Kajian Tafsir Maqashidi: Toleransi dan Menjaga Lingkungan dari Kerusakan

Sabtu, 13 Februari 2021 Lembaga Pengkajian al-Qur’an Nahdlatul Ulama (LPQNU) Sudan sukses menggelar Kajian Tafsir Maqashidi seri 4 sekaligus memeriahkan Hari Lahir Nahdlatul Ulama ke-95 yang bertempat di Wisma PCINU Sudan.

Mengkaji Kitab At Tafsir Al Maqashidi karya Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag. dengan mengangkat tema “Bermuamalah dan bertoleransi dengan non-Muslim, serta merawat dan menjaga lingkungan dari kerusakan.” Dikupas tuntas oleh 2 pemateri; Ustadz M. Jalaluddin Faiz selaku pemateri 1 dan Ustadz Ahkim Khoiron selaku pemateri 2.  Acara ini dimoderatori oleh M. Ulin Nuha dan dihadiri oleh Moch Hibatullah Zain, BA. Selaku ketua Tanfidziyah beserta jajarannya, Achmad Fauzi selaku ketua LPQNU beserta jajarannya, dan oleh segenap santri NU yang sangat antusias dalam mengikuti acara.

Dalam pemaparan yang disampaikan oleh Ustadz Ahkim Khoiron, menjelaskan bahwa tafsir Maqashidi adalah salah satu perspektif dari perspektif tafsir lain yang mengkaji dan menyingkap makna rasional dengan tujuan yang bermacam-macam dalam merealisasikan kemaslahatan umat.

Seperti yang telah kita saksikan bersama di zaman ini, di waktu yang belum lama dan bahkan hingga saat ini masih terjadi pertikaian antara umat beragama. Si A mengatakan kami benar dan si B yang keliru, kami yang banyak berkontribusi dan mereka tidak ada apa-apanya, keberadaan mereka meresahkan dan demikian seterusnya. Semua hal itu muncul ke permukaan akibat dari kurangnya memahami arti perbedaan dan saling menghargai dalam hidup beragama di masyarakat, maka tidak jarang kita mendapati muncunya sikap diskriminasi yang terus melanda dan kerukunan yang tidak terjamin dalam hidup bermasyarakat.

Di sisi lain kita telah menyaksikan bahwa betapa alam yang mulai tidak bersahabat akibat ulah manusia yang seringkali tidak menjaga dan merawat lingkungan. Belum lama kita telah menyaksikan bencana alam yang terjadi di mana-mana; longsor di Sumedang, banjir di Kalimantan Selatan, banjir dan longsor di Manado, gempa di Mamuju dan Maje’ne Sulawesi Barat, erupsi gunung Sinabung dan Semeru.

Bermuamalah dan bertoleransi dengan non-Muslim

Toleransi beragama adalah sikap untuk saling menerima dan terbuka terhadap adanya umat dengan agama yang beragam. Tidak peduli terhadap agama apa yang dianut, setiap orang selayaknya dapat saling menghargai satu dengan yang lain. Tujuan dari toleransi beragama yaitu untuk membuat suasana atau situasi yang dan harmonis serta menciptakan kerjasama antar umat beragama. faktor pendorong toleransi dalam kehidupan antar umat beragama adalah kesadaran dalam beragama itu sendiri. Agama mengajarkan hal-hal yang baik dan orang yang beragama akan berperilaku sebisa mungkin sesuai dengan ajaran agamanya. Namun, prinsip menghormati agama lain bukan berarti mendukung dan menyetujui praktik agama tersebut. Prinsip menghormati adalah sikap toleransi beragama tanpa adanya cacian dan hinaan. Ini sebagaimana tergambar dalam QS. 6 [al-An’am]: 108:

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

Mengenai ayat di atas, diriwayatkan oleh al-Thabari dari Qatadah bahwa di zaman Nabi SAW Umat Islam mengejek berhala-berhala Kaum Kafir, maka ejekan itu kemudian dibalas oleh mereka. Oleh karena itu, Allah melarang untuk mengejek tuhan mereka dikarenakan mereka orang-orang yang tidak berilmu.

Dalam Surat al-Baqarah ayat 256, Allah mengajarkan Umat Islam untuk menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama. Ayat tersebut merupakan larangan pemaksaan terhadap orang lain agar memeluk Islam. Ayat tersebut tepatnya berbunyi:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar terhadap Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Dalam praktiknya, prinsip la ikraha fi al-din ini, justru merupakan senjata ampuh untuk menarik umat agama lain memeluk Islam. Hal tersebut dialami Kaum Muslim China yang berinteraksi dengan masyarakat. Mengutip pendapat De Hulde, Orientalis pakar sejarah dari Prancis, Zarkasyi mengatakan bahwa selama 6 abad menempati China, orang Islam tidak melakukan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni umat agama lain yang miskin. Ketika terjadi kelaparan di Chantong, mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, hingga ketika dewasa anak-anak itu menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Meskipun diberi kebebasan dalam beragama, namun pada saat yang sama al-Qur’an secara tegas melarang seorang muslim keluar dari Islam sebagaimana diterangkan dalam QS. al-Baqarah: 217. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kebebasan yang bertanggungjawab, bukan kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan yang bertanggung jawab ini bila keluar dari si muslim akan berbuah toleransi, sementara jika ke dalam, akan menambah ketaatan.

Seperti yang dijelaksan oleh ketua Tanfidziyah Moch Hibatullah Zain, BA. Beliau memaparkan bahwa dalam al-Quran saja sudah banyak ayat yang menjelaskan tentang toleransi dengan non muslim, apalagi toleransi sesama muslim. Jika Allah berkehendak maka semua non-Muslim bisa menjadi muslim, oleh karena itu yang diperintahkan hanya untuk mengajak bukan memaksa, dan jangan sekali-kali menyalahkan agama lain.

Poin-poin:

 1. Kebebasan beragama

 2. Penghormatan eksistensi agama

 3. Dialog lintas agama

Merawat dan menjaga ingkungan dari kerusakan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat lepas dari lingkungan, manusia membutuhkan lingkungan, manusia tidak akan sanggup hidup tanpa lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu, sungguh tidak baik bagi mereka yang tidak ramah atau malah merusak lingkungan hidup. Dewasa ini, pemanasan global telah menjadi momok bagi kehidupan masyarakat dunia. Rangkaian bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan hewan. Secara simbolis semua itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang tidak bermoral terhadapnya. Manusia adalah makhluk Tuhan satu-satunya yang diberikan potensi untuk mengolah dan menata alam ini dengan cara yang kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam proses pengelolaan alam diperlukan tindakan moral yang baik agar tidak terjadi penyimpangan dan bahkan perusakan yang menyengsarakan.

Pada klimaknya ketika alam sudah marah, siapakah yang akan disalahkan? Alamkah? Atau manusia yang terlalu serakah? Sebagian masyarakat menyalahkan alam yang dianggap sudah tidak lagi bersahabat. Padahal kalau kita pikir dengan jernih, kejadian itu tidak lepas dari ulah tangan manusia yang tidak peduli lagi dengan keserasian alam yang diciptakan oleh Allah SWT. Untuk memenuhi ambisinya, manusia dengan serakahnya menggunduli hutan, mengganti area pertanian dengan area pemukiman dan lain-lain sehingga alam tidak dapat lagi kita saksikan seperti sediakala.

Dari sinilah pentingnya mengkaji permasalahan lingkungan dari berbagai aspek. Salah satu aspek yang dapat dijadikan dasar untuk melihat permasalahan lingkungan adalah aspek agama. Aspek agama menjadi penting, mengingat agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Islam sebagai agama yang bersumber dari wahyu Allah memberikan beberapa petunjuk penting tentang berbagai peristiwa alam termasuk dalam hal ini adalah bencana alam dan masalah lingkungan. Allah menciptakan alam semesta ini dengan rapi dan sistematik. Manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan memakmurkannya.

Tiga konsep dasar islam; Akidah, Syari’ah, dan Akhlak yang telah memberi petunjuk jelas tentang pemeliharaan lingkungan.

Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa kerusakan pada alam tidak lain akibat ulah tangan manusia. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah QS: Ar-Rum: 41:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

 Sebagai makhluk sosial, manusia sudah semestinya bertindak sesuai tatanan moral yang baik. Tanpa adanya tatanan moral, sudah dapat dibayangkan bagaimana hubungan-hubungan tersebut akan mengalami kekacauan dan hanya akan memberikan ketidaknyamanan dalam kehidupan umat manusia. Dalam konteks moral, kehadiran agama telah memberi petunjuk yang praktis dalam rangka menyempurnakan moralitas manusia.

Adapun ayat-ayat yang membahas tentang lingkungan dan telah tertuang di dalam al-Qur’an: Al-Baqarah: 22, Al-Baqarah: 30, Al-Baqarah: 35, Ar-Ra’d: 3, Ar-Rum: 41, dan Ar-Rahman: 7.

Baca juga: Mengkaji Moderasi Islam dalam Khazanah Tafsir

Kajian Tafsir Maqashidi yang diadakan oleh LPQNU Sudan ini berakhir dengan memuaskan setelah sebelumnya terlihat antusias dari santri NU Sudan yang menyampaikan gagasan dan mengajukan pertanyaan. Banyak gagasan-gagasan  yang mengalir dengan indah dan baik dan sangat relevan dengan kondisi saat ini. Harapan ke depannya kita dapat dengan baik mengaplikasikan isi dari kajian Tafsir Maqashidi seri 4 ini ke dalam kehidupan sehari-hari.//(Suprianto)

One Response

Tinggalkan Balasan