Kita, Pesantren, dan Sastra

Rasanya seperti tersihir. Rasa sedih, semangat, haru, bahagia bahkan marah pun bisa muncul ketika mendengarkan orang berpuisi. Begitu juga dengan novel, seakan-akan siapa pun ketika membacanya akan hanyut begitu saja dan tak sadar hanya beberapa kali dudukan, novel yang tebal pun bisa terselesaikan. Sastra memang mempesona sekaligus syarat akan makna.

Sastra juga memeliki corak yang beragam jenisnya, mulai dari sufistik, nasihat, sosial, pergerakan dan lainnya. Mereka mempunyai sasaran sendiri, mencari maknanya bagi kehidupan, mencipta keindahan bahkan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Sebagaimana banyak orang bilang, “Ketika jurnalis dan berita tidak bisa berkata, maka sastralah yang berbicara.”

Esai ini sebenarnya ingin membahas suatu kelompok yang keberadaanya sangat dekat dengan sastra. Mereka adalah santri. Santri merupakan murid atau orang yang belajar kehidupan dan keagamaan di pesantren. Dari namanya, kata santri berasal dari bahasa Sanskerta “sastra” menjadi “sastri” lalu “santri”. Selain itu, materi pelajaran dalam dunia santri secara umum juga berbentuk sastra puisi dan prosa. Misalnya; nadhoman, barzanji, manakib, selawat dan syair.

Pesantren yang pertama muncul pada abad ke-14, telah bersinggungan langsung dengan sastra. Para wali menggunakan sastra untuk menyebarluaskan agama Islam. Maskumambang, pocung, mijil, durma, kinanthi, dan megatruh merupakan peninggalan sastra pesantren pertama kali. Selanjutnya, dalam Pesantren Studies buku 2 juz 2b karya Ahmad Baso menyatakan, bahwa pada abad ke-17 dan 18 pesantren menjadi tempat atau setidaknya inspirasi para pujangga dan sastrawan dalam berkarya. Contohnya: Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita. Ketiga tokoh ini berkarya dalam bentuk kakawin, serat dan babad.

Di saat bersamaan, juga muncul beberapa tokoh puisi sufistik yang menggunakan bahasa melayu. Mereka yaitu; Hamzah Fansuri, Bukhari Al-Jauhari, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri dan Abdurrouf Singkel. Mereka bisa disebut sebagai pelopor kesusastraan Melayu dan keberadaannya terpandang pada masa itu. Berkat jasa-jasa mereka, bahasa melayu yang asalnya merupakan bahasa lokal, kini menjadi bahasa nasional.

Dekade selanjutnya, yakni angkatan 70 sampai 90-an. Pada masa ini, kesusastraan yang bernafaskan Islam semakin merebak dan menggema, bahkan lebih luas dari pesantren. Beberapa sastrawan pada masa ini seperti; Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Ahmad Mustafa Bisri, Emha Ainun Najib, Taufiq Ismail, Goenawan Muhammad, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M, Kuntowijoyo, Muhammad Fudoli, Arifin C Noer, Ajmuddin Tifani, Abdul Wachid B.S, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, dan lain-lain. Menurut Acep Zamzam Noor, meskipun sastrawan tidak tinggal langsung di pesantren, namun mereka bersinggungan dengan pesantren dan tetap mewarnai sastra pesantren.

Begitu panjang pembahasan mengenai perkembangan sastra di pesantren hingga pelabelan sastra pesantren pun disertakan dalam sejarah sastra Indonesia. Tak terkecuali era sekarang, sastra pesantren masih menjadi sorotan. Habiburrahman El-Shirazy, Abidah El-Khaliqy, Ahmad Fuadi, Khilma Anis, hingga Usman Arrumy merupakan sebagian tokoh sastrawan pesantren yang Namanya sudah tak asing lagi.

Di Madura, kita bisa menemukan sosok yang mengangkat budaya pesantren dalam karyanya, beliau bernama D. Zawawi Imron. Beliau merupakan salah satu sastrawan yang konsisten dan menjadi ikon keberadaan sastra pesantren di Madura. Di pulau ini, sastra sangatlah dekat dengan kehidupan dan pulau ini sering dianggap sebagai lumbung sastrawan.

Ada dua pesantren yang dianggap paling produktif dalam bersastra yaitu, pesantren Al-Amin dan An-Nuqayyah. Karya para santri mereka banyak dimuat dalam majalah Horison. Menurut Jamal D. Rahman, banyak pesantren dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lain yang turut berkontribusi terhadap majalah sastra tersebut. Namun, santri Madura adalah yang paling produktif, baik dari kualitas dan kuantitasnya.

Hal lain yang menarik dari pesantren Madura adalah banyaknya sanggar dan komunitas yang menaungi proses kreatif santri serta alumninya. Wadah ini menyalurkan pembelajaran sastra yang terjalin secara kondusif dan mendukung. Tak heran, jika perkembangan sastra pesantren di Madura mendapatkan tempat yang patut diapresiasi atau bahkan diadopsi. Tentu ini hanyalah pandangan sekilas saja, bahwa khazanah sastra adalah jejak atas apresiasi karya yang telah ada.

Selain itu, yang patut dipahami bersama adalah betapa pentingnya budaya tulis-menulis. Sebuah karya tidak akan mendapatkan apresiasi tanpa ditulis dan dipublikasikan. Zaman telah menggiring semua perubahan ini. Mula-mula, karya sastra pesantren berupa manuskrip yang ditulis dengan proses lama, sebagian lagi didendangkan dengan lagu puji-pujian. Saat dunia percetakan sudah merambah, panggung sastra pesantren berkembang pesat. Kini, dunia sastra menembus batas digital, caption hingga posting-an feed instagram menjadi sarana yang apik untuk bersastra. Termasuk juga berbagai film nasional hasil adaptasi dari karya sastra pesantren.

Akhir kata dan catatan untuk bersama, bahwa budaya literasi merupakan tonggak bukti atas proses sastrawi para santri.

Wallahu a’lam

Penulis: Zainal Abidin Sueb (Alumni Pon.Pes Assalafiyah Kajen Pati dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

*Esai ini merupakan reproduksi ulang atas tulisan lama penulis di blog probadi pada 05 Juni 2016.

Baca juga: Bersyukur Kepada Allah – اشكر الله

Baca juga: Syekh Sholeh Al Ja’fari, Wali Besar Al Azhar dari Sudan

Tinggalkan Balasan