Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Subahanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, diriwayatkan secara mutawatir hingga sampai kepada kita, isinya memuat petunjuk kebahagiaan bagi orang-orang yang percaya kepadanya. Al-Qur’an walaupun diturunkan di tengah-tengah masyarakat bangsa arab dengan lisan bahasa Arab, tetapi misi al-Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia, tidak dibedakan antara bangsa Arab dengan non Arab.
Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat muslim menjadi perhatian khusus, sehingga keinginan untuk memahami al-Qur’an sebagai petunjuk yang terdapat didalamnya mampu melahirkan metode-metode yang konprehensif sebagai pedoman untuk memahami kitab suci ini, lalu muncullah kitab-kitab tafsir yang beraneka ragam, bahkan karya-karya tafsir tersebut dapat menjamah semua problematika terkini.
Luasnya keanekaragaman kitab tafsir al-Qur’an tentu mempunyai metode dan pola fikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan mufassir dan sosial historis para mufassir saat menafsirkan al-Qur’an. Terbukti perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran, melainkan juga hingga pada ilmu-ilmu keislaman secara umum, sebagai tamsil perdebatan di bidang fiqih, melahirkan madzhab-madzhab yang diakui di seluruh dunia.
Selanjutnya di bidang ‘Aqidah, muncul perbedaan pemahaman kontroversional terkait ‘Ulum Ushuliyah (ilmu-ilmu yang bersifat pondasi agama) yang masih diperdebatkan hingga kini, seperti golongan mu’tazilah dan asy’ariyah yang memperdebatkan al-Qur’an antara pengakuan sebagai mahluk Tuhan atau firman Tuhan. Perdebatan yang kontroversi ini, hingga kini masih hangat dibicarakan, karena sangat berpengaruh terhadap keyakinan individu.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama tersebut tak ubahnya bagaikan sebuah taman yang dipenuhi dengan aneka ragam warna dan corak. Taman yang beranekaragam tersebut pasti terlihat sangat indah dan tidak membosakan, karena penuh dengan warna, bentuk dan model yang beda-beda. Berbeda halnya andaikan taman itu hanya dipenuhi dengan satu macam tanaman saja, tentu akan terlihat monoton dan kurang elok dipandang mata.
Perbedaan ini fitrah dan kehendak Allah Subahanahu wa Ta’ala sebagai mana dalam firmannya:
….. وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ، فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ .
… Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Pembahasan
- Ikhtilāf al-Mufassirīn.
Secara bahasa, ikhtilāf berasal dari kata khalaf. Kata khalaf sendiri memiliki banyak arti, di antaranya adalah berbeda, menggantikan, memperbaiki, tertinggal, berubah baunya, menyebutkan kebaikan atau kejelekan (sembunyi-sembunyi)[1] dan inkar janji.[2] Ahmad Ibnu Faris menyebutkan kata khalaf susunan huruf kha’ lam fa’, kata ini mempunyai tiga arti, yaitu: Pertama: sesuatu yang datang setelah sesuatu (pengganti) yang menempati tempatnya, kedua: lawan dari kata depan (قدّام), dan ketiga: perubahan (تغيّر). Kata khalaf disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an, misalnya:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا .
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam [19]: 59) Sesuatu dinamakan khilāfah (pengganti), karena yang kedua datang menempati posisi yang pertama, sementara apabila dikatakan Ikhtalafa al-Nās fī Kaẓā, berarti manusia berselisih dalam suatu hal, sebab setiap individu dari mereka mengingkari pendapat yang lainnya.[1]
Kata ikhtilāf disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an, misalnya:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ …
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu … (QS. Al-Rum [30]: 22)
Para ulama lebih memilih penggunaan kata ikhtilāf dari pada kata khalaf atau semacamnya untuk disandingkan dengan kata penafsiran, misalnya Ibnu Taimiyah yang menyebut sebuah pembahasan secara khusus di Fashal al-Khilaf baina al-Salaf fi al-Tafsir dalam kitab Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr, dengan mengatakan ikhtilāf para mufassir diketahui dengan dikembalikan pada dua hal, yakni perbedaan variatif (tanawwu’), dan perselisihan kontradiktif (taḍād).[2]
- Sebab-Sebab Perbedaan Penafsiran
Perbedaan pendapat para ulama tidak hanya dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, namun perbedaan pendapat para ulama hingga berbagai keilmuan yang lain, seperti bidang fiqih, hadis dan lainnya. Sebagai contoh penyebab perbedaan para mufassirdalam menafsirkan al-Qur’an dengan para fuqahā’ (ahli fiqh) dalam permasalahan-permasalahan fiqih tidaklah sama. Perbedaan yang didapati mufassirjauh lebih sedikit dibandingkan perbedaan yang terjadi dikalangan para fuqahā’.
Semula perbedaan penafsiran disebabkan dengan adanya perbedaan tingkat intelektualitas para ulama terhadap berbagai macam fan keilmuan yang dikuasainya. Hal ini yang menyebabkan munculnya berbagai macam corak penafsiran, baik corak penafsiran yang variatif hingga yang kontradiktif. Perbedaan para mufassir bisa ditemukan dalam penafsirannya disebabkan seperti banyaknya riwayāh (ayat al-Qur’an, redaksi hadits, qira’āt), pemahaman terhadap nas, kebahasaan, kecenderungan aqidah dan madzhab atau qaidah-qaidah ushul fiqh, sedangkan sebab-sebab perbedaan para fuqāha’ berkaitan dengan riwāyah nas, pemahaman nas, ijmā’ dan qiyās.[1]
Sebab-sebab perbedaan penafsiran para mufassir dilihat dari segi kepribadiannya mencakup beberapa hal, yaitu: sifat thabi’iyah (bawaan sejak lahir), akhlak (hingga sifat ‘adalah), kecerdasan (hingga pemikiran), kuatnya hafalan, madzhab yang dianut, firqah yang diyakini, kesenangan saat menuntut ilmu (antara senang mengkaji dengan guru dan senang membaca kitab-kitab turats) dan kontribusi dalam dunia keilmuan dan negara.
Sedangkan dilihat dari segi sosial historis atau pengaruh lingkungan mencakup beberapa hal pula, yaitu: riwayat pendidikan (proses menuntut ilmu sampai menjadi tokoh mufassir), manhaj al-da’wah, memiliki pengaruh pemikiran klasik atau kontemporer dalam penafsirannya, keadaan sosial dan politik pertarungan negara.
- Pengaruh Madzhab Aqidah Dan Fiqh Dalam Perbedaan Penafsiran
a. Pengaruh Madzhab Aqidah
Masa awal Islam rasa fanatisme mudah teredam dengan penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa Sallam dari al-Qur’an maupun sabdanya. Hal itu berlanjut sampai pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Baru di akhir masa pemerintahannya, kekuatan fanatisme ini mulai bangkit kembali yang dimulai dengan timbulnya pertentangan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Selepas itu, muncul pertentangan antara golongan Khawarij dan golongan lain.[2] Semula perselisihan itu sebatas perselisihan pendapat dalam urusan politik, namun dengan berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban dan pemikiran, maka perselisihan itu mulai mengarah kepada masalah akidah (keyakinan), hukum dan seterusnya.
Lintas sejarah juga mencatat perselisihan yang berujung pada perpecahan umat muslim. Bermula pada akhir periode pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, hingga terus memanas pada masa-masa berikutya. Al-Syahstani mencatat munculnya sekte-sekte besar dalam Islam yang berkaitan dengan persoalan teologi, di antaranya Khawārij, Syi‘ah, Mu‘tazilah, Qadariyah, Ahl al-Sunnah. Sekte-sekte tersebut terbagi menjadi beberapa golongan, di antara mereka ajarannya ada yang keluar dari rel ajaran Islam, sebagian lain masih dalam koredor ajaran Islam.[1]
Setiap sekte satu sama lain berbeda pandangan tentang persoalan-persoalan kalam; Ketuhanan (Ilāhiyyāt), Kenabian (Nubuwwāt), Kehidupan setelah kematian (Mi‘ād), perbuatan manusia (Qaḍā’ dan Qadar) dan Khilafah. Persoalan-persoalan ini menyebabkan para pengikutnya berselisih pendapat, hingga sering terjadi gesekan bahkan pertumpahan darah antara pengikut satu dengan lainnya. Perselisihan antar sekte ini sangat berpengaruh dari perselisihan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, bahkan terkadang penafsiran itu berselisih dengan pendapat jumhur ulama, contoh penafsiran surat al-Nisa’ [4]: 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ ، فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا .
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa’ [3]: 59) Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ulū al-Amr, yaitu: pertama: ulū al-amr di sini adalah para pemimpin pemerintahan, kaum mus-limin wajib taat kepada mereka selagi tidak dalam kemaksiatan. Pendapat ini dipegang oleh al-Ṭabarī, al-
Zamakhsyari, al-Baiḍāwī, al-Naḥḥās dan al-Syaukānī. Kedua: maksud ulū al-amr di sini adalah para ulama, ini pendapat Ibnu ‘Abbās dan Jābir, al-Hasan, aḍ-Daḥḥāk, dan Mujāhid. Ketiga: Yang dimaksud ulū al-amr di sini adalah semua yang disebutkan di atas (baik pemimpin pemerintahan maupun ulama), pendapat ini dipegang oleh al-Qurṭubī, Ibn Kasīr, Ibnu al-‘Arabī, al-Nasafī dan al-Alūsī. Keempat: Menurut ulama Syī‘ah Imāmiyah dan Zaidiyah, ulū al-amr di sini adalah para Imam dari keturunan Nabi Muḥammad Shallahu alaihi wa Sallam.[1]
b. Pengaruh Madzhab Fiqih
Sebagian dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an adalah tema tentang hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan kemaslahatan umat di dunia maupun di akhirat. Pada masa Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam kaum muslimin memahami ayat-ayat hukum dari pemahaman mereka terhadap Bahasa Arab. Apabila mereka mengalami kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka langsung merujuk pada keterangan Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam.[2]
Setelah Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam wafat, para fuqaha’ dari para sahabat mengendalikan umat dibawah kepemimpinan Khulafā’ al-Rāsyidīn. Apabila ditemukan persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka mereka merujuk kepada al-Qur’an untuk dilakukan iṣtinbāṭ hukum-hukum syari’at, kemudian disepakati bersama. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafaẓ atau ayat al-Qur’an, misalnya perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, maka kasus ‘iddah itu maksudnya berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari, ataukah dengan waktu paling lama di antara keduanya. Para fuqaha’ dalam pengambilan hukum tentang
masalah ini dengan mengembalikan permasalahan ini pada dalil al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ .
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah [2]: 234)
Keadaan yang seperti ini, meskipun jarang terjadi merupakan awal permulaan perselisihan pendapat di bidang fikih dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, kemudian tiba masa Imam madzhab, setiap Imam membuat asasiyah (dasar-dasar) istinbat hukum dalam madzhab-nya, serta berbagai peristiwa kemasyarakatan, bahkan politik kebangsaan semakin marak yang menyebabkan bercabangnya pemikiran dalam memahami ayat.
Ahwal yang demikian ini disebabkan perbedaan segi dalalah-nya, bukan karena fanatisme dalam bermadzhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang dan bersikukuh pada apa yang dipandangnya benar, bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu.[1] Melihat dari sisi lain, berbagai madzhab di negeri Islam bermunculan. Perselisihan dimulai dengan berdirinya madrasah-madrasah atau halaqah-halaqah keilmuan, misalnya di Irak berdiri madrasah dengan metode yang sesuai dengan keadaan di Irak. Madrasah di Hijaz didirikan dengan metode yang berbeda dengan di Irak, begitu juga di negeri Syam, bahkan kelompok
Syī‘ah juga memiliki madrasah sendiri untuk mengembangkan ilmu keislaman yang melaju dengan perkembangan zaman.
Setiap madrasah memiliki tokoh atau pemimpin yang menyampaikan riwayat dan pandangan fiqh yang diajarkan kepada murid-muridnya.[1] Pada masa ini, perbedaan pendapat dalam masalah fiqh bukan penyimpangan dalam agama selama tidak keluar dari ketentuan-ketentuan syar‘ī yang disepakati para pendahulu dan generasi selanjutnya. Justru beda pendapat tujuannya untuk mencari kebenaran dan membukakan pintu bagi umat manusia untuk memilih mana yang lebih unggul.
Perkembangan selanjutnya, al-Dzahabī menjelaskan bahwa masa taqlid dan fanatisme madzhab bermunculan, maka pada saat itu aktifitas para pengikut Imam hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan madzhab mereka. Masing-masing Imam Madzhab tersebut mempunyai pengikut. Sebagian dari mereka ada yang sangat fanatik dengan menatap ayat-ayat sesuai kaca mata madzhab-nya, lalu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut sesuai dengan pandangan madzhab. Meskipun, sebagian dari mereka bersifat obyektif dengan melihat ayat sesuai kaca mata qa’idah yang berdiri dari tendensi dan kepentingan madzhab.[2]
Beberapa mufassircorak fiqh yang fanatik terhadap madzhab-nya dapat dilihat dari paparan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Hal ini bisa ditemukan dari beberapa karya tafsir corak fiqh di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Penafsirannya yang semula objektif, namun kemudian terpengaruh juga oleh fanatisme madzhab, demikian pula para pengikut madzhab al-Dhāhirah dengan corak tafsir fiqih yang berdasarkan hanya kepada pengertian dhāhir ayat-ayat al-Qur’an. Sementara kaum Khawārij mempunyai Tafsir corak fiqih tersendiri bagi mereka. Begitu pula kaum Syī‘ah, mereka mempunyai tafsir corak fiqih yang jauh berbeda dengan madzhab lainnya. Masing-masing madzhab tersebut berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang fanatisme madzhab, sehingga dapat dijadikan pijakan dasar penguat, atau setidak-tidaknya bertentangan dengan madzhab-nya.[1]
Penutup
Pengetahuan yang bisa diperoleh dari sebab-sebab terjadinya perbedaan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an sangat membantu untuk lebih jauh mengetahui dan memahami pondasi dan pijakan para mufassir. Perjalanan para mufassir di awal karirnya sebelum menjadi tokoh mufassir perlu menjadi teladan bagi generasi-generasi muda muslim, khususnya bagi para sarjana Islam.
Tidak menutup kemungkinan para sarjana muslim khususnya yang fokus pada kajian tafsir dan metodelogi pasti merujuk pada pemikiran para mufassir dari zaman awwalul Islam hingga zaman modern kontemporer. Hasil pemikiran dan karyanya menjadi bahan pertimbangan ketika terjadi kejadian-kejadian baru yang masih tampak abstrak, sehingga menganalogikan permasalahan baru dengan permasalahan lama sangat dibutuhkan dan dipertimbangkan.
Banyak para mufassir yang sangat kental dengan gagasan yang dikembangkan dari madzhab yang dianut atauakidah yang diyakininya. Mereka konsisten dengan pondasi yang dibangun di atas madzhab, begitupula dengan akidah yang diyakininya, sebagai contoh adalah al-Zamhasyari dengan al-Baidhawi yang keduanya sangat mencolok dan sangat gigih pada masalah-masalah akidah yang diyakininya, walaupun yang dipermasalahkan berbicara tentang furu’iyah.
Sosial historis keduanya sangat penting dilihat dan ditelaah kembali, sebab keduanya hidup di lingkungan yang kental dengan doktrin madzhab dan firqah. Tidak bisa siapapun dalam menilai keduanya tanpa mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan al-Qur’an dari hasil penafsiran keduanya, sebab masih adanya keterikatan dengan doktrin madzhab dan firqah yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Secara umum dapat disimpulkan dari sebab-sebab perbedaan penafsiran para mufassir dilihat dari segi kepribadiannya mencakup sifat thabi’iyah (bawaan sejak lahir), akhlak (hingga sifat ‘Adalah), kecerdasan (hingga pemikiran), kuatnya hafalan, madzdhab yang dianut, firqah yang diyakini, kesenangan saat menuntut ilmu (antara senang mengkaji dengan guru dan senang membaca kitab-kitab turats) dan kontribusi dalam dunia keilmuan dan negara.
Sedangkan dilihat dari segi sosial historis atau pengaruh lingkungan mencakup: riwayat pendidikan (proses menuntut ilmu sampai menjadi tokoh mufassir), manhaj al-da’wah, memiliki pengaruh pemikiran klasik atau kontemporer dalam penafsirannya, keadaan sosial dan politik pertarungan negara.
Semoga kita semua menjadi bagian dari orang-orang yang berilmu dan beramal, khususnya dalam membaca dan memahami kitab suci al-Qur’an selanjutnya mengamalkan sebagai pribadi muslim dan mengajarkannya kepada orang lain sebagai ladang dakwah menuju muslim yang Qur’ani, sehingga sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dariyat [51]: 56)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ، إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ ، إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Baca juga: Perkembangan Metodologi Penafsiran Al-Quran Dari Masa Diturunkannya Hingga Masa Modern-Kontemporer
Referensi
Abdul Ilah Huri al-Huri, Asbabu Ikhtilafi al-Mufassirin fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Mesir: Dar al-Nasr al-Dauli, 2001.
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid, Wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, Mesir: Dar al-Fikr, 2009.
Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, vol: 2. Maktbah Syamela versi 2.
Ahmad ibn Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, Maktbah Syamela versi 2.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Lengkap Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 2005.
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’An, Mesir: Maktabah Wahbah, 2015.
Muhamad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir: Maktabah Wahbah, 1995.
Muhamad Qasim al-Syami, ‘Ulum al-Qur’an wa Manahij al-Mufassirin, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2014.
Muhammad al-Syahrstani, Al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2009.
Saud bin Abdillah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassir: Asbabuhu wa Atsaru, Riyad: Dar al-Sybiliya, 1997.
Penulis: LPQ NU Sudan
Sumber: Diolah dari kajian LPQ NU Sudan periode 2019/2020 dengan pemateri Ust. Muhammad Khoironi Hidayat pada Jum’at, 12 Juli 2019
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)