Syekh Sholeh Al Ja’fari, Wali Besar Al Azhar dari Sudan

Donggola (juga dieja Dunqulah) yang mana sebelumnya dikenal dengan nama Al ‘Urdi ini merupakan ibu kota negara bagian utara di Sudan yang terletak di tepi sungai Nil. Kota Donggola modern tidak sama dengan Donggola kuno yang terletak sejauh 80 km ke arah hulu sungai. Dari desa ini, lahir seorang anak yang kelak akan menjadi wali besar dan pendiri sebuah tarekat di negeri kinanah (Mesir), yaitu Syekh Sholeh Al Ja’fari.

Beliau bernama Sholeh bin Muhammad bin Sholeh bin Muhammad bin Rifa’i Al-Ja’fari Al-Husaini Al-Asy’ari Al-Maliki Al-Ahmadi Al-Idrisi Al-Azhari. Nasab beliau bersambung kepada Sayid Al-Hadi bin Sayid Muhammad Al-Jawwad bin Sayid Ali Ridho bin Sayid Musa al-Kadzim bin Sayid Ja’far Shadiq (Ja’fari dinisbahkan kepada Imam Ja’far Shadiq).

Kelahiran

Syarif Sholeh atau kerap disapa Syekh Sholeh Al Ja’fari, lahir pada 10 Jumadilakhir 1328 H, di desa wilayah Dunqula Sudan, Afrika Timur. Beliau merupakan putra Habib Muhammad. Kemudian nasab beliau dari jalur ayah yang sampai kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut; Syarif Sholeh bin Muhammad bin Sholeh bin Muhammad bin Rifa’i bin Alja’fari Al Azhari Al Huseini bin Imam Ja’far Shodiq ra bin Muhammad Al Baqir ra bin Ali Zainal Abidin ra bin Imam Husain ra bin Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidina Fatimatuz Zahro bin Nabi Muhammad saw.

Masa Kecil

Dididik oleh keluarga dan lingkungan yang baik, ‘Sholeh kecil’ akhirnya berumur 6 tahun. Sang ayah yang melihat perkembangan anaknya, mulai ingin mengajarinya cara berdagang dengan mengajaknya ke toko pamannya. Seakan lupa akan ajakan ayahnya, Sholeh kecil selalu lari dari toko ketika diminta ayahnya untuk menjaganya dan pergi menuju halakah tahfiz al-qu’ran di masjid Donggola.

Lari dari tugas menjaga toko dan pergi ke masjid Donggola selalu menjadi kebiasaan Sholeh kecil, ayahnya selalu menghukumnya atas hal itu dan menyuruh Sholeh agar belajar berdagang dari pamannya. Untungnya sang paman selalu membelanya dan berkata, “Biarkan ia seperti itu.”

Ketika ia menjaga toko dan melihat fakir miskin, lalu ia memberikan makanannya yang berada di toko kepada fakir miskin tersebut. Melihat sikap anaknya, sang ayah mengadukan hal tersebut kepada Sayid Muhammad Syarif (putra sidi Abdul ‘Ali Sahibul Maqam), Sayid pun berkata, “Apakah engkau lupa bahwa engkau telah menghibahkan anakmu kepada Allah? Kirimlah anakmu ke Al-Azhar.”

Pada umur 14 tahun beliau menyempurnakan hafalan al-qur’an di Masjid Donggala dalam bimbingan syekh Abi Auf As-Sanhuri dan Sayid Hasan Efendi. Lalu di umur tersebut pula beliau dinikahkan sebelum kepergiannya ke negeri kinanah.

Menuju Al-Azhar

Salah satu sebab beliau ingin menuntut ilmu di Al-Azhar adalah bahwasanya datang salah seorang dengan membawa juz pertama Syarah Nawawi atas Sahih Muslim, beliau meminjam kitab tersebut darinya dan membacanya hingga terlelap. Dalam tidurnya beliau bermimpi bertemu Sayid Abdul ‘Ali (Sahibul Maqam) yang sedang duduk di atas kursi, di sisinya sudah siap perbekalan untuk safar. Lalu Syekh Sholeh mendengar ada yang berkata, “Sang Sayid akan safar ke Mesir menuju al-Azhar!”

Mendengar hal itu, Syekh Sholeh langsung mendatangi beliau, menyalaminya dan mencium tangannya. Sayid berkata kepadanya dengan kalimat yang sama dan mengulanginya beberapa kali, “Ilmu itu diambil dari kalbu para ulama, bukan dari kitab” lalu Syekh Sholeh terbangun. Berawal dari mimpi ini, beliau berkeinginan kuat untuk pergi ke Al-Azhar.

Ini merupakan sebuah isyarat dari Sayid Abdul Ali bagi penuntut ilmu, bahwasanya ilmu pengetahuan tidaklah didapat cukup dengan hanya membaca buku, karena ilmu yang manfaat tidaklah didapat kecuali dari mulut dan nafas para ulama dengan duduk di majelisnya, melihatnya, bahkan meniru kebaikannya.

Gambar: laduni.id

Guru

Pada umur kurang lebih 20 tahun, beliau akhirnya pergi menuju Al-Azhar, Kairo dengan meninggalkan anak laki-laki yang bernama Sayid Abdul Ghani dan anak perempuan bernama Fathiyah. Sesampainya di Kairo, beliau belajar kepada banyak guru. Berikut beberapa guru beserta pengalaman belajar beliau pada tiap guru:

  1. Syekh Sholeh mulai berguru dengan ulama Al-Azhar, salah satunya ialah Syekh Mahmud As-Subki dan beliau belajar dengannya setelah 2 bulan beliau berada di Kairo.
  2. Syekh Muhammad Ibrahim As-Samaluthi Al-Azhari, beliau bermulazamah dengannya dalam pelajaran hadis dan ulumul hadis di masjid Sidna Husein, begitu juga dengan pelajaran tauhid.
  3. Syekh Muhammad Bakhith Al-Muthi’i Al-Azhari (mufti Mesir terdahulu), beliau bermulazamah dengannya dalam bidang tafsir dan ulumul qur’an hingga Syekh Muthi’i meninggal dunia, yang kala itu mengajar di Ruwaq Al-Abbasi di masjid al-Azhar.
  4. Syekh Habibullah As-Syinqithi Al-Azhari (sahib kitab Zadul Muslim), Syekh Salih ketika bermulazamah dengan beliau sangat mendambakan menjadi muqri (sang pembaca_pena) bagi sang guru. Pada suatu hari beliau pergi kerumah gurunya di samping Qal’ah dengan niat semoga diberi izin oleh sang guru untuk menjadi muqri baginya dalam membaca kitab Sahih Bukhari dan Muslim. Sesampainya di rumah sang guru dan duduk di ruang tamu, tiba-tiba sang guru tersenyum sembari berkata, “Kamu insya Allah akan menjadi muqri bagiku tahun ini.” Permintaannya terkabul! Lalu beliau menjadi muqri Syekh Habibullah As-Syinqithi Al-Azhari selama 15 tahun hingga sang guru meninggal dunia.
  5. Syekh Yusuf Ad-Digwi Al-Azhari (anggota dewan senior ulama al-Azhar), beliau bermulazamah dengan Syekh Digwi dalam pelajaran setelah salat subuh di Ruwaq Al-Abbasi selama 7 tahun hingga wafatnya sang guru.
  6. Beliau juga berguru kepada ulama besar Al-Azhar pada zamannya seperti, Syekh Abdurrahman Ilisy (cucu Syekh Ilisy Al-Kabir), Syekh Hasan Madkur, Sayid Abdul Hay Al-Kattani (sahib kitab Fihrisul Faharis wal Atsbat), Syekh Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari, Syekh Abdullah Al-Ghummari, Syekh Muhammad Hasanein Makhluf Al-Adawi (ayah mufti Mesir Hasanein Muhammad Makhluf) dan lain-lain yang tidak bisa ditulis kisahnya satu persatu.

Nisbah Al-Ja’fari

Pada awalnya beliau tidak menampakkan nisbat Ja’fari atas dirinya, karena kala itu beliau belum menyadari bahwasanya merupakan bagian dari keturunan Imam Ja’far Shadiq. Lalu pada suatu ketika beliau melihat secarik kertas yang bertuliskan bahwa ayahnya dinisbatkan kepada marga ‘Ja’fari.’

Pada suatu malam beliau bermimpi bertemu Sayidah Zainab binti Imam Ali bin Abi Thalib yang ketika itu berdiri di balik layar (hijab), beliau pun mengucapkan salam kepadanya, laku Sayidah Zainab pun berkata, “Bagaimana kabarmu dan kabar keluargamu al-Ja’afirah?”
Terbangun dari mimpi itu, beliau semakin yakin atas nisbat dirinya kepada “Ja’fari”.

Beliau juga bercerita, bahwa Nabi Muhammad saw -kakeknya- juga membenarkan bahwa beliau keturunan Sayid Ja’far Shadiq dengan berkata, “Sesungguhnya saya bermimpi melihat Rasulullah bersama keempat khulafaurasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Saya lalu menyalami beliau dan keempat Khalifah –radhiallahu anhum– dan ketika saya menyalami Sayidina Ali saya pegang erat tangannya seraya berkata, “Saya termasuk hitunganmu, saya termasuk keturunanmu, saya dari keturunan Sayidina Ja’far Shadiq.” Lalu yang menjawab langsung adalah Rasulullah sembari berkata, “Benar!” yang mendapat anggukan oleh Sayidina Ali seraya membenarkan perkataan baginda Nabi. Ketika saya tersadar, mimpi ini lebih saya cintai daripada dunia dan seisinya,jelasnya kemudian.

Pendiri Tarekat

Syekh Sholeh Al Ja’fari merupakan pendiri tarekat Ja’fariyah yang merupakan rangkuman dari Thariqah Al Ahmadiyyah dan Al Idrisiyyah.

Imam Besar

Syekh Sholeh Al Ja’fari adalah seorang imam besar dan khatib di masjid Al Azhar Mesir Sekitar 45 tahun silam yang beliau bermazhab Maliki sebagaimana penduduk Sudan pada umumnya.

Dikatakan oleh Syekh Ali Jumah, bahwasanya karamah beliau seakan-akan kejadian itu benar-benar terjadi di hadapan kita seperti, Ketika beliau sedang memberikan khotbah mengenai perang badar yang mana seakan perang tersebut sedang terjadi di hadapan kita saat itu.

Murid

Berkah guru sangat berpengaruh kepada murid-muridnya, apalagi jikalau dibimbing oleh guru yang ikhlas dalam mengajarkan ilmu. Murid-murid beliau masih bisa kita lihat hingga hari ini dan kita petik ilmu dari mereka, seperti Syekh Nuruddin Ali Gomaa Al Azhari (mufti Mesir terdahulu dan anggota Dewan Ulama Senior Al Azhar), Syekh Muhammad Abdul Baits Al Kattani, Syekh Athiyah Musthafa, Syekh Ali Shalih Al Azhari, Syekh Fathi Hijazi Al Ajhuri Al Azhari, Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani, Syekh Yusri Jabr dan masih banyak lagi.

Karangan

Beliau meninggalkan banyak buku karangan, yang mana bukunya bisa didapat di maktabah Dar Jawami’ul Kalim. Sebagian karangannya seperti;

  1. Diwan al-Ja’fari (12 juz)
  2. Assirah an-Nabawiyah al-Muhammadiyah
  3. Asrar as-Shiam
  4. Al-Burdah al-Hasaniyah wal Husainiyah
  5. Raudhatul Qulub wal Arwah
  6. Minbarul Azhar
  7. Kanzussa’adaH
  8. Al-Arbain al-Ja’fariyah
  9. Durusul Jumuah
  10. Risalah fil Hajj wal Umrah
  11. Mufidatul Awam, dll.

Wafat

Syekh Sholeh Al Ja’fari wafat pada sore hari Senin, 18 Jumadil Ula 1399 H atau bertepatan pada 16 April 1979 M. Disalatkan di masjid Al Azhar dan dimakamkan di samping masjid. Letak lokasi pemakaman beliau berseberangan dengan terminal bus Al Darrasah.

Sumber pustaka:

  • Al-Kanzussari fi Manaqibil Ja’fari
  • Quthuf min Sirah Sidi Syekh Shalih al-Ja’fari
  • SYEKH SALIH AL-JA’FARY, SANG WALI BESAR DARI PANGKUAN AL-AZHAR, penulis amirul mukminin
  • Dars Fawaid Al Ja’fariyah bersama K.H. Ribut Nur Huda di wisma PCINU Sudan

Penulis: Ahmad Farhan (aktivis LPQ NU sudan)

Baca juga: Mengenal Sosok Syekh Prof. Abdullah At Thoyib, Sang Sastrawan dan Pakar Bahasa Arab Dunia dari Negeri Dua Nil

Tinggalkan Balasan