Mendialogkan Aswaja Nahdliyah ke Luar Negeri

Dua hari lagi, InsyaAllah, PCI Muslimat Sudan menyelenggarakan diskusi internasional dengan tema; “Pendidikan Sunni dalam Peran Keagamaan dan Sosial”. Pemantik utamanya dari Universitas Internasional Afrika/UIA, diperkuat pengantar akademik Rektor UIN Jakarta (Prof. Dr. Amani Lubis). Tema yang diangkat kali ini hasil dialog panitia dengan lingkungan terdekatnya, lokus dakwah NU Cabang Istimewa, sebut saja Sudan dengan dinamikanya yang bergerak cepat sejak beberapa tahun terakhir. Seolah tema ini menyambung misi Gus Dur saat menjadi Presiden RI dan berkunjung ke Sudan bahas soal Konstitusi dengan modal kesamaan kultur keagamaan Indonesia dan Sudan yang begitu kuat. Menurut mantan Menhan Sudan (Jen. Awadl bin Auf) bahwa hubungan Sudan dan Indonesia adalah hubungan spiritual. Hal ini tercermin dalam hubungan khas PCINU Sudan tidak jarang diundang Acara Keagamaan, terutama Sholawatan oleh tokohs masyarakat Sudan.

Acara diskusi kali ini merupakan peran manifest organisasi yang patut diapresiasi dan ditingkatnya menjadi gerakan kepeloporan dakwah. Maklum Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dan patut menjadi konsolidator kemajuan peradaban Islam. Selain itu, sebuah diskusi dapat menjadi memori dan inisiator agen-agen perubahan dalam skala lintas negara dan jangka yang panjang. Paling tidak, kata diskusi dalam tema bisa menghapus hirarki usia, jabatan, daerah dan bahkan gelar akademik siapa pun yang terlibat didalamnya agar target diskusi tercapai. Tidak dipungkiri, moment diskusi hanya akan bermanfaat bagi yang butuh pendapat orang lain (open-minded) meskipun seandainya amatiran. Dikatakan, pendapat orang amatiran mungkin benar dan pendapat seorang ahli mungkin salah.

Tema tersebut sengaja tidak menggunakan kata “Seminar” atau “Konferensi” yang cenderung melangit dan formal. Sebagai gantinya adalah kata sederhana dan membumi; yaitu “diskusi atau sebut saja pertemuan sudut pandang” dengan maksud memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta dari berbagai negara untuk menyampaikan perspektifnya. Tentu perwakilan NU berusaha menyampaikan tema dalam perspektif NU; organisasi yang sejak semula misi global dikenal peristiwa Komiter Hijaz dan tercermin dalam simbol “Globe”-nya. Diharapkan nanti muncul sudut pandang Sudan, Turki, Tiongkok, Malaysia, Tanzania, Somalia, Yaman, Mesir dan sebagainya mengenai tema yang fokusnya adalah Sunni; ajaran autentik yang disebut oleh Nabi Saw; “Ajaranku (Nabi) dan para Sahabatku”. Dalam kaca mata NU, Aswaja dipahami sebagai metode berfikir bukan pendapat atau madzhab yang siap pakai dan terlembagakan. Bisa dikatakan eksistensi Aswaja adalah ijtihad itu sendiri, namun dengan memperhatikan batas ruang, waktu dan siapa yang berhak melakukannya. Subtansi Aswaja adalah nilai yang bersumber dari wahyu, diturunkan oleh institusi mu’tabrah (kredibel) yang dalam konteks Indonesia diantaranya adalah Nahdlatul Ulama’/NU.

Baca juga: Memaknai Terbenamnya “Islam Politik” di Sudan, Afrika

Jika Aswaja berlaku universal dan melintasi sejarah, maka pendidikannya berlaku partikular menyesuaikan karakter bangsanya masing-masing dan institusi lokal yang mewadainya. Jika Aswaja sebuah nilai, maka NU adalah alat yang lengkap berupa sarana pendidikan agar nilai-nilai Aswaja itu membumi di tengah masyarakat, dengan prinsip moderasinya, kesimbangannya, toleransinya, keadilannya hingga amar ma’ruf nahi mungkarnya. Pendidik Utamanya adalah pendiri yang menganggap siapa pun yang ngurusi NU sebagai santrinya dan mendo’akannya khusnul khatimah. Jika mereka berbicara, seperti apakah institusi Aswaja di negara mereka ?!. Mungkinkah mereka mengenal NU lebih dekat, lebih dalam atau bergabung menjadi anggota istimewa ?!.

Khartoum, 19 Feb 2021

Penulis: Kiyai Ribut Nur Huda, M.A. (Mustasyar PCINU Sudan)

Tinggalkan Balasan