Kudus (27/04) Kiai Sya’roni Ahmadi yang merupakan ulama kharismatik asal Kudus menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 09.00 WIB di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus di usia 89 tahun setelah menjalani perawatan mulai tanggal 26-27 April 2021. Hal tersebut sesuai dengan surat keterangan meninggal yang dilampirkan oleh RSI Sunan Kudus.
KH. M. Sya’roni Ahmadi lahir di Kabupaten Kudus pada 17 Agustus 1931 dari pasangan Kiai Ahmadi dan Nyai Hj Masnifah. Terlahir dari keluarga santri yang gandrung mengkaji agama, mulai dari Al-Quran sampai tauhid, fikih, tasawuf, dan lain-lain. Meskipun terlahir dari keluarga yang berekonomi pas-pasan, beliau tetap rajin mengikuti pengajian yang diadakan di Kudus dan sekitarnya.
Masa kecil Kiai Sya’roni tergolong anak yang mendapatkan banyak cobaan lantaran beliau ditinggal oleh ibunya, Nyai Hj. Masnifah, pada usia 8 tahun. Sejak saat itu beliau diasuh oleh ayahnya. Namun tidak berlangsung lama karena menginjak usianya yang ke-13 ayahnya menyusul kepergian ibunya sehingga beliau menjadi yatim piatu di usia yang masih kecil.
Dengan keadaan yang demikian beliau memutuskan untuk bekerja di Pasar Kliwon Kudus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah beberapa lama kurang lebih setahun menjalani pekerjaanya di pasar, kemudian beliau merenung dan berfikir mau jadi apa nanti kalau begini terus? Lalu beliau memutuskan untuk mengaji dan menghafal Al-Quran di Pondok Kiai Arwani dan mengaji beberapa kitab kepada Kiai Turaichan.
Kiai Sya’roni banyak dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner dalam ilmu tafsir, ushul fiqh, fikih, manthiq, balaghoh, dan lain-lain. Dengan keilmuannya yang mendalam beliau mulai berdakwah di masyarakat pada usianya yang sangat muda. Dalam dakwahnya ini beliau menggunakan dua metode. Metode pertama yakni metode dakwah di masjid-masjid atau rumah warga yang dijadikan tempat mengaji. Metode kedua yakni pengajian umum atau tabligh akbar di acara-acara tertentu.
Pada tahun 1960 hingga 1970-an, Kiai Sya’roni berdakwah dengan sangat keras karena pada saat itu terdapat ideology komunisme yang dilancarkan oleh PKI. Gaya berdakwah keras ini sering dipakai KH Turaichan dalam berdakwah. Kemudian pada 1980-an beliau mengubah gaya dakwahnya dengan gaya yang melunak. Gaya ini dilakukan dengan pendekatan komparatif. Merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu yang selalu berubah. Jika masyarakat berubah dari waktu ke waktu maka metode berdakwah pun mesti berubah.
Di Kudus, Kiai Sya’roni telah memberikan banyak hal. Bahkan tradisi santri yang sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus -sehingga kota Kudus dijuluki kota santri- rasanya tak bisa dilepaskan dari jasa-jasa beliau. Dalam setiap pengajiannya, beliau mampu men-setting iklim toleransi antara beberapa kelompok yang ada, sebut saja Nahdliyin dan Muhammadiyah. Tak hanya itu, beliau juga sangat berjasa sebagai Nadhir Madrasah Qudsiyyah Kudus, Penasehat Rumah Sakit Yayasan Kesehatan Islam Kudus, Mustasyar PCNU Kudus, Penasehat Yayasan Arwaniyah, Mustasyar PBNU Pusat, dan masih banyak lagi peran-peran beliau di masyarakat.
Penulis: Lukman
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)