Tarekat (Arab: طريقة, transliterasi: Tharīqah) merupakan sebuah istilah yang merujuk pada aliran-aliran dalam dunia tasawuf atau sufisme Islam. Secara bahasa Tharīqah berarti “jalan” atau “metode”, dan secara konseptual bermakna “jalan kering di tengah laut” yang merujuk pada sebuah ayat dalam Alquran: “Dan sungguh, telah Kami wahyukan pada Musa, ‘Tempuhlah perjalanan di malam hari bersama para hamba-hamba-Ku, [dan] buatlah untuk mereka jalan kering di tengah laut’.” (Q.S. Thāhā [20]: 77).
Pemimpin sebuah tarekat biasa disebut sebagai Mursyīd (dari akat kata rasyada, yang artinya: penuntun). Adapun para pengikut tarekat biasa disebut sebagai Murīd (dari akar kata arāda, yang artinya: yang menginginkan), yang bermakna orang yang menginginkan untuk mendekat kepada Tuhan; atau Sālik (dari akar kata salaka, yang artinya: memasuki), yang bermakna orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju Tuhan.
Metafora tarekat sebagai “jalan” harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan istilah syariat yang juga memiliki arti “jalan”. Dalam hal ini tarekat bermakna sebagai jalan yang khusus atau individual, merupakan fase kedua dari skema umum tahapan perjalanan keagamaan: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Salah satu aliran dalam dunia tasawuf adalah Tarekat Qadiriyah.
Tarekat Qadiriyah (bahasa Arab: القادِرية) adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jailani Al-Baghdadi. Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Suriah, kemudian tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika, dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Kemudian di Makkah, Tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qadiriyah merupakan tarekat yang berkembang luas di Sudan. Selain itu, tarekat ini juga merupakan salah satu tarekat yang dikenal dengan jumlah pengikut yang hampir tersebar di seluruh pelosok Sudan. Orang yang pertama kali membawa Tarekat Qadiriyah di Sudan adalah Syekh Tajuddin al-Buhari. Tarekat ini kemudian berkembang melalui para muridnya yang hingga saat ini, terdapat delapan cabang dari Tarekat Qadiriyah yang terkenal di Sudan. Di antara delapan cabang Tarekat Qadiriyah adalah; Tarekat Qadiriyah cabang Shadqab, Yaqubab, Hasan wad Hasunah, Idris wad Arbab, Ibrahim al-Kabasyi, Ja’aliyah, Omdowamban, Mukasyifiyah, dan Arakiyah.
Tarekat Qadiriyah Arakiyah
Tarekat Qadiriyah Arakiyah adalah salah satu cabang Tarekat Qadiriyah di Sudan. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdullah Al-Araki (943 H/1547 M – 1019 H/1641 M).
Asal-usul penamaan Tarekat Qadiriyah Arakiyah terdiri atas dua kata, yaitu qadiriyah dan arakiyah. Kata qadiriyah dinisbatkan kepada pendiri Tarekat Qadiriyah yakni Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Kata al-araki dinisbahkan kepada kabilah Arakiyah, yaitu kabilah Syekh Abdullah Al-Araki, selaku pendiri Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Sudan. Kabilah Arakiyah adalah salah satu kabilah dzurriyah asyraf atau keturunan mulia, yang garis keturunannya terhubung sampai kepada Nabi Muhammad saw melalui cucunya Husain ra. Orang-orang yang berasal dari kabilah tersebut dinamakan al-Arakiyyin atau al-Araki.
Kabilah Al-Araki awalnya merupakan sebuah etnik di Afrika yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di bantaran Sungai Nil, Sudan. Kemudian, mereka menetap setelah nenek moyang mereka menikah dengan seorang asyraf atau keturunan Rasulullah saw. yang pindah ke Sudan pada 669 M/90 H. Asyraf yang pertama kali datang ke Sudan bernama Sayid Muhammad Nafi. Dia merupakan ayah dari kakek Sayid Muqbil, ayah Syekh Abdulah Al-Araki. Kedatangaan Sayid Muhammad Nafi dilatarbelakangi oleh permusuhan Dinasti Abasiyah terhadap ahlulbait di Madinah. Permusuhan itu digencarkan oleh pengikut Dinasti Umayah, kemudian dilanjutkan oleh para pengikut Dinasti Abasiyah.
Permusuhan itu menyebabkan para asyraf yang tinggal di Madinah berpindah ke berbagai tempat, salah satunya adalah Sudan. Di antara asyraf yang berpindah dari Madinah ke Sudan adalah Sayid Muhamad Nafi, yang mana ia berpindah ke Sudan bersama asyraf lainnya. Ketika tiba di Sudan, Sayid Muhamad Nafi memasuki sebuah tempat bernama Arak. Daerah itu dihuni oleh kabilah Ma’arik. Kabilah tersebut dipimpin oleh seorang raja bernama Hasan Ma’arik atau Hasan Al-Araki. Dia memiliki seorang putri bernama Sakinah, yang menjadi nenek moyang kabilah Arakiyah.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai asyraf yang menikahi Sakinah, putri Raja Hasan Ma’arik. Menurut Ahmad Hasan Zarouq, asyraf yang menikah dengan Sakinah adalah Sayid Muhammad Muqbil, anak Sayid Muhammad Nafi. Dia datang ke Sudan atas perintah Hujaj bin Yusuf Al-Tsaqafi, seorang gubernur Irak pada masa Dinasti Umayah. Pada masa kepemimpinannya, Hujaj bin Yusuf Al-Tsaqafi memerintahkan para cendekiawan muslim untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah. Salah satu cendekiawan tersebut adalah Sayid Muhammad Muqbil, yang diperintah untuk menyebarkan agama Islam ke Sudan. Setibanya di Sudan, ia singgah di sebuah desa bernama Bir Sarar atau Abar Asrar, yang terletak di kota Barah atau Kordofan Utara, yang mana kota ini terletak 320 km di bagian selatan Khartoum. Desa Bir Sarar atau Abar Asrar dihuni oleh sebuah kabilah bernama Arakiyah, yang dipimpin oleh Hasan Al-Araki.
Sementara Abu Idris Abd Rahman menyatakan bahwa asyraf yang menikah dengan putri Raja Hasan Ma’arik, adalah Syekh Muhammad Nafi. Namun, para ahli telah sepakat bahwa asyraf yang menikah dengan putri raja Hasan Al-Araki adalah Syekh Muhammad Muqbil.
Pernikahan Sakinah dan Syekh Muhammad Muqbil melahirkan ulama dan cendekiawan yang meneruskan perjuangan dakwah Islam di penjuru Sudan. Salah satu ulama serta cendekiawan tersebut adalah Syekh Daf’ullah Al-Araki, yang merupakan ayah dari Syekh Abdullah Al-Araki. Kemudian pada 1514 M, Syekh Muhammad Muqbil wafat dan dimakamkan di Desa Abar Sarar atau Bir Sarar.
Setelah Sayid Muqbil wafat, anaknya yang bernama Sayid Daf’ullah Al-Araki melanjutkan dakwah ayahnya selama tujuh tahun di Sudan. Pada masa pemerintahan Kerajaan Funj, tepatnya pada 1521 M, terjadi krisis air di Desa Abar Sarar atau Bir Sarar. Kemudian, Syekh Daf’ullah Al-Araki serta para pengikutnya bermigrasi ke Desa Abyad Dairi, yang terletak di utara Kota Bahri.
Di desa ini, Syekh Daf’ullah Al-Araki menetap dan tinggal bersama penduduk asli desa itu yang bersuku Jamiab. Setelah itu, Syekh Daf’ullah Al-Araki menikah dengan seorang gadis dari suku Jamiab yang bernama Hadiyah binti Athif. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima anak, yang masing-masing bernama; Abdullah Al-Araki, Hamad An-Nil, Abu Idris, Abu Bakar, dan Umar Al-Majdzub.
Salah satu di antara kelima anak tersebut, yang bernama Syekh Abdullah Al-Araki, merupakan penyebar ajaran tarekat Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dari kabilah Arakiyah. Dengan demikian, Syekh Abdullah Al-Araki menamakan ajaran tarekat yang dibawa olehnya dengan nama Tarekat Qadiriyah Arakiyah.
Sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Sudan yang didirikan oleh Syekh Abdullah Al-Araki pada 1007 H/1599 M, setelah berbaiat secara langsung kepada Sayid Habibullah Al-Ajami, khalifah Tarekat Qadiriyah di Madinah, yang menggantikan Syekh Tajudin Al-Buhari. Sekembalinya dari Madinah, Syekh Abdullah Al-Araki kemudian menyebarkan ajaran tasawuf dan Tarekat Qadiriyah di Abu Haraz, Sudan. Setelah mengetahui kemuliaan Syekh Abdullah, masyarakat berbondong-bondong datang ke Abu Haraz untuk mendalami ajaran, berbaiat, dan menerima wejangan Tarekat Qadiriyah Arakiyah dari Syekh Abdullah al-Araki.
Syekh Abdullah Al-Araki lahir pada abad ke-10, tepatnya tahun 923 H dan meninggal tahun 1019 H. Silsilah keilmuan mayoritas pengamal tarekat qadiriyah di Sudan, selalu tersambung kepada Syekh AbdullahAal-Araki, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yakni melalui Syekh Abdullah Al-Araki, sementara secara tidak langsung yakni melalui para khalifah setelah Syekh Abdullah Al-Araki seperti, Syekh Daf’ullah bin Muhammad Al-Mushawbin (keponakan), yang memiliki derajat tinggi dan masih dihormati oleh masyarakat sufi di Sudan sampai saat ini.
Di Indonesia, Tarekat Qadiriyah Arakiyah dibawa oleh salah satu khalifah Syekh Abdullah yakni Syekh Hilmi Al-Araki As-Shidiqi Al-Araki, yang saat ini tinggal di Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Indonesia. Adapun sanad keilmuan Syekh Hilmi Al-Araki di dalam Tarekat Qadiriyah Arakiyah adalah sebagai berikut;
1. | Rasulullah Muhammad saw. | 24. | Sayyid Alaudin |
2. | Sayid Ali bin Abi Thalib ra. | 25. | Sayyid Kamaludin |
3. | Sayid Husein bin Ali ra. | 26. | Sayyid Jalaludin |
4. | Ali Zainal Abidin | 27. | Sayyid Ashgar |
5. | Imam Muhammad Al-Baqir | 28. | Sayyid Akbar |
6. | Imam Ja’far Ash-Shadiq | 29. | Sayyid Akmal |
7. | Imam Musa Al-Kadzhim | 30. | Ahmad Nurullah Marqadah |
8. | Imam Ali Ar-Rida | 31. | Muhammad Din |
9. | Sulaiman bin Dawud bin Nushair Ath-Thai Al-Kufi | 32. | Tajudin Muhammad Al-Bahari |
10. | Ma’ruf Al-Kurkh | 33. | Syekh Habibullah Al-Ajami |
11. | Syekh Sirri As-Siqthi | 34. | Syekh Abdullah Al-Araki |
12. | Syekh Al -Junaid Al-Baghdadi | 35. | Syekh Abu Idris |
13. | Abu Bakar Asy-Syibli | 36. | Syekh Daf’ullah Al-Arakiy |
14. | Abdul Aziz Al-Yamani | 37. | Syekh Muhammad Walad Ath-Tharbafiy |
15. | Abdul Wahid At-Tamimi | 38. | Syekh Yusuf Abu Syara |
16. | Ali bin Muhammad bin Yusuf Al-Qurasyi Al-Hakari | 39. | Syekh Muhammad Zahid |
17. | Yusuf Ath-Thusi | 40. | Syekh Ahmad Rayah |
18. | Abu Said Ali Al-Makhzumi | 41. | Syekh Hamd Nil |
19. | Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ra | 42. | Syekh Abdul Baqi |
20. | Sayyid Abdurrazaq | 43. | Syekh Ahmad Rayah |
21. | Sayyid Muhammad Al-Badri | 44. | Syekh Abu Aqilah bin Ahmad Rayah |
22. | Sayyid Ahmad Al-Murji | 45. | Syekh Abdullah bin Ahmad Rayah |
23. | Sayyid Muhammad Al-Musaid | 46. | Syekh Hilmi Ash-Shiddiqi Al-Araky |
Dari data di atas, Syekh Hilmi Al-Araki menempati urutan ke-46 dalam sanad keilmuan Tarekat Qadiriyah Arakiyah.
Setelah tiga tahun kepulangannya ke Indonesia, Syekh Hilmi al-Araki menikah. Tepatnya pada 18 Oktober 2009 di usianya yang ke-29 tahun. Istrinya bernama Hj. Wafa Ahmad Thaha, yang mana beliau dan istrinya masih memiliki hubungan saudara. Nenek Syekh Hilmi Al-Araki dan kakek istrinya merupakan kakak beradik. Lalu, dari pernikahan tersebut dikaruniai seorang putri bernama Hilwah Kalifa Azaldia.
Sumber pustaka:
# Wawancara dengan Syekh Hilmi Al-Araki melalui Whattsaps
# Skripsi Nur Istiqomah (Tarekat Qadiriyah Arakiyah di pesantren Al-Hikmah Depok)
Penulis : Ahmad Farhan
Baca juga : Syekh Sholeh Al Ja’fari, Wali Besar Al Azhar dari Sudan
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response
Izin koreksi Sidi, untuk sanad nomer 3 seharusnya Sayyid Husain r.a. 🙂