Mahmud Muhammad Thaha, Seorang Cendekiawan muslim kontemporer yang berani mendobrak dogma yang telah lama mengakar di kalangan umat islam. Beliau dilahirkan pada tahun 1909 atau 1991 di Rufa’ah, kota kecil di tepi timur Blue Nile, Sudan pusat.
Masa kecil Mahmud Thaha dihabiskan dengan suasana kehidupan sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh kerabat jauh dari keluarga orang tuanya. Di mana pada tahun 1915, ibunya menghadap kepada sang pencipta yang kemudian lima tahun setelahnya disusul oleh ayahnya yang wafat tepat pada tahun 1920.
Mahmud Thaha menyelesaikan studinya pada bidang teknik di Gordon Memorial College yang kini kita kenal dengan nama ‘University of Khartoum’. Partisipasinya dalam pergerakan di bidang politik dimulai pada akhir tahun 1930 yang pada dasarnya disebabkan karena ketidakpuasannya terhadap pola pendidikan yang ada pada masa itu.
Pada tahun 1945 Mahmud Thaha dan beberapa orang sahabatnya mendirikan Al-Hizb al-Jumhuri (Partai Republik) sebagai sarana dalam memperjuangkan ideologinya untuk kemajuan masyarakat. Dalam berpendapat, ia mengeluarkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang dileburkan dengan pendapat pribadinya yang mana tidak pernah difatwakan oleh para ulama lain sebelumnya.
Baca juga: Abuna Fis Sudan; Syeikh Hasyim Al Mu’tashim At Tijani As Sudani
Satu tahun setelah pendirian partai Republik, tepatnya di tahun 1946, ia ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Hal ini dilakukan oleh kolonial inggris karena seringnya protes yang dilancarkan Mahmud Thaha melalui partai Republik yang ia pimpin.
Dalam masa pengasingan, Mahmud Thaha mencoba memikirkan kembali mengenai ajaran al-Qur’an sehingga muncul pemikiran beliau yang sangat kontroversial dan dikenal dengan ‘pesan kedua Islam’ (second message). Setelah berakhirnya masa pengasingan, ia mulai aktif menulis pada surat kabar dan ceramah guna mengimplementasikan pemikirannya.
Pada tahun 1984-1985, penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap kaum Republikan mencapai puncaknya. Di mana pada tahun ini pula Mahmud Thaha ditahan untuk diadili atas dasar tuduhan melakukan penentangan terhadap kebijakan penerapan hukum syari’ah secara paksa. Pada tanggal 19 Desember 1984 setelah melalui masa tahanan selama kurang lebih 19 bulan tanpa tuduhan yang benar-benar jelas, akhirnya kaum Republikan dibebaskan. Setelah bebas, kaum Republikan tetap mengkampanyekan penolakan proses islamisasi di Sudan, yakni upaya pencabutan Undang-Undang di bulan September 1983 sebab Undang-undang ini mendistorsi Islam. Dengan upaya penolakan tersebut, rezim Numeiri kembali melakukan penangkapan terhadap empat orang tokoh kaum Republikan beserta Mahmud Thaha.
Pada tanggal 7 Januari 1985, Mahmud Thaha dan keempat kawannya dibawa ke pengadilan kriminal setelah diperoleh persetujuan dari Presiden Numeiri. Pada tanggal 8 Januari 1985, hakim membacakan keputusannya terhadap Mahmud Thaha dan keempat kawannya. Oleh hakim memutuskan kelimanya dijatuhi hukuman mati. Hukuman ini didasarkan bahwa kelima orang ini terbukti melakukan penghasutan, perombakan konstitusi, mendorong oposisi tidak sah terhadap pemerintah, mengganggu stabilitas umum, dan menjadi organisasi terlarang. Pada tanggal 15 Januari 1985, pengadilan tingkat banding Sudan kembali mengumumkan hukuman mati kepada Mahmud Thaha. Kemudian, eksekusi dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 1985 yang dipimpin langsung oleh presiden Numeiri.
Seorang saksi mata (reporter Judith Miller) Menceritakan:
“Sesaat sebelum waktu yang ditentukan, Mahmud Thaha digiring ke halaman. Lelaki yang dikutuk itu, tangannya diikat di belakangnya, lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari tempat aku duduk, kupandangi ketika para pengawal mendesaknya. Ia tampak lebih muda daripada usianya yang telah menginjak usia tujuh puluh tahun. Ia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan kemudian menatap diam-diam ke arah kerumunan. Ketika orang-orang melihatnya, banyak dari mereka berdesakan di antara kerumunan itu berdiri sambil sesekali mengejek dan mengacungkan tinjunya. Beberapa melambaikan al-Qur’an di udara. Aku hanya bisa melihat sekilas wajah Thaha sebelum algojo meletakkan karung berwarna oatmeal di atas kepala dan tubuhnya. Saya tidak akan pernah melupakan ekspresinya: Matanya menantang; mulutnya tegas. Ia tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut.”
Lima belas tahun kemudia ketika seorang wartawan Sudan bertanya kepada Numeiri tentang kematian Mahmud Thaha, Numeiri menyatakan penyesalan dan menuduh seorang ‘Islamis Hasan al-Turabi’ (menteri kehakiman pada saat itu) “Secara rahasia merekayasa” eksekusi tersebut. Dan yang lain pun menyalahkan al-Turabi atas eksekusi tersebut.
Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha yang dianggap Kontroversial (Nasikh-Mansukh; Makki-Madani)
Hukum (syari’ah), menurut beliau sebagaimana yang lain mengalami perubahan dari zaman ke zaman (evolusi). Evolusi syari’ah di sini merupakan evolusi yang bergerak dari satu teks (al-Quran) ke teks yang lain kemudian dari teks yang sesuai dengan peradaban abad ketujuh yang telah dilaksanakan dan beranjak ke teks yang pada saat itu terlalu maju. Oleh karena itu ditangguhkan.
Pemikiran revolusioner Mahmud Thaha berupa ide atau proses penangguhan (nasakh) dalam faktanya merupakan suatu penundaan tetapi bukan dalam artian yang final dan konklusif. Di mana teks-teks yang turun di Makkah lebih menegedepankan penyeruan pada umat manusia tanpa membedakan kepercayaan atau agama (ayat Makiyah lebih bersifat universal dan egaliter) dan teks Makiyah lebih mengajak ke arah perdamaian. Hal ini berbeda dengan ayat Madaniyah yang bersifat sektarian (ini dibuktikan dengan penyebutan orang-orang yang beriman yang berkonotasi pada umat Islam), ayat madaniyah juga lebih mengedepankan perlunya untuk mengedepankan pedang dalam persoalan penyebaran Islam (pada persoalan jihad).
Baca juga: Pengertian Tasawuf dan Hukum Mempelajarinya
Pendekatan yang digunakan berupa pendekatan ushul fiqh yang merepresentasikan pemikiran Thaha dengan merekonstruksi tiga konsep dasar ushul fiqh, yaitu konsep tentang syari’ah, nasakh, dan Makiyah-Madaniyah. Berdasarkan hasil rekonstruksinya terhadap syari’ah, menurut Thaha, syari’ah ‘hanyalah’ hasil pemahaman manusia terhadap din sehingga –sebagaimana fiqh—juga harus berkembang. Sementara itu, naskh menurut Muhammad Thaha adalah penangguhan keberlakuan suatu ayat hingga datang waktu yang tepat untuk diberlakukan. Adapun Makiyah-Madaniyah, Thaha menyatakan bahwa Makiyah adalah ayat-ayat usul yang menjadi risalah Islam kedua yang ditujukan kepada masyarakat modern dan menjadi pemilik waktu abad ke-dua puluh, sementara Madaniyah adalah ayat-ayat furu’ yang ditujukan kepada masyarakat sebagaimana abad ketujuh dan menjadi risalah pertama yang sudah selesai menjalankan tugasnya. Dari hasil rekonstruksinya terhadap tiga konsep tersebut, Taha menyimpulkan bahwa pada saat ini umat Islam harus menjalankan ayat Makiyah dan me-nasakh ayat Madaniyah. Ayat Makiyah saat ini menjadi muhkam, sementara Madaniyah mansukh. Ijtihad sebagai bentuk reaktualisasi bukan purifikasi
Karya-Karya Mahmud Muhammad Thaha:
1. السفر الأول
2. أسس دستور السودان
3. الحزب الجمهوري على حوادث الساعة
4. الحزب الجمهوري يرسل خطابا لجمال عبد الناصر
5. الإسلام
6. رسالة الصلاة
7. طريق محمد
8. الرسالة الثانية في الإسلام
9. التحدى الذي يوجه العرب
10. مشكلة شرق الأوسط
11. الدستور الإسلامي؟ نعم أم لا
12. بيننا وبين محكمة الردة
13. زعيم جبهة الميثاق في الميزان ( الثقافة الغربية في الإسلام)
14. الإسلام برسالته الأولى لا يصلح الإنسانية القرن العشرين
15. أساس حماية الحقوق الأساسية
16. لا إله إلا الله
17. أسئلة وأجوبة (الكتاب الأول)
18. القرآن ومصطفى محمود وفهم العصري
19. خطوة نحو الزواج في الإسلام
20. أسئلة وأجوبة (الكتاب الثاني)
21. تطوير شريعة الأحوال الشخصية
22. الثورة الثقافية
23. الكتاب الأول من سلسلة رسائل ومقالات
24. تعلمون كيف تحصلون
25. الكتاب الثاني من سلسلة رسائل ومقالات
26. الله نور السموات والأرض
27. الإسلام وإنسانية في القرن العشرين
28. الماركسية في الميزان
29. أضواء على: شريعة الأحوال الشخصية
30. الإسلام والفنون
31. الدعوة الإسلامية الجديدة
32. الدين والتنمية الإجتماعية
33. من دقائق حقائق الدين
34. الديباجة
35. البيان الذي القاه رئيس الحزب في الإجتماع العام
36. قل هذه سبيلي
Sumber:
P.J Beraman, dkk, The Encyclopaedia of Islam, Leiden, Brill, 2000, hlm. 96
Mahmud Muhammad Thaha, Syari’ah Demokratik, terjemahan oleh Nur Rachman, eLSAD, Surabaya, hlm. 27
Mahmud Muhammad Thaha, The Second Message of Islam (Syracuse: University Press, 1987), hlm. 2
P.J. Bearman, dkk, Op. Cit., hlm. 97
Packer George, The Moderate Martyr (11 September 2006), The New Yorker
Kitab الرسالة الثانية في الإسلام /The second message of islam
Penulis: Suprianto
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response