Dalam dunia arab, tradisi yang sangat kental dan bahkan menjadi sebuah disiplin ilmu di dunia akademik adalah mengenai ilmu Syair dengan beraneka ragam bentuk dan coraknya. Di antara yang masih minoritas dikaji oleh literatur kontemporer bidang disiplin ilmu syair adalah syair politik. Syair politik itu sendiri adalah ungkapan yang mengandung pandangan-pandangan dan kebijakan-kebijakan politik, dengan tetap konsisten melestarikan nilai-nilai keindahan sastra. Sebelum mendalami pembahasan syair politik, perlu rasanya sedikit melihat perspektif umum mengenai syair.
Siapa yang tidak kenal dengan imam Jahidz yang merupakan seorang tokoh Mu’tazilah yang memiliki kecakapan dalam dunia sastra, terkhusus dalam bidang syair. Dalam sebagian pendapat, Imam Jahidz adalah sosok yang meledakkan benih ilmu kritik Syair dengan sebab pandangannya. Terbukti ketika Imam Jahidz mengkritisi syiir Mahmud al-Warrâq yang diapresiasi oleh seorang pejabat pemerintahan yaitu Abi Amr as-Syaibani.
As-Syaibani ketika memandang sebuah syair yang dirajut oleh Mahmud al-Warrâq hanya memperhatikan aspek maknanya, tanpa memperhatikan sisi diksi lafadznya sehingga menyebabkan ketidaksepakatan al-Jahidz atas hal itu.
Adapun syair dari Mahmud al-Warraq adalah sebagai berikut:
لا تحسبن الموت موت البلى # فإنما الموت سوال الرجال
كلاهما موت ولكن ذا # أشد من ذاك لذل السوال
Artinya:
“Jangan kau anggap mati itu adalah mati karena sebuah musibah, akan tetapi mati itu adalah permohonan para pemuka. Keduanya memang mati, akan tetapi itu lebih menyakitkan karena permohonan itu adalah kehinaan.”
Menurut Dr. Yasir Abdul Muthalib Ahmad seorang Dosen Balagah Universitas Internasional Afrika, kritikan ini kemudian menjadi kajian awal dunia kritik Syair, sebab Imam jahidz mengatakan syair yang diapresiasi oleh Abu Amr as-Syaibani itu bukanlah sebuah syair, sebab syair dalam perspektif imam Jahidz adalah harus terpenuhinya keindahan baik dari aspek makna dan diksinya.
Setelah kita melihat pandangan Syair Imam Jahidz kita mencoba untuk masuk dalam pembahasan Syair Politik yang jika kita menggunakan perspektif imam Jahidz dalam syair akan menimbulkan pertanyaan, “apakah syair politik ini masih memegang prinsip syair atau tidak?”
Dalam pembahasan Syair, kita tentunya dihadapkan dengan beberapa fase atau masa seperti masa jahiliyah yang biasa dikenal dalam dunia barat sebagai abad kuno/klasik, kemudian masa awal Islam yang kalau boleh kita sesuaikan dengan masa Barat, dikenal sebagai Abad pertengahan dan kemudian Abad mutaakhhir yang dikenal dengan masa kontemporer ini.
Dalam hal ini kita akan membahas keadaan syair yang berada pada masa awal Islam, dan sedikit menyinggung masa jahiliah yang syairnya memiliki karakteristik membangkitkan dan mengobarkan api semangat. Seperti yang dikatakan oleh Abu Tammam “Diwan al-Hamasah” bahwa hampir syair-syair itu terpenuhi dengan semangat-semangat kesatria, begitulah termaktub dalam Kitabnya “Minal Masyriq Ila al-Magrib Buhuts Fil Adab”. Oleh karenanya, masa ini memiliki pengaruh dalam perkembangan syair pada masa-masa selanjutnya.
Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kesatria pada masa jahiliahlah yang membuat berkembang para bangsa Arab zaman dahulu, sebagaimana dikatakan oleh Syauqi Dhaif, “para kesatria zaman itu berani untuk mengorbankan jiwa mereka demi untuk membela kabilahnya”.
Di samping keberanian dan kelihaian berperang, para kesatria juga memiliki keindahan jiwa yang nampak dari lisan mereka, dan adanya etika yang baik bahkan terkenal dengan kedermawanannya. Di antara mereka yang dermawan sebagaimana dikatakan oleh Dr. Syauqi Dhoif adalah Harom Ibnu Sannan Zubair, dan Hatim Thoi. Di mana nama-nama mereka sudah dijadikan permisalan dalam ungkapan-ungkapan arab karena kedermawanannya.
Syair-syair jahiliah yang begitu terkenal adalah karya dari tujuh orang, yang kemudian dikumpulkan dan dinamakan al-Mu’allaqot karena keindahannya sama seperti kalung wanita ketika dikenakan. Mereka penyair itu adalah: Umruul Qois, Zubair bin Abi Salma, Tarfah, Antarah, Lubaid, Amr Bin Kultsum, dan al-Harits Bin Hilza.
Perkembangan syair disebabkan dengan adanya dua hal:
Pertama, pasar sastra al-Aswaq dan ada beberapa pasar sastra lainnya yang sangat terkenal pada masa jahiliah, di antaranya; pasar sastra al-Ukaz, Pasar sastra Majannah dan pasar sastra Dzul Majaz.
Kedua, adanya ayyamul a’arob (Hari-hari bangsa Arab) di mana hari-hari ini merupakan gejala sosial orang Arab yang suka berperang karena memang didasari adanya sengketa, baik itu permasalah air, kabilah, hewan ternak dan lain-lain. Namun, dengan adanya persengketaan ini menitipkan sisi positif sebagai media efektif munculnya para penyair ulung sebagi motivator prajurit dan ksatria untuk berperang dan menghina musuh-musuh mereka.
Dari paparan di atas, bisa dirasakan bahwa syair merupakan budaya yang sudah mendarah daging pada dunia arab yang terus berkembang dari zaman jahiliah sampai saat ini. Jika kita coba untuk memotret pada masa Umayyah, maka kita menemukan perkembangan yang lebih berbeda karena sudah masuk ajaran Islam. Adapun tujuan syair pada masa Umayyah di antaranya karena faktor politik, polemik, dan cinta.
Perkembangan syair pada masa ini tidak lain dengan adanya syair politik. Menurut sebagian pendapat bahwa syair politik ini mulai muncul pada masa khilafah umayyah, yang pertama kali dibuat oleh Miskin Ad-Darimi ketika penobatan Zaid sebagai khalifah.
Pada masa pemerintahan Umawiyyah, seiring dengan maraknya partai politik yang bermunculan, dan tentu politik zaman klasik tidak terlepas dari kebiasaan bertopeng dengan topeng teologis, demi mempertahankan pengikut partai dan kemenangan mereka.
Namun, di lain sisi dengan adanya partai-partai politik, perhatian pemerintah Umayyah terhadap para penyair memicu memunculkan penyair-penyair ulung yang mampu merajut untaian bait syair dengan macam coraknya, terlebih syair yang bernuansa politik, seperti; Qoasidah al-Kumait yang merupakan pendukung rezim Syiah, AL-Qitriy Ibn al-Fajaah di antara penyair yang mendukung rezim Khawarij, begitu juga al-Akhthal seorang penyair pendukung rezim Umayyah yang tak kalah hebatnya. Oleh karenanya, dengan melihat kondisi politik yang serat dengan banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Umayyah. Sebagaimana dalam catatan sejarah, maka sudah suatu keharusan para politisi untuk menyewa lidah-lidah para penyair dalam rangka melakukan kritikan dan menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah.
Sebagai contoh dalam tulisan ini adalah syair al-Kumait yang merupakan tokoh pendukung syiah hasyimiyyah yang memiliki nuansa politik dan tentu al-Kumait adalah rival dengan pemerintahan Umawi.
Menurut sebuah riset penelitian, bahwa al-Kumait dalam syiirnya memiliki tipologi politik keagamaan dan kemanusiaan, serta mengagung-agungkan partainya. Di antara syair al-Kumait seperti yang tekah termaktub dalam Syarh Hasyimiat al-Kumaiti yang disyarahkan oleh Abu Rayyasy Ahmad Ibn Ibrahim al-Qaisy (Wafat 339 H).
وَلَكِنْ إِلَى أَهْلِ الْفَضَائِلِ وَالنُّهَى # وَخَيْرِ بَنِيْ حَوَّاءَ وَالْخَيْرُ يُطْلَبُ
إَلَى النَّفَرِ الْبَيْضِ اللَّذِيْنَ بِحُبِّهِمْ # إِلَى اللهِ فِيْمَا نَابَنِيْ أَتَقَرَّبُ
بَنِيْ هَاشِمٍ رَهْطُ النَّبِيْ فَإِنَّنِيْ # بِهِمْ وَلَهُمَ أَرْضَى مِرَارًا وَأَغْضَبُ
حَفِضْتُ لَهُمْ مِنِّيْ جَنَاحَيْ مَوَدَّةٍ # إِلَى كَنَفٍ عَطْفَاهُ أَهْلُ وَمُرْحِبُ
Artinya:
“Akan tetapi kepada pemilik keutamaan, orang cerdas dan sebaik-baik anak Hawa kebaikan itu baru bisa dapat diharapkan. Dengan kecintaan kepada Bani Hasyim saya akan mendekatkan diri ke pada Allah Swt pada urusan yang dia amanahkan pada ku. Bani Hasyim adalah keluarga Nabi, maka kepada mereka saya ridha dan karena mereka saya akan bisa menjadi murka. Aku telah merebahkan kedua sayap cinta kasih serta keadaan dada yang penuh kelapangan bagi mereka”
Dalam syair ini menurut seorang akademisi bernama Jamal Qablani Abu Dalbuh, bahwa sudah sangat jelas sikap al-Kumait yang mengagungkan ahlul bait, dengan menggunakan corak metafor dalam rangka menetapkan hak bani hasyim untuk menduduki kursi pemerintahan, dan bukan Umayyah. Mengapa? Karena mereka ahlul bait sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kumait adalah yang lebih baik dari yang lainnya.
Baca juga: Interpretasi Sufi Terhadap Al-Qur’an
Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa al-Kumait memiliki karya syair yang menggambarkan kritikan terhadap musuh-musuh sayyidina Ali, dan banyak mengandung pujian terhadap ahlul bait. Jika kita coba mengaitkan pandangan imam Jahidz pada syair ini, maka akan kita dapati keindahan diksi lafadz dan kandungan makna dalam syair yang tentu sudah terpenuhi, sehingga mengenai tentang apakah syair al-Kumait ini dianggap syair atau tidak, sudah dapat terjawab. Demikian itu bisa dibuktikan oleh pembaca dan pecinta sastra arab dengan membuka syair al-Kumait Ibnu Zaid al-Asadi dan al-Hasyimiyyat al-Kumait Ibnu Zaid yang disyarahkan oleh Abu Rayyasy Ahmad Ibn Ibrahim al-Qaisy (Wafat 339 H).
Penulis: Sholahuddin
Editor: Suprianto
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)