarkib (majemuk), makna yang dikandung oleh keadaan tarkib lafaz itu sendiri, dan semua hal yang berkaitan dengan penyempurna hal-hal demikian.
Adapun yang dimaksud dengan cara pengucapan Al-Qur’an sebagaimana dikatakan oleh Dr. Husein ad-Dzahabi adalah ilmu qiraat, kemudian makna lafaz Al-Qur’an adalah kajian mengenai tentang ilmu linguistik lalu hukum-hukum lafaz baik ifradi atau tarkibi merupakan kajian mengenai ilmu morfologi (ilmu Sharaf) dan ilmu sintaksis (ilmu ‘irab). Lalu makna-makna yang dikandung oleh lafaz-lafaz yang majemuk tadi merupakan indikasi terhadap makna hakikat dan hal-hal yang dapat menyempurnakan pemahaman kita terhadap Al-Qur’an seperti nasikh mansukh, asbabunnuzul, dan berbagai kisah yang menjelaskan hal yang masih absurd dalam Al-Qur’an.
Untuk mengkaji makna Al-Qur’an para ahli tafsir memberikan gagasan-gagasannya, baik dengan cara harus memahami dua domain yaitu tradisi klasik dan kontemporer, sehingga dibentuk dua gerakan yang dikenal dengan double movement seperti gagasan Fazlur Rahman. Ada juga yang menggunakan pendekatan hermeneutika seperti Hassan Hanafi dan Muhammad Arkoun. Bahkan masih ada yang menggunakan beberapa metodologi klasik di mana sebagaian kalangan mengatakan hal itu merupakan tindakan mempertahankan status kuno, karena merupakan metodologi warisan abad ke tiga dan empat.
Terlepas dari itu semua, jika kita memandang tafsir Al-Qur’an dengan kacamata ilmu logika yang membahas mengenai konsepsi (tasawwur) dan keyakinan atau justifikasi (tasdik), maka penulis mencuitkan pertanyaan, “Apakah penafsiran yang dilakukan oleh para ulama klasik dan kontemporer merupakan bentuk konsepsi atau tasdik?
Untuk menentukan cara pandang tafsir Al-Qur’an dengan analisis ilmu logika, perlu sedikit adanya penjelasan tentang tasawwur dan tasdik. Abdurrahman Hasan Habnakan Al-Maidani dalam kitabnya Dhawabith Al-Ma’rifat menyatakan, bahwa tasawwur adalah kemampuan memahami suatu variabel dan maknanya, sedangkan tasdik adalah memahami hubungan antara dua variabel, baik relasinya itu positif ataupun negatif.
Dari dua definisi ini, dapat disimpulkan bahwa tasawwur merupakan gambaran makna dari sesuatu tanpa adanya justifikasi negatif atau positif terhadap sesuatu itu, karena sifatnya hanya menjelaskan makna saja. Sedangkan tasdiq terdapat justifikasi di dalamnya yang dilakukan oleh seorang pengamat di mana relasi antara variabel yang diamati terdapat unsur justifikasi positif atau negatif.
Kemudian, jika pandangan ilmu logika ini digiring untuk melihat interpretasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh para saintis muslim, apakah hasil interpretasi mereka terhadap Al-Qur’an hanya bersifat konsepsi atau tasdik, maka sudah tentu akan memiliki persepsi tersendiri dari setiap pengamatannya.
Imam Husain Ad-Dzahabi seorang menteri perwakafan berkebangsaan Mesir yang ahli dalam metodologi tafsir pernah membicarakan hal ini dalam karyanya At-Tafsir wa al-Mufassirun. Dalam bukunya, ia memandang tasfir Al-Qur’an apakah termasuk tasawwur atau tasdik dalam dua dua pandangan.
Pertama, tafsir Al-Qur’an masuk pada domain tasawwur. Sebab maksud dari pada penafsiran Al-Qur’an sendiri adalah mendeskiripsikan makna lafaz-lafaz Al-Qur’an itu sendiri. Di mana semua hal itu, tidak lain merupakan penjelasan lafaz Al-Qur’an itu sendiri.
Pandangan pertama ini di antaranya dianut oleh Abdul Hakim, karena ia berpendapat bahwa ilmu bahasa adalah ilmu yang hanya membahas lafaz dan makanya saja begitu juga dengan tafsir dan hadis.
Baca juga: LAKPESDAM PCINU Sudan-Majma’ Fikih Sudan Gelar Seminar Internasional Pribumisasi Islam
Sedangkan pandangan kedua, tafsir Al-Qur’an masuk pada domain tasdik. Alasannya, karena menafsirkan Al-Qur’an mengandung unsur justifikasi terhadap makna lafaz. Artinya, seorang penafsir telah membut suatu justifikasi terhadap makna lafaz yang menurutnya makna yang diasumsikan itu adalah yang dimaksud oleh lafaz Al-Qur’an.
Penulis: Sholah Ibn Mawardi
Mahasiswa International University of Africa
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)