Mahasiswa Timur Tengah dan Tradisi Menulis

Satu di antara stigma negatif yang kerap dilayangkan kepada mahasiswa Timur Tengah, yang cukup sering saya simak, ialah ketidakmampuan mereka dalam menulis. Padahal, membaca dan menulis itu adalah tugas paling pokok bagi insan akademis. Waktu jadi anak baru, tak terhitung berapa kali saya menyimak stereotip semacam ini. Satu kisah yang masih saya ingat, ada alumni Timur Tengah yang melanjutkan sekolah di salah satu kampus Islam negeri di tanah air. Ringkas cerita dia sedang menggarap sebuah risalah tesis. Judulnya bagus. Rujukannya kitab-kitab tebal. Tapi, sang pembimbing risalahnya berkomentar: “Materi risalah kamu ini bagus. Rujukannya juga kitab-kitab besar. Tapi sayang, cara kamu nulis masih acak-acakan.”

Baca juga: Kita, Pesantren, dan Sastra

Kisah lain yang lebih pahit, konon, di salah satu kampus Islam negeri ternama, ada salah seorang dosen, yang kalau masuk kelas, dan dia tahu bahwa di kelas itu ada beberapa mahasiswa lulusan Timur Tengah, mereka dipisahkan dalam satu kelompok. Lalu mereka dipandang satu derajat sebagai mahasiswa-mahasiswa yang tidak bisa menulis. Tak terbayang betapa sakitnya kalau saya diperlakukan seperti itu. Sudah jauh-jauh pergi ke negeri Arab, belajar pada ulama-ulama besar, mengaji kitab-kitab tebal, tapi dipandang nggak bisa menulis! Dipandang nggak bisa menulis itu artinya dipandang sebagai mahasiswa yang “kurang sempurna”. Tapi, di lain sisi, penilaian tersebut mungkin ada sisi positifnya juga.

Mereka-mereka yang menyikapi kritikan tersebut secara positif, tentu akan terpancing untuk belajar lebih giat lagi dalam menulis. Yang merespon dengan mentalitas baper, tentu akan menampilkan sikap berbeda. Dan, untungnya, sejak masuk di tingkat dua kuliah, saya dipertemukan dengan senior-senior yang punya perhatian lebih dalam dunia kepenulisan. Para senior saya ini adalah orang-orang yang mandiri dan kreatif. Sadar bahwa kampus tidak menyediakan pelatihan dalam dunia tulis menulis, mereka membuat kelompok kajian sendiri. Masing-masing peserta kajian diwajibkan membuat makalah, mempresentasikan isinya, mengomentari makalah yang dikaji, mengkritik, dan lain semacamnya. Dan, terus terang, saya mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan itu.

Kepada adik-adik kelas yang masih menempuh studi di Mesir, saya sering menyarankan mereka untuk menempuh jalan yang sama. Jangan hanya berkutat dengan diktat kuliah saja, ataupun kitab-kitab yang diajarkan oleh para ulama. Karena itu tidak cukup. Di samping mengaji, kita juga perlu belajar mengkaji. Jika dalam mengaji kita hanya duduk sebagai penyimak, maka sebagai pengkaji kita dituntut untuk menuangkan apa-apa yang telah kita simak, baik dengan tulisan maupun dengan penyampaian lisan. Apakah ini penting? Sangat penting. Sekian banyak orang yang hafal ini, hafal itu, bisa ilmu ini, bisa ilmu itu, tahu kaidah ini, tahu kaidah itu, tapi kalau disuruh menjelaskan, lidah mereka terasa kesusahan. Dan ketika diminta membuat tulisan, tangan mereka hanya menari dalam kebingungan.

Kenapa itu terjadi? Karena nggak dilatih. Kalau dilatih, sebenarnya itu mudah-mudah saja. Tapi, mengikut-sertakan diri dalam forum-forum kajian saja sebenarnya tidak cukup. Perlu ada kemandirian lebih lanjut. Yang saya lakukan, di samping mengikuti forum kajian, sebisa mungkin saya merutinkan diri untuk membaca tulisan-tulisan yang bagus. Lalu menuangkan apa-apa yang telah saya dapat dari tulisan-tulisan itu. Atau menuangkan apa-apa yang saya simak dari pengajian yang saya ikuti. Atau menuangkan hasil lamunan sendiri. Kalau ini dilakukan secara konsisten, stereotip tadi akan terpatahkan dengan sendirinya. Tapi, kalau kerjaan kita hanya mengaji, menghafal, tak mau berdiskusi, tak mau mengkaji, kita harus rela menerima stigma negatif tadi, sebagai insan akademis, yang belum mampu menunaikan kewajiban paling asasi. Yakni membaca dan menulis.

Penulis: Muhammad Nuruddin*

Alumnus Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Tinggalkan Balasan