Sektarianisme dalam Sejarah Islam

Abstrak: Sejarah akan sangat menarik sekali dalam sebagian manusia. Hal ini jelas dilihat dari antusias sebagian manusia yang ingin menggali setiap dinamika yang terjadi pada masa lalu dari komunitas atau sekte-sekte. Dalam pembahasan kali ini penulis mengajak untuk memahami lebih mendalam terkait dari sektarianisme dalam sejarah Islam. Pentingnya kita mengetahui aliran-aliran dalam Islam baik dari kemunculannya sampai perkembangannya. Hal ini juga dimaksudkan sebagai bahan refleksi dan edukasi supaya tidak terjadi lagi sejarah berdarah di masa sekarang dengan sebab butanya sejarah di masa silam akan suatu aliran-aliran. Pembahasan kali ini akan memuat beberapa pembahasan diantaranya, sektarianisme dan Timur Tengah, Sejarah Sektarianisme dalam Islam, Akar Sektarianisme Berlapis di Timur Tengah, dan Macam-Macam Sektarianisme dalam Islam. Pembahasan kali ini menggunakan pendekatan historis bukan karena kesesuaian dengan mata kuliah yang berupa sejarah, karena dalam hal ini akan membahas awal dan perkembangannya secara dinamis dan efisiensi. Hal ini dimaksudkan supaya pembahasan tidak melebar ke dalam budaya atau realitas sosial yang mendalam dan detail dari setiap aliran atau sekte-sekte tersebut. Kemudian dalam pembahasan kali ini menggunakan penelitian kepustakaan, dimana mengumpulkan data dalam suatu bangunan makalah ini menggunakan literatur-literatur yang relevan dengan bahasan sektarianisme dalam sejarah Islam.

Kata Kunci: Sektarianisme, Aliran Teologi Islam, Sejarah Peradaban Islam.

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Dalam setiap kelompok masyarakat yang beragama tentu akan mengalami banyak perkembangan pemikiran yang menyebabkan banyaknya aliran-aliran di dalamnya. Hal ini tidak terkecuali dengan agam Islam yang juga memiliki banyak aliran di dalamnya. Aliran tersebut terkadang muncul dalam suatu zaman secara bersamaan. Namun, ada juga aliran atau sekte tersebut muncul berbeda masa. Perkembangan suatu pemikiran terjadi bisa dikarenakan faktor ketidakpuasan dalam posisi tertentu. hal ini juga seringkali dari perbedaan penafsiran dan hubungannya dengan realitas sosial yang dirasa kurang begitu melindungi terhadap apa yng dikarjakan oleh sebagian kelompok. Pemikiran Islam yang berkembang tentu tidak hanya diimani oleh sebagian kalangan saja, namun juga ada yang menentangnya. Reaksi penentangan tersebut terkadang berlaku dalam suatu masa atau berbeda masa. Bisa jadi dalam suatu masa tersebut pemikiran berkembang karena ada keserasian dengan para dinasti yang berkuasa kala itu. Pertumbuhan pemikiran mengenai agama dan manuver politiklah yang nantinya menyebabkan munculnya dan mengakarnya suatu aliran atau sekte-sekte dalam masyarakat.

Politik salah satu faktor utama yang berada dalam setiap kejadian peristiwa.[1] Begitupun dalam perpecahan yang terjadi karena berbeda pandangan atau pemikiran masyarakat terhadap Islam. hal ini sebenarnya sudah terjadi pasca Rasulullah saw wafat. Bahkan sebelum dimakamkannya jasad beliau terdapat perdebatan yang sangat sengit sekali antara kaum muhajirin dan kaum anshor kala itu. Masing-masing dari mereka ingin mengangkat menjadi pemimpin negara pengganti Rasulullah saw. Dalam hal ini terjadi perpecahan antara masyarakat yang meyakini bahwa Rasulullah telah meninggalkan pesan wasiat atau isyarat mengenai kepemimpinan selanjutnya dan kelompok yang meyakini bahwa Rasulullah tidak pernah meninggalkan wasiat apapun terkait kepemimpinan. Kelompok pertama dan kelompok kedua sangat bersikeras terhadapa apa yang mereka yakini disaat Rasulullah telah wafat. Kelompok pertama cenderung kepada sistem pemilihan kekeluargaan yang hanya melibatkan suara pemimpin kaum atau suku saja. Namun untuk kelompok kedua lebih kepada demokrasi besar-besaran yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ketika diamati lebih mendalam kelompok pertama hanya berlandaskan pada isyarah Nabi kepada Ali bin Abi Tahalib sebagai penggantinya, sehingga mereka meyakini bahwa itu merupakan perintah dari Allah Swt dan Nabi Muhammad saw.[2]

Dengan adanya gambaran sekelumit terkait peristiwa kepemimpinan dimasa silam, bisa memberikan pengertian bahwa terjadinya perpecahan yang kemudian melahirkan sekte-sekte disebabkan perbedaan pandangan yang juga dipengaruhi oleh faktor politik kekuasaan. Pada saat Nabi Muhammad saw wafat saja sudah terjadi perpecahan apalagi di masa selanjutnya yang jelas sudah jauh sekali peradabannya, tentu akan terjadi banyak sekali pertikaian yang berujung melahirkan sekte-sekte atau aliran teologi dalam Islam. Aliran teologi dalam Islam sebenarnya bukan semata-mata berasal dari pengaruh faham yang berbeda akan teks Al-Qur’an dan As-Sunah saja, tetapi lebih dominan condong ke arah politik praktis. Hal ini bisa diketahui dari sebagian aliran yang tidak sepakat dengan keputusan yang diambil oleh pemimpin yang dijunjungnya. Aliran teologi dalam Islam mewarnai setiap daerah dengan segala macama keberagamannya.

  • RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana percaturan politik sektarianisme dan Timur Tengah?
  2. Bagaimana sejarah sektarianisme dalam Islam?
  3. Bagaimanaakar sektarianisme berlapis di Timur Tengah?
  4. Bagaimana macam-macam sektarianisme dalam Islam?
  5. Bagaimana metodologi penelitian penulisan sektarianisme pada sejarah Islam?
  • TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahuisektaranisme dan Timur Tengah
  2. Untuk mengetahui sejarah sektarianisme dalam Islam.
  3. Untuk mengetahui akar sektarianisme berlapis di Timur Tengah.
  4. Untuk mengetahui macam-macam sektarianisme dalam Islam.
  5. Untuk mengetahui metodologi penelitian penulisan sektarianisme pada sejarah Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Percaturan Politik Sektarianisme dan Timur Tengah

Kumpulan suatu kelompok tertentu dalam pemahaman tertentu secara bahasa dinamakan sebagai sekte atau firkah. Namun lebih jauh dari itu jika dilihat secara istilah adalah suatu kelompok masyarakata dalam pemahaman yang sama mengenai agama dan berbeda dengan pemahaman yang lain pada umumnya yang berdasarkan pada pandangan afama tersebut, maka suatu kelompok tersebut dikatakan sebagai mazhab atau firkah. Secara sederhananya sektarianisme suatu kelompok masyarakat yang sangat membela, mempercayai dan mengedepankan pandangan yang diarahkan oleh pandangan kelompoknya dimana pandangan tersebut dengan pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh penganut agama pada umumnya. Pengertian selanjutnya dari sektarianisme sendiri secara eksplisit adalah suatu aliran yang hanya berdasarkan emosional, fanatik buta, tidak memiliki suatu pandangan yang luas akan menerima suatu perbedaan, antikomunikasi, tidak adanya nalar logis di dalamnya dan antidiskusi keagamaan. Dalam realitas sosial sebenarnya istilah sectarian ini diarahkan ke dalam suatu konflik yang terjadi di Timur Tengah atau Middle East. Hal itu disebabkan dengan banyaknya konflik yang terjadi sebab adanya perbedaan dalam memahami apa yang dimaksudkan oleh agama dan juga perbedaan dalam menilai suatu arahan dari agama tersebut.

Perkembangan agama samawi dan sekte-sekte yang primitif sangat banyak sekali berkembang dalam wilayah Timur Tengah atau Middle East. Bahkan di dalam wilayah tersebut memiliki suatu pengaruh kuat dn besar terhadap wilayah yang ada disekitarnya. Namun pembahasan kali ini bukan terkait dalam suatu sekte atau aliran primitif, namun lebih fokus dalam dimensi skete-sekte Islam. Polemik dan konflik yang berkepanjangan selalu menghiasi wilayah Middle East dikarenakan adanya pengaruh dari aliran keagamaan yang begitu kuat dan ditambah lagi Middle East merupakan suatu wilayah lahiranya beragam agama atau disebut sebagai rahim. Ketika menelusuri konflik yang ada pasti dalam pembahasan kali ini akan bersinggungan dengan berbagai macam sekte yang ada dalam Islam. Bahkan topik tranding di dunia yang ada pada abad ke 19 M sampai saat ini abad ke 20 M berupa kajian terahdap konflik di Timur Tengah yang berasal dari perbedaan mazhab atau sekte.[3]

Pesta demokrasi dalam tataran negara di sebagian dunia belum bisa memberikan suatu keterbukaan dalam wilayah Timur Tengah yang sangat kental dalam sektariannya. Justru dengan adanya sistem demokrasi mencuatnya kembali isu hangat dalam sekte-sekte yang memicu konflik di berbagai negara Timur Tengah. Masa perubahan dari negara kerajaan ke dalam negara sistem demokrasi yang memicu konflik tersebut. Hal ini diawali dengan peristiwa Arab Spring yang terjadi di sebagian besar negara Timur Tengah. Beragam peristiwa kudeta dan anti pemerintah terjadi bukan hanya di Tunisia saja. Namun hal itu juga berdampak ke berbagai negara sekitarnya seperti Bahrain, Irak, Mesir dan Yaman. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2010 di Tunisia dengan adanya pembakaran diri oleh Mohammad Bouazizi dengan puncaknya berupa revolusi di negara tersebut. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa segala macam konflik baik yang terjadi di Iran dan juga negara-negara yang lain sebenarnya tidak murni berasal dari perbedaan pemahaman keagamaan saja. Namun bisa lebih condong ke dalam arah politik kekuasaan. Hal inilaha yang mencedrai suatu nila-nilai keagamaan yang lazim difahami oleh penganut agama tersebut.[4]

  • Sejarah Sektarianisme Dalam Islam

Dalam Islam semenjaka zaman Nabi saw sangat kuat sekali sisi keagamaannya terutama dalam bidang politik. Tak pelak hal ini juga mendarat dalam sejumlah masalah setelah Rasulullah saw wafat. Pasalnya Rasulullah tidak memberikan informasi dalam masalah kepemimpinan pasca beliau sudah wafat nantinya. Sebagian sebagian kelompok ada yang beranggapan bahwa pemilihan pemimpin langsung kepada rakyat. Sebagian yang lain ada yang menunjuk Ali sebagai pemimpin karena termasuk dari keluarga Nabi saw. Sebagian lain ada yang sepakat Abu Bakar penggantinya dengan alasan karena Abu Bakar telah ditunjuk sebagai imam shalat menggantikan Nabi yang kala itu sudah tak lagi sehat.

Pemilihanpun kepemimpinan berlangsung dengan musyawarah para tokoh dari setiap golongan Anshar dan Muhajirin. Kemudian disetujui dan ditetapkanlah Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad saw dalam kepemimpinan umat Islam dan kepala Negara saat itu. Namun dalam kepemimpinan pasca Abu Bakar disini ada perbedaan dalam pemilihan dan penetapan kepemimpinan. Seperti kepemimpinan Umar bin Khattab yang disetujui dengan proses penunjukan dari pemimpin sebelumnya. Kemudian Ustman bin Affan tidak dengan menggunakan proses penunjukan tetapi menggunakan proses persetujuan dari lemabaga masyarakat yang ada kala itu. Sedangkan untuk khalifah keempat atau terakhir yaitu kepada Ali Bin Abi Thalib dengan adanya suatu pertemuan dan persetujuan dalam suatu forum terbuka.[5]

Sedangkan dalam kasus sektarianisme sendiri sebenarnya bermula pada acara tahkim atau arbitrase dalam perang Shiffin yang terjadi saat itu. Hal ini yang mengakibatkan fanatisme dan kekerasan sebab ketidakpuasan salah satu pihak dari keduanya dari kubu Ali bin Abi thalib dan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan. Nahasnya pada waktu itu mereka menggugat segala macam terkait dari kebijakan dalam kepemimpinan Ali bin Abi Thalib kala itu. Termasuk yang menggugatnya secara jelas dan memiliki kekuatan yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan yang tengah menjabat sebagai gubernur Syam kala itu. Mereka melakukan pemberontakan dengan adanya inisiasi dari Gubernur Syam tersebut.[6]

Pada waktu itu Ali bin Abi Thalib mencoba untuk negosiasi dengan mencari solusi atau win win solution dengan Muawiyah bin Abi sufyan. Muawiyah bin Abi Sufyan terus bersikeras dengan Ali. Ali sebenarnya tidak ingin terjadi pertumpahan darah dalam umat Islam. Sehingga bilaman hal itu terjadi akan merusak citra dari agam Islam sendiri dalam sepanjang sejarah. Ali masih terus berusaha dan mencoba agar kemufakatan didapat tanpa melibatkan potensi kerusakan dalam umat dengan menwarkansejumlah syarat dan opsi untu Muawiyah bin Abi Sufyan. Namun apalah daya usaha Ali bin Abi Thalib sungguh tidak dihargai oleh Muawiyah yang kal itu menjabat sebagai gubernur Syam, sehingga perangpun tak dapat dihindari dan pertumpahan darah tentu saj terjadi. Pada sat perang berlangsung dengan sengitnya, pasukan Muawiyah kala itu sebenarnya sudah terdesak dan terpojokkan, namun sebagai tangan kanan dalam perang yaitu Amr bi Al-Ash memberikan aba-aba kepada pasukannya agar mengangkat Al-Qur’an dengan ujung tombaknya. Lantas para Qurra’ dari kalangan Ali pada saat itu yang tengah melihat melapor kepada Ali agar melakukan genjatan senjata dan menghentikan peperangan. Padahal kala itu sudah tinggal selangkah lagi hampir ditaklukkan oleh Ali bin Abi Thalib yaitu pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Pada saat perang Shiffin tersebut berhasil reda, mereka melakuak proses tahkim atau arbitrase. Dalam proses arbitrase ini terdapat dua model. Pertama, salah satu dari kedua kubu mengusung nama sebagai arbiter. Tugas arbiter guna menyelesaikan persoalan antara kedua kubu yang sedang berseteru. Kedua, arbiter dapat dilakukan dengan beberapa orang dalam suatu kasus. Dalam posisi seperti ini arbitrase yang dipakai adalah pola kedua. Diamana dalam pola kedua ini masing-masing dari kubu yang berseteru mengirimkan delegasinya guna bermusyawarah dalam suatu tempat tertutup dari umum guna menyelesaikan persoalan yang ada dan menemukan solusi yang tepat dan bermartabat.[7]

Adanya proses arbitrase tersebut masing masing diwakili oleh tangan kanannya. Dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Al-Ash, sedangkan dari bagian Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Dalam peristiwa ini terdapat suatu siasat licik dari kalangan Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka melakukan suatu sistem asrbitrase yang akan menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lian tanpa solusi tengah. Dalam persitiwa arbitrase yang dilakukan kedua pihak yang diwakili sepakat untuk menjatuhkan pemimpin masing-masing. Namun dalam arbitrase tersebut pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asyari maju lebih dulu dan untuk selanjutnya menjatuhkan kedua belah pihak pemimpin tersebut. Ketika tiba waktu dari kalangan Muawiyah yang diwakili oleh Amr bin Al-Ash hanya menjatuhkan pihak Ali saja tanpa menjatuhkan Muawiyah. Dalam penetapan Muawiyah sebagai pemimpin negara, Ali sangat menetang dan tidak mau melepaskan jabatannya sebagai kepala negara kepada Muawiyah. Dengan demikian pemerintah hanya diakuisisi oleh kubu Muawiyah saja tanpa diakui oleh semua golongan atau umat muslim yang ada pada saat itu. Sehingga proses arbitrase tersebut dimenangkan oleh Muawiyah dan naik secar sepihak. Dalam peristiwa bersejarah inilah munculnya tiga golongan pertama yaitu Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Khawarij merupakan golongan yang sebelumnya berafiliasi dengan Ali namun pada akhirnya harus keluar dari barisan dengan sebab Ali menyetujui arbitrase yang itu jelas bukan penetapan hukum yang sesuai dengan yang Allah turunkan di muka bumi. Sedangkan Syi’ah masih setia dalam barisan Ali dan sangat menolak dalam keputusan Arbitrase yang dianggapnya telah ada kecurangan. Untuk aliran Mur’jiah sendiri sebenarnya sangat menghargai bagaimanapun keputusan dalam proses tersebut, termasuk menyetuji pemerintah yang baru yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka termasuk kalangan tengah dan tak mau ikut campur dengan yang ada antara Syi’ah dan Khawarij. Mereka menyerahkan segala akibat atas perbuatan di dunia ke dalam akhirat nantinya. Dengan demikian api permusuhan yang tak kunjung padam terjadi sampai masa saat ini. Namun sekarang yang masyhur di Timur Tengah ada tiga, Sunni, Khawarij dan Syi’ah.[8]

Pergulatan politik kekuasaan ini sangat sengit sekali dalam fenomena kepemimpinan atau kepala negara. Dalam hal ini Syi’ah sangat keras sekali menolak kepemimpinan dari tiga khalifah yang pertama. Mereka beranggapan bahwa ketiga khalifah tersebut tidak layak menjadi pemimpin atau kepala negara. Ali saja mengakui kepemimpinan Abu Bakar pasca Fathimah wafat. Kala itu Fathimah tidak melakukan bai’at kepada Abu Bakar dan wafat dalam keadaan tidak berbai’at terhadap Abu Bakar.[9]

Dalam kalangan Sunni yang sangat memiliki karakteristik berbeda dari keduanya, tentu sangat menghargai segala macam keputusan yang dilakukan secara musyawarah dan mendapat hasil kemufakatan. Dalam aliran Sunni antara doktrin agama dan sistem kepemerintahan tidak terdapat suatu pemisah. Mereka meyakini dalam menjalankan sistem negara baik yang berasaskan demokrasi atau kerajaan tentu harus relevan dengan maqashid Syari’ah sebgaia bentuk implementasi pergerakan Islam dalam peradaban dunia. Dalam hal ini mereka meyakini dan mengamini segala macam keputusan pemerintah selama tidak berbenturan dengan nilai-nilai Syari’at dan menyalahi norm sekitar yang relevan dengan Islam. Suatu kewajiban untuk mematuhi pemerintah bilamana segala aturannya sudah banyak yang sesuai dengan aturan Islam meskipun ada satu atau dua hal yang tidak bisa diadopsi ketika dihadapkan dalam realita sosial yang sangat majemuk dari beragam agama.[10]

Sebenarnya awal mula dalam dunia sektarian berasal dari politik kekuasaan semata. Namun hal ini terus berkembang menjadi suatu kurikulum dalam suatu kerajaan atau dinasti yang berkuasa di setiap zamannya. Untuk selanjutnya ketika sudah memasuki masa saat ini menjadi proses penilaian penetapan keislaman seseorang, sehingga hal ini bukanlah masuk wilayah politik namun sudah menyentuh dalam ranah aqidah, budaya, dan kepercayaan. Kedua aliran di atas dengan mudahnya menuduh seseorang yang beragama Islam dengan sebutan kafir hanya dengan sebab berbeda pemahaman dalam masalah penafsiran beberapa teks-teks suci agama Islam.[11]

  • Akar Sektarianisme Berlapis di Timur Tengah

Beragam bentuk sekte yang terjadi pada masa saat ini dalam dunia Islam khususnya di Timur Tengah sebenarnya bukan persoalan yang baru. Melainkan ini merupakan perkembangan dari persoalan-persoalan sebelumnya. Memang secara sosiohistoris negara-negara yang ada di Timur Tengah saat ini sangat kental sekali dengan sektariannya. Hal ini dipicu dari adanya budaya dan politik yang selalu berkembang pesat dan dinamis di setiap masanya. Perkembangan yang sangat signifikan dan berlapis bukan hanya dimulai pada masa saat ini, melainkan dimulai sejak kristenisasi yang berseberangan dengan yudaisme.hal ini disebabkan ketidakserasian antara ajaran yang dibawa oleh Yesus dengan ajaran yang terdapat dalam agama Yahudi. Persoalan perbedaan pemikiran dalam agama Yahudi sendiri bukan tidak terjadi secara nampak, hal ini terbukti dengan adanya dua kubu dalam Yahudi sendiri seperti kubu reformis dan kubu ortodoks. Pengalaman yang sama juga terjadi dalam agama Nasrani atau Kristen. Dalam Kristen juga terjadi perpecahan sepanjang lima abad tepatnya pada abad ke 12 M sampai abad ke 17 M. pada saat itu gereja ketika adanya reformasi telah melahirkan aliran Kristen Protestan. Konflik yang berkepanjangan dalam perang salib yang terjadi Sembilan kali pada abad 10 M sampai abad 13 M yang berasal dari adanya perebutan kekuasaan dalam wilayah suci  dan wilayah negara Islam. Masih dalam persoalan yang sama yaitu konflik antara umat Kristiani dan umat Islam, yang terjadi rentang waktu yang cukup lama sekitar 7 abad dimulai dari abad ke 7 M sampai abad ke 14 M di semenanjung Iberia. Peristiwa penaklukan kembali dari kalangan umat Kristiani ini disebut Reconquista. Dalam peristiwa ini para umat Kristen dengan menyatunya dengan gereja Katolik untuk mengambil alih kembali dengan inkuisisi terhadap umat Islam dan umat Yahudi pada tahun 1492 M.[12]

 Dalam Islam terjadi perpecahan yang lebih puncak ketika persng Shiffin. Pada saat itu muncullah Khawarij pada masa Sahabat. Perang tersebut adalah bentuk perseteruan dua kubu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Dengan adanya Arbitrase atau Tahkim terhadap keduanya barulah memunculkan solusi dan membuat sebagian kelompok Ali bin Abi Tholib tidak menerimanya dan keluar menjadi Khawarij. Sebagian masyarakat yang lain yang masih setia kepada Ali bin Abi Tholib mereka dikatakan sebagai Syi’ah. Untuk yang berlaku dalam kalangan Muawiyah dinamakan sebagai Sunni. Dengan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah menjadikan umat Islam bermusuhan satu sama lain dan bahkan bisa berimbas dalam pertumpahan darah. Mereka untuk selanjutnya akan melahirkan lagi berbagai macam aliran atau sectarian dalam Islam seperti Jabariyah dan Qadariyyah. Kemudian ada Muktazilah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dan Wahhabiyah. Pada masa saat ini efek konflik keras yang terjadi pada 13 abad silam mengantarkan kepada jurang aliran ekstrimisme dan radikalisme seperti Al-Qaeda dan ISIS.[13]

Sektarianisme antara Sunni dan Syi’ah makin menguat dan melekat pasca perang Shiffin. Sebenarnya jika diulas lebih lanjut kubu Sunni dan kubu Syi’ah itu berasal pada saat pemilihan pemimpin sebagai pengganti Nabi Muhammad saw yang telah wafat. Sebagian masyarakata ada yang menginginkan Abu Bakar dan sebagian lain ada juga yang ingin mengangkat Ali bin Abi Tholib yang pada saat itu. Kubu yang menyetujui Abu Bakar disebut Sunni dan yang leboih mengunggulkan Ali disebut Syi’ah. Konflik Sunni dan Syi’ah sampai saat ini masih menyala dan tak kunjung reda. Terutama pemahaman dan pemikiran Syi’ah mulai berkembang lagi di daerah Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomaeni dengan adanya revolusi Islam Iran pada tahun 1979 M tepatnya. Percaturan politik dan pemikiran sectarian dalam Islam antara Sunni dengan Syi’ah mendominasi di Timur Tengah.[14]

Revolusi Islam Iran salah satu bukti bentuk Islam politis praktis. Tentu dengan adanya revolusi Islam Iran tersebut berdampak dalam skala sosial nasional di Iran maupun dunia Internasional seperti di negara Timur Tengah lainnya. Bahkan hal tersebut bisa dikatakan suatu peristiwa palling bersejarah dalam pemberontakan masyarakat terbesar di dunia pada saat itu. Dampak yang dihasilkan dari adanya revolusi Islam Iran besar-besaran dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya di masyarakat Timur Tengah pada khususnya dan terhadap negara dibelahan dunia lain umumnya. Tentu dunia akan menamai hal tersebut sebagai bentuk politisasi dalam suatu agama, yang kemudian memberikan dampak yang buruk dipandangan dunia.[15]

Dalam dunia Islam di Timur Tengah seperti negara-negara yang juga banyak terdapat masyarakat yang beraliran Syi’ah seperti Qatar, Kuwait, Lebanon, Bahrain dan Irak sangat berpengaruh sekali dalam stabilitas suatu negara. Dengan adanya pemberontakan atau revolusi Islam Iran tersebut tentu memunculkan ragam aliran ekstrimis dan fundamentalis di setiap negara-negara Islam di Timur Tengah.[16] Pengaruh Islam Syi’ah sangatlah besar dan hal tersebut tentu tidak bisa dianggap hal kecil atau remeh. Karena dapat mengancam dalam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara tak terkecuali negara yang berfahamkan ideologi demokrasi.

  • Macam-Macam Sektarianisme Dalam Islam

Sektarianisme sebagai sebuah causes dari politik kekuasaan dengan dalih agama dan visi misi agama, tentu banyak sekali macam mazhab atau firkah yang ada di dalamnya. Dalam Islam berabagai sekte teologi dan selalu mengitari setiap zamannya diantaranya adalah Syi’ah, Muktazilah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah dan masih banyak lagi lainnya yang tidak bisa untuk disebutkan satu persatu dari pecahannya dalam setiap wilayah Timur Tengah.

  1. Khawarij

Akar kata dari Khawarij adalah bentuk Jama’ dari asal kata Isim Fa’il yaitu Kharij. Kemudian ada tambahan ya’ nisbah menjadi Kharijiy. Sedangkan dalam suatu istilah penyebutan ini diperguinakan dalam sekelompok masyarakat yang menentang adanya arbitrase di perang Shiffin yang diadakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (keluar dari Imam).[17] Kelompok ini sering menamakan dirinya dengan orang yang hanya mendermakan dirinya untuk Allah Swt, bukan untuk makhluk dengan segala aturan yang tidak mengikuti aturan-Nya. Mereka berasumsi bahwa hanya merekalah yang mendapatkan suatu rahmat dan ridha dari Allah Swt. Namun istilah lain selain Syurah adalah Haruriyah. Diambil dari suatu tempat yang teradapat bersebelahan dengan kota Kufah yaitu kota Raqqah. Masyarakat dari golongan Khawarij yang ada disana pada saat itu ketika tidak menyetujui proses Tahkim atau Arbitrase sekitar 12.000 orang banyaknya.

Semua orang yang ada dalam barisan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dianggapnya sebagai orang kafir. Mereka memandang dosa yang telah dilakukan oleh pihak keduanya sebuah dosa besar yang wajib ada dalam neraka dan halal setiap tetes darahnya. Mereka beranggapan bahwa hanya merekalah yang sesuai terhadapa semua nilai-nilai yang ada dalam syari’at Islam sedang yang lain tidak.[18] Tidak bisa dipungkiri bersama bahwa aliran atau sekte khawarij ini bisa dikategorikan sebagai aliran atau firkah tertua dalam sejarah Islam pasca arbitrase. Mereka juga tak segan untuk menghukumi kafir tarhadap gubernur Amr bin Ash dan juga seperti tokoh sahabt kenamaan yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Mereka hanya berdalih dengan potongan ayat yang berarti: Barangsiapa yang menggunakan hokum yang tidak sesuai dengan hokum Allah maka mereka itu termasuk golongan kafir.

Tentu setiap golongan atau firkah akan berusaha sekuat tenaga dalam meyakini, memahami serta membela habis-habisan apa yang terdapat dalam kelompoknya. Hal ini juga terjadi dalam kalangan khawarij yang juga mempersiapkan segala macam dalih guna melancarkan ideologi dan menguatkan alirannya daripada serangan golongan luar khawarij. Sebenarnya jika dilihat dari dalam lagi, banyak dari kalangan mereka yang sangat suka membenci dan menghina para keluarga Nabi. Hal ini justru menunjukkan kebodohan dan kebohongan yang mereka lakukan tanpa sadar. Sekte Khawarij umumnya berasal dari masyarakat badawi atau primitif pedalaman yang sama sekali jarang tersentuh peradaban dan tsaqafah madani. Ini yang menyebabkan suatu kemunduran dalam diri mereka sebab tidak adanya komunikasi satu sama lain dan terkesan arogan. Mereka hanya berlandaskan dalam formal teks bukan ideal dan kontekstual teks. Mereka bisa disebut juga sebagai kaum Dhahiriy.

  • Syi’ah

Begitupun dengan Syi’ah memiliki akar kata yaitu Sya’a. Dalam kamus bahasa Arab berarti menemani, condong, mengikuti dan masih banyak lagi arti lainnya secara etimologi. Lebih penting dari hal itu adalah penyebutan dan penyematan Syi’ah hanya berada dalam suatu barisan komando pendukung Ali bin Abi Thalib saja. Mereka senantiasa mengagungkan Ali saja daripada segenap jajaran sahabat Nabi yang lain. Terlebih mereka juga tidak mengakui keabsahan dari khalifah-khalifah sebelum Ali seperti Abu Bakar As-Siddiq dan yang lainnya.[19] Bahkan Nabipun juga menamai orang yang menyukai dan pengikut Ali sebagai Syi’ah. Sebenarnya ada dalam suatu kitab yang berjudul Al-Dur Al-Mantsur  karya tafsir monumental dari Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Beliau menyebutkan bahwa riwayat ini dari Ibnu Asakir yang bersumber dari Jabir bin Abdullah, Jabir bin Abdullah berkata: bahwa pada sat itu merek sedang berkumpul bersama Nabi Muhammad saw. Dalam perkumpulan tersebut datanglah Ali bin Abi Thalib seraya Nabi bersabda: “Demi jiwaku yang berada dalam genggamannya, sesungguhnya Ali dan para pengikutnya merupakan orang yang akan menang di hari kiamat”. Kemudian Imam Suyuti kembali mengulas satu riwatar dari Ibn Abbas, Ibn Abbas berkata: Ketika turun Ayat, Rasulullah berkata kepada Ali  dengan menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib serta para pengikut setianya atau Syi’ah merupakan orang-orang mukmin pilihan dan paling beruntung dengan amal shalehnya.[20] Sama seperti khawarij yaitu Syi’ah juga sebagai sekte pertama dan tertua dalam sejarah Islam.

Dalam hal kepemimpinan seperti yang dikutip dari pandangan Asy-Syahrastani, bahwa Syi’ah selalu meyakini dalam setiap masa bahwa setiap garis keturunan Nabi Muhammad saw yang berhak mendudukinya. Sedang untuk yang lain dari garis keturunan Nabi maka mereka tak berhak menduduki posisi kepemimpinan atau sebagai Imam dalam suatu negara.[21] Pada waktu dua khalifah yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, upaya Syi’ah dan pergerakan makarnya ini belum kelihatan secara jelas. Mereka masih bersembunyi dalam dua wajah. Sedang mereka tunjukkan ketika itu berada di khalifah ketiga yaitu Ustman bin Affan. Mereka lakukan demikian dengan beranggapan bahwa Ustaman telah melakukan nepotisme dalam suatu kepemimpinan. Dan puncaknya mereka tidak segan menampakkan dirinya sebagai pengikut setia Ali pada peristiwa arbitrase atau tahkim dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Jika dilihat secara detail, argumentasi dan dukungan yang diberikan oleh Syi’ah secara fanatic buta sebenarnya sudah tidak bisa diterima secara akal sehat dan langsung mardud atau tertolak dengan sikap Ali bin Abi Thalib yang ditunjukkan dengan mengakui ketiga khalifah sebelumnya. Bahkan Ali juga mengakui kepemimpinan yang terjadi setelah proses tahkim tersebut. Ali bin Abi Thalib sendiri juga merasa dirinya sama sekali tidak menerima pesan wasiat secara khusus dalam hal kepemimpinan seperti apa yang dikatakan oleh kalangan Syi’ah.

  • Murji’ah

Murji’ah secara etimologi berasal dari kata Raja yang berarti pengharapan dengan Isim Fa’il Raji sebagai kata asal dari yang tiga huruf. Namun ini adalah perkembangan dari empat hurufnya yang berarti irja’ dalam bentukmasdar dan Murji’ah dalam bentuk Isim Fai’ilnya yang berarti orang yang memberi penundaan atau atau memberi pengharapan.[22] Setiap aliran baik dalam Syi’ah dan Khawarij yang juga dimulai dan muncul sebab politik kekuasaan dalam kepemimpinan Islam, Murji’ah juga muncul dengan sebab adanya politik juga. Mereka sekte Murji’ah senantiasa memiliki pengaharapan besar terhadap ampunan dari Allah Swt.

Jika ditelisisk lebih mendalam secara historis aliran Murji’ah ini meskipun mendukung dan mengakui peristiwa arbitrase yang dimenangkan oleh kubu Muawiyah, mereka lantas tidak membuat golongannya fanatic buta dalam persoalan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak ingin memihak antara golongan Khawarij, Syiah dan Muawiyah yang pada saat itu terlibat saling tuduh dan mengkafirkan satu sama lain. Mereka tetap meyakini bahwa dalam hal pembunuhan merupakan suatu kesalahan besar yang berakibat masuknya si pembunuh ke dalam neraka. Namun sekte Murji’ah ini tidak mau mendahului penghakiman yang diberikan oleh Allah Swt di hari kiamat nanti. Mereka meyakini bahwa akan tiba masa pengadilan dari Allah Swt. Sehingga mereka tak perlu bersusah payah dalam persoalan terlibat mengkafirkan hingga bentrok satu sama lain antar dua sekte yaitu Syi’ah dan Khawarij dalam peristiwa terbunuhnya Ali bin Abi Thalib tersebut. Pada intinya aliran ini bersikap tengah dan tidak memihak manapun. Mereka lebih mencari aman dengan tidak ingin mendapatkan hujata dari kedua kubu tersebut yang tengah memanas. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut campur dalam persoalan yang di dalamnya terdapat sebuah kemungkinan besar peperangan atau konflik yang berkepanjangan.[23]

Dalam aliran ini memiliki karakter khas yaitu mengembalikan semuanya dalam persoalan keimanan dan kekafiran seseorang hanya kepada Allah Swt selama aspek kekairannya masih belum jelas. Mereka tetap meyakini bahwa setiap orang yang baca syahadat adalah mukmin dan muslim dimana segenap darahnya harus mereka lindungi dan jangan sampai terjadi pertikaian sesama. Mereka beranggapan dalam pelaku dosa besar kelak akan mendapatkan balasan dari Allah Swt di hari kiamat.[24]

  • Qadariyah

Ghilan Ad-Dimisyqi yang merupakan pentolan dari Murji’ah dan kalangan lainnya melakukan suatu manuver politik yang dirasa sngta perlu terkait atas tindakan dari dinasti Muawiyah yang dengan bebasnya melakukan kesewenang-wenangan dalam menjalankan kepemerintahannya.[25] Mereka sesuai dengan penamaan etimologinya yaitu beranggapan bahwa segala jenis perbuatan manusia merupakan bersumber dari dirinya. Mereka sangat menentang jika segala macam perbuatan manusia baik yang baik dan buruk itu berasal dari Allah Swt. Karena dianggapnya menurut aliran ini tidak layak. Dan juga mereka menafikan takdir yang telah ditetapkan sejak zaman azali dalam baik buruknya seseorang nanti.

Dengan demikian manusia harus bertanggung jawab kelak di hari kiamat atas apa yang dilakukannya sejak berada di alam dunia. Mereka tidak bisa mengatakan di hari kiamata nanti dengan mengelak bahwa segala apa yang mereka lakukan itu berasal dari takdir Allah Swt atas dirinya yang fana’.

  • Jabariyah

Aliran ini muncul dengan diprakarsai oleh Al-Ja’ad bin Dirham. Sesuai dengan arti secara etimologinya yaitu, aliran ini senantiasa menganggap bahwa segala dinamika kehidupan di alam semesta ini yang berhubungan dengan manusia sejatinya adalah berasala dari kehendak atau takdir dari Allah Swt. Dalam aliran ini dikembangkan suatu pemahaman bahwa sebenarnya manusia tidak ada daya upaya dalam menjalankan realitas sosial. Semua dari yang ada baik dari sisi kebaikan dan keburukan merupakan suatu kehendak murni Tuhan. Perbuatan apapun dari manusia tidak murni dari dirinya, melainkan atas kehendak-Nya.

Jahm bin Shofwan yang berasal dari Khurasan sangata membela dan bahkan mengkampanyekan pemahaman aliran ini. Sehingga aliran ini menjadi tersebar luas di sebagian negara Timur Tengah berkat kerja kerasnya.[26] Pengaruh faham ini sebenarnya sudah muncul sejaka masa daulah Umawiyah. Namun juga sebenarnya jika ditelisik lebih detail faham ini dalam setiap golongan masyarakat sudah terjadi di masa sahabat dan berkembangnya ketika dinasti Umayyah. Persoalan mengenai ini umumnya dipicu mengenai pemknaan qadla’ dan qadar dalam Islam oleh kalangan agamawan.

  • Muktazilah

Muktazilah ini lahir pertama kali di kota Bashrah dengan diprakarsai oleh Washil bin Atha’.[27] Aliran ini berdiri dengan sebab adanya ketidakpuasan dalam politik, seperti keputusan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang dengan mudahnya memberikan tampuk kepemimpinan dal genggaman Muawiyah.[28] Aliran ini sebenarnya bentuk pemisahan diri dari apa yang telah disepakati oleh banyak golongan pada saat itu dengan keputusan yang diambil oleh Hasn bin Ali bin Abi Thalib.

Jika dilihat lebih dalam aliran ini diwarnai dengan banyaknya perkembangan faham keagamaan yang ingin meruntuhkan kejayaan pemikiran Islam baik dari kalangan muslim sendiri dan non muslim juga. Seperti contoh adanya aliran Agnostik yang kala itu meyakini adanya Tuhan, namun tidak ada kecondongan terhadap agama manapun. Kepercayaan ini berkembang begitu pesat di kota Kufah dan Bashrah, yang kala itu kedua kota ini merupakam pusata peradaban yang maju di dunia.

Aliran Muktazilah ini sebnarnya bertujuan baik. Mereka tidak ingin masyarakat muslim terjebak dalam penyimpangan faham yang berkembang kala itu. Dengan demikian mereka melakukan manuver penafsiran yang mengandalkan akal sebagai tolak ukur pertama dan utama dalam menafsirkan teks suci agama. Dengan demikian mereka juga berjuang melawan pemikiran menyimpang yang tengah melanda dua kota tersebut. Pada akhirnya aliran ini mendapatkan sambutan yang sangat baik dari salah satu khalifah Abbasiyah yiatu Al-Makmun. Khalifah tersebut menjadikan kurikulum Muktazilah sebagai bahan ajar wajib dalam negaranya. Ini merupakan puncak kejayaan perkembangan pemikiran Muktazilah di masa dinasti Abbasiyah.[29]

  • Maturidiyah

Aliran yang mengawal perkembangan pemikiran Salaf Ash-Shalih selain Asy’ariyah adalah Maturidiyah. Pendiri Aliran ini adalah Abu Manshur Al-Maturidi. Aliran ini lahir di wilayah Samarkand sebagai bentuk perlawanan dengan ideologi Muktazilah yang sangat menggantungkan setiap pemahaman agam Islam terhadap rasionalitas semata.[30] Maturidiyyah sebenarnya bentuk suatu pemahaman atau ideology keagamaan yang mengkomparasikan antara akal dan teks. Tidak hanya condong pada salah satunya.

Jika ditelisisk lebih dalam lagi sebenarnya aliran ini agak memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah dalam persoalan penafsiran faham keagamaan dengan singkronisasi dalil Aql dan Naql. Namun yang membedakan dari keduanya adalah Maturidiyah lebih memberikan kelonggaran dalam akal sebagai perangkat penafsiran dibandingkan kalangan Asy’ariyah yang cenderung memberikan kelonggaran pada teks.[31]

  • Asyariyah

Pendirinya aliran ini bernama Abu Al-Hasan Al-Asy’ari yang merupakan garis keturunan sahabat Nabi yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari. Aliran ini muncul sebagai suatu bentuk perbandingan dan penolakan terhadap ideology Muktazilah yang dianggapnya terlalu melewati batas dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunah.[32] Aliran ini berkembang di kota Bashrah dengan sebab lumpuhnya pemikiran Muktazilah yang tidak bisa menjawab berbagai macam pertanyaan dari kalangan ini. Dalam aliran Asy’ariyah ini sangat membatasi sekali ruang gerak akal dalam menfsirkan apa yang terdapat dalam teks-teks suci keagamaan. Aliran Asy’ariyah ini sangat menjunjung suatu teks di atas akal namun tidak sampai menghilangkan suatu perangkat akal sebagai organ tubuh yang dengannya berfikir.

Aliran Asy’ariyah ini diilhami oleh suatu keraguan dan ketidakpuasan dalam pendefinisian agam oleh Muktazilah. Bahkan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tidak bisa mendapatkan kepuasan tersebut dari gurunya yaitu Ali Al-Juba’i. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari kala itu bermimpi bertemu Rasulullah tiga kali. Dan dalam mimpi tersebut disebutkan bahwa Abu Al-Hasan Al-Asy’ari yang akan mengawal sunah Nabi kedepannya. Sampai masa saat ini aliran dari Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ini berkembang pesat dan membawa kemaslahatan kepada umat manusia dalam waktu yang cukup singkat.

  • Metode Penelitian Dalam Penulisan Sektarianisme Pada Sejarah Islam

Pembahasan mengenai sektarianisme dalam sejarah Islam menggunakan pendekatan historis menggunakan penyajian data secara kualitatif. Dalam hal ini penggunaan kualitatif bukan yang hanya deskriptif naratif studi lapangan, namun lebih kepada library research atau penelitian kepustakaan. Sedangkan ditinjau dari sifatnya, maka penelitian tergolong kepada penelitian deskriptif. Dimana terdapat analisa yang tentang setiap permasalahan yang menjadi pokok bahasan. Dalam hal ini sengaja memang menggunakan pendekatan historis karena pembahasan kali ini dilihat dari asal mula dan perkembangannya suatu aliran. Sehingga penyajian data yang ada pada masa lalu lebih spesifik jika menggunakan pendekatan historis. Terlebih adanya pembahasan kali ini berada dalam mata kuliah sejarah peradaban Islam. Dengan demikian pembahasan yang disajikan berkaitan dengan sejarah, akar dan macam-macam dari sektarianisme dalam Islam.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam menulis pembahasan kali ini dengan topik sektarianisme dalam sejarah Islam sebagai berikut:

  1. Penulis akan mengumpulkan segala bentuk data guna kemudahan dalam penyusunan pembuatan makalah ini, baik data tersebut sangat berkaitan dengan tema atau topik yang dibahas ataupun hanya berkaitan sebagian. Penulis akan aktif mempelajari tentang sektarianisme dalam sejarah Islam serta menelaah literatur-literatur kepustakaan lain yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang diteliti baik dari majalah, jurnal, ensiklopedi dan lain lain.[33]
  2. Melakukan pemetaan dan klasifikasi yang baik dan benar. Hal ini ditujukan supaya terjadi suatu singkronisasi yang baik dengan topik yang dibahas.
  3. Menganalisis data yang telah diperoleh untuk selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam bahan pembuatan makalah.

Teknik-teknik analisis data yang digunakan dalam menulis pembahasan kali ini dengan topik sektarianisme dalam sejarah Islam sebagai berikut:

  1. Reduksi, mengurangi segala macam data yang dirasa kurang relevan dengan topik yang sedang dibahas.
  2. Sistematisasi, menganalisis secara runtut terhadap apa yang dibahas dalam topik. Untuk selanjutnya meletakkan sesuai dengan yang dirumuskan.
  3. Kategorisasi, pengelompokan atas suatu pola atau model dalam suatu sub-sub tertentu.
  4. Dengan menggunakan content analisa yaitu menganalisa pendapat seseorang kemudian ditambah pendapat lain, lalu diambil kesimpulan.[34]

BAB III

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Dengan adanya penjelasan di atas kita dapat mengetahui beberapa hal:

  1. Dalam realitas sosial sebenarnya istilah sectarian ini diarahkan ke dalam suatu konflik yang terjadi di Timur Tengah atau Middle East. Hal itu disebabkan dengan banyaknya konflik yang terjadi sebab adanya perbedaan dalam memahami apa yang dimaksudkan oleh agama dan juga perbedaan dalam menilai suatu arahan dari agama tersebut.
  2. Aliran teologi dalam Islam sebenarnya bukan semata-mata berasal dari pengaruh faham yang berbeda akan teks Al-Qur’an dan As-Sunah saja, tetapi lebih dominan condong ke arah politik praktis.
  3. Beragam peristiwa kudeta dan anti pemerintah terjadi bukan hanya di Tunisia saja. Namun, hal itu juga berdampak ke berbagai negara sekitarnya seperti Bahrain, Irak, Mesir dan Yaman. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2010 di Tunisia dengan adanya pembakaran diri oleh Mohammad Bouazizi dengan puncaknya berupa revolusi di negara tersebut.
  4. Sebenarnya awal mula dalam dunia sektarian berasal dari politik kekuasaan semata. Namun, hal ini terus berkembang menjadi suatu kurikulum dalam suatu kerajaan atau dinasti yang berkuasa di setiap zamannya. Untuk selanjutnya ketika sudah memasuki masa saat ini menjadi proses penilaian penetapan keislaman seseorang, sehingga hal ini bukanlah masuk wilayah politik namun sudah menyentuh dalam ranah aqidah, budaya, dan kepercayaan.
  5. Dengan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah menjadikan umat Islam bermusuhan satu sama lain dan bahkan bisa berimbas dalam pertumpahan darah. Mereka untuk selanjutnya akan melahirkan lagi berbagai macam aliran atau sectarian dalam Islam seperti Jabariyah dan Qadariyyah. Kemudian ada Muktazilah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dan Wahhabiyah. Pada masa saat ini efek konflik keras yang terjadi pada 13 abad silam mengantarkan kepada jurang aliran ekstrimisme dan radikalisme seperti Al-Qaeda dan ISIS.
  6. Dampak yang dihasilkan dari adanya revolusi Islam Iran besar-besaran dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya di masyarakat Timur Tengah pada khususnya dan terhadap negara dibelahan dunia lain umumnya.
  7. Pembahasan mengenai sektarianisme dalam sejarah Islam menggunakan pendekatan historis menggunakan penyajian data secara kualitatif. Dalam hal ini penggunaan kualitatif bukan yang hanya deskriptif naratif studi lapangan, namun lebih kepada library research atau penelitian kepustakaan. Sedangkan ditinjau dari sifatnya, maka penelitian tergolong kepada penelitian deskriptif.
  8. Dalam Islam berabagai sekte teologi dan selalu mengitari setiap zamannya diantaranya adalah Syi’ah, Muktazilah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Namun, yang terkenal secara jelas pada masa saat ini ada tiga yaitu Sunni, Syi’ah dan Wahabiyah.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hamur, Ahmad Ibrahim, 1998. Shadrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Sharq (Kairo: Daar al- Thiba’ah al-Muhammadiyah).

Abidin, Zainal,“Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam, “Jurnal Hunafa 3, 2 (2006).

Rahman, Sainul, “Tensi Sektarianisme dan Tantangan Demokrasi di Timur Tengah Pasca Arab Spring: Kasus Tunisia dan Yaman”, Jurnal ICEMS 3, 1 (2019).

Azra, Azyumardi, 2016.Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, Cet. 1 (Rawamangun, Jakarta: Prenadamedia Group bekerja sama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

A. Djazuli, 2013. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu Rambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana).

Hakim, Abdul, “Konflik Sektarian dan Perkembangan Pemikiran Dalam Islam”, SAFINA: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, 1 (2016).

Syalabi, Ahmad, 1975. Tarikh Al-Islam wa Al-Hadharah Al-Islamiyah, Juz 1 (Mesir: Maktabah Al-Nahdhah Al-Misriyyah).

  1. Hasyimi, 1973. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

Purnama, Fahmi Farid, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian dalam Bingkai Wacana Agama”, Jurnal Al-A’raf Pemikiran Islam dan Filsafat 3, 2 (2016).

K. Hitti Philip, 1970. History of The Arabs (London: Macmilan Press).

Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press).

Sahide, “Konflik Syi’ah dan Sunni Pasca-The Arab Spring”, Jurnal Kawistara, 3.3 (2013).

John L Esposito and John Obert Voll, 1999. Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, (Bandung; Mizan).

Sihbudi, M. Riza, 1991. Islam, Dunia Arab Iran, Bara Timur Tengah, Cet.1 (Bandung; Mizan).

Asy-Syahrastani, Abu Al-Fath, 1404. Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah).

Sahilun, A. Nasir, 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).

Al-Asyari, Abu Hasan, 1969. Maqallat Al-Islamiyyin wa Ikhtilafu Al-Mushallin, (Kairo: Maktabah An-Nahdlah Al-Misriyyah).

Sahidin, Ahmad, “Memahami Sunni dan Syi’ah: Sejarah, Politik dan Ikhtilaf”, Jurnal Maarif 10.2 (2015).

Asy-Syahrastani, Abu Al-Fath, Al-Milal wa An-Nihal: Aliran –Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam, terj. Asywadi Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, tt).

Tamim, Ummu, 2010. Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, terj. Sufyan bin Zaydin Sinaga Abu Yazid (Jakarta: Pustaka Imam Ahmada).

Sariah, “Murji’ah dalam Perspektif Theologis”, Jurnal Toleransi 4, 1 (2012).

Dahlan, Abdul Aziz, 2001. Teologi dan Aqidah Dalam Islam, (Padang: IAIN-IB Press).

Rahman, Taufik, 2013. Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia).

  1. Hanafi, 2003. Pengantar Teolog Islam, (Jakarta: Pustaka AL-Husna Baru).

Hamka, “Maturidiyah: Kelahiran dan Perkembangannya”, Jurnal Hunafa 4, 3 (2007).

Zahrah, Muhammad Abu, 1996. Tarikh Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah wa Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy).

Hasan, Iqbal, 2008. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, (Bumi Aksara, Jakarta).


[1] Ahmad Ibrahim Hamur, Shadrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Sharq (Kairo: Daar al- Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1998), Hal. 115.

[2] Zainal Abidin, “Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam, “Jurnal Hunafa 3, 2 (2006) Hal. 117-128.

[3] Sainul Rahman, “Tensi Sektarianisme dan Tantangan Demokrasi di Timur Tengah Pasca Arab Spring: Kasus Tunisia dan Yaman”, Jurnal ICEMS 3, 1 (2019), Hal. 112

[4] Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, Cet. 1 (Rawamangun, Jakarta: Prenadamedia Group bekerja sama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), Hal. 273

[5] A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu Rambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2013), Hal. 27-28.

[6] Abdul hakim, “Konflik Sektarian dan Perkembangan Pemikiran Dalam Islam”, SAFINA: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, 1 (2016), Hal. 57.

[7] Ahmad Syalabi, Tarikh Al-Islam wa Al-Hadharah Al-Islamiyah, Juz 1 (Mesir: Maktabah Al-Nahdhah Al-Misriyyah, 1975), Hal. 302

[8] A. Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Hal. 157.

[9] Fahmi farid Purnama, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian dalam Bingkai Wacana Agama”, Jurnal Al-A’raf Pemikiran Islam dan Filsafat 3, 2 (2016), Hal. 217.

[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilan Press, 1970), Hal. 191.

[11] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), Hal. 8.

[12] Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, Cet. 1 (Rawamangun, Jakarta: Prenadamedia Group bekerja sama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), Hal. 274.

[13] Abdul Hakim, Konflik Sektarian dan Perkembangan Pemikiranm dalam Islam, SAFINA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1.1 (2016),Hal. 57.

[14] Sahide, “Konflik Syi’ah dan Sunni Pasca-The Arab Spring”, Jurnal Kawistara, 3.3 (2013), Hal. 315

[15] John L Esposito and John Obert Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, (Bandung; Mizan, 1999), Hal. 66.

[16] M Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab Iran, bara Timur Tengah, Cet.1 (Bandung; Mizan, 1991), Hal. 191.

[17] Abu Al-Fath Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1404), Hal. 150

[18] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), Hal. 124.

[19] Abu Hasan Al-Asyari, Maqallat Al-Islamiyyin wa Ikhtilafu Al-Mushallin, (Kairo: Maktabah An-Nahdlah Al-Misriyyah, 1969), Hal. 65.

[20] Ahmad Sahidin, “Memahami Sunni dan Syi’ah: Sejarah, Politik dan Ikhtilaf”, Jurnal Maarif 10.2 (2015), Hal. 36.

[21] Abu Al-Fath Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal: Aliran –Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam, terj. Asywadi Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, tt), Hal. 124.

[22] Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, terj. Sufyan bin Zaydin Sinaga Abu Yazid (Jakarta: Pustaka Imam Ahmada, 2010), Hal. 127.

[23] Sariah, “Murji’ah dalam Perspektif Theologis”, Jurnal Toleransi 4, 1 (2012): Hal. 70.

[24] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), Hal. 35.

[25] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), Hal. 139.

[26] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), Hal. 36.

[27] Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Aqidah Dalam Islam, ()Padang: IAIN-IB Press, 2001), Hal. 75.

[28] Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), Hal. 208.

[29] A. Hanafi, Pengantar Teolog Islam, (Jakarta: Pustaka AL-Husna Baru, 2003), Hal. 72.

[30] Hamka, “Maturidiyah: Kelahiran dan Perkembangannya”, Jurnal Hunafa 4, 3 (2007), Hal. 261.

[31] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah wa Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, 1996), Hal. 167.

[32] Ibid, Hal. 163.

[33] Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, (Bumi Aksara, Jakarta,2008), Hal. 5

[34] Ibid, Hal. 19

Penulis: Syaifur Rahman (Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Baca juga: Kejahatan Bani Israil dan Janji Allah SWT (Tafsir Surah al-Isra’ 4-8)

Tinggalkan Balasan