Pengantar Politik Islam (1)

Dewasa ini semakin disadari oleh banyak kalangan bahwa politik merupakan perihal yang melekat pada lingkungan atau aktivitas manusia. Politik hadir dimana-mana di lingkungan sekitar kita. Sadar atau tidak, mau atau tidak, politik ikut memengaruhi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Kondisi ini berlangsung sejak kelahiran hingga kematian manusia, tidak peduli apakah manusia itu ikut memengaruhi proses politik atau tidak, yang jelas politik memengaruhi semua orang. Oleh karena pentingnya politik maka pada artikel ini kita akan mendalami tentang politik islam.

Aristoteles pernah mengatakan bahwa “politik adalah magister of science” maksudnya tuan dalam perspektif ilmu pengetahuan (scientific) tetapi ia menganggap pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Bagi Aristoteles, dimensi politik memengaruhi lingkungan lain dalam kehidupannya. Politik yang berarti mengatur tentang yang seharusnya kita lakukan dan yang tidak semestinya kita lakukan. Inilah yang memperjelas pentingnya mempelajari politik.

Politik dalam bahasa latin adalah politicus, dalam bahasa Yunani adalah politicos, yang berasal dari kata polis yang bermakna kota. Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu negara yang mencakup beraneka ragam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisir serta cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan politik menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan).

Politik dalam bahasa arab disebutkan dengan kata Siyasah (السياسة). Dalam literatur pra-islam siyasah merujuk kepada manajemen urusan dalam suatu negeri. Penggunaan tersebut membuat maknanya dipakai dalam bahasa arab modern. Dalam kajian-kajian politik, seperti Siyasah al-Madaniyyah karya al-Farabi, siyasah merjuruk pada cabang filsafat yang mendalami seni berpolitik. Dalam fiqh islam sunni, siyasah terdapat kata Siyasah Syar’iyyah, yang berarti pemerintahan berdasarkan hukum syari’ah. Kata tersebut merujuk kepada doktrin atau dimensi politis dari hukum islam yang sudah ada sejak abad pertengahan untuk mengharmonisasikan hukum islam dengan tuntutan dalam urusan politik.

Pengertian politik menurut para ahli:

Menurut Joyce Mitchel dalam bukunya mengatakan Political Analysis abd Public Policy: “Politics is collective decision making or the making of public politicies for an entire society” (Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat).

Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakannya.

Sedangkan menurut Deliar Noer, politik adalah aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat. Istilah politik banyak dipakai untuk konnsep pengaturan masyarakat menuju masyarakat yang baik.

Menurut Rod Hague, politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.

Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik adalah proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi suatu masyarakat. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut adalah pemerintah dan masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk memengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintah itu.

Sejak awal hingga perkembangannya yang terakhir, sekurang-kurangnya ada lima pandangan mengenai politik,

Pertama, politik ialah usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Disebut juga pandangan klasik. Sudut pandang ini melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwah yang menyangkut kebaikan seluruh anggota masyarakat. Pandangan ini menekankan pada apa yang seharusnya dicapai dalam kebaikan bersama seluruh warga negara dan dengan cara bagaimana sebaiknya atau dengan cara apa sehingga tujuan itu dapat dicapai.

Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan pembicaraan negara dan pemerintah. Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Menurut Max Weber, negara dipandang sebagai suatu komunitas, monopoli penggunaan paksaan fisik yang sah, karena itu politik memengaruhi pembagian kekuasaan antar kelompok dalam satu negara, di samping itu negara merupakan suatu struktur organisasi atau administrasi yang konkret.

Ketiga, politik ialah kegiatan yang diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Pandangan ini melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari ilmu hakikat kedudukan dan penggunaan kekuasaan dimana pun kekuasaan itu ditemukan. Robson sebagai salah satu seorang yang mengembangkan pandangan ini merumuskan ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, memengaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.

Keempat, politik ialah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Disebut juga konsep fungsionalisasi. Pandangan ini melihat politik sebagai kaitan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Di antara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional ini dalam mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Horald Lasswell.

Kelima, politik ialah konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Pandangan ini melihat kegiatan politik sebagai kegiatan untuk memengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tidak lain sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya ini seringkali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara berbagai pihak, dalam hal ini adalah diantara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai.

Ada pula orang yang seringkali menilai politik sebagai sesuatu yang buruk, kotor bahkan jahat. Padahal dengan berpolitik keadilan bisa diwujudkan. Dengan berpolitik juga kesejahteraan masyarakat akan didapatkan. Islam yang bukan hanya agama ritual melainkan agama ideologi yang memiliki tatanan sempurna memiliki peranan penting dalam mengatur seluruh aspek kehidupan baik urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.

Maka jika ada yang mengatakan bahwa islam tidak usah berpolitik, adalah salah besar karena berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bahkan memikirkan atau memperhatikan urusan umat islam hukumnya fardlu (wajib). Rasulullah pernah bersabda “Barang siapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan terlepas dari orang itu. Dan barang siapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”.

Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai pemikiran politik islam kita perlu mengetahui apa itu pemikiran politik islam. Pemikiran politik islam yang merupakan pemikiran atau gagasan tentang bahasan-bahasan politik berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta praktik-praktik politik para Khulafa al-Rasyidin dalam rangka terciptanya kesejahteraan (kebaikan) di dunia dan akhirat.

Baca juga: Eksplorasi 17 Desember; Menuai Hikmah Jalaluddin Rumi

Berbicara tentang pemikiran tentang pemikiran politik islam di abad klasik (650-1250 M) dan pertengahan (1250-1800 M), berarti bicara soal teori dan konsep tentang politik islam yang digagas oleh para ulama dan pemikir islam, diantaranya Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lainyya. Berdasarkan kajian yang mendalam tantang pemikiran-pemikiran merea tentang politik kenegaraan, terdapat beberapa prinsip dasar (al-mabda al-asasiy) bagi tegaknya sebuah negara atau pemerintahan dalam islam. Berikut ini disampaikan beberapa prinsip tersebut:

  1. Amanah (al-mabda al-amanah)
    Amanah (trust) dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus menjadi dasar dalam berbagai aktivitas, dan kebijakan, terutama ketika menyangkut hubungan antara sesama anggota masyarakat dengan pemerintah, rakyat, pejabat, lembaga tinggi negara, parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Hukum dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh badan perundang-undangan merupakan amanah yang harus direalisasikan (dilaksanakan) oleh pemerintah dalam setiap tingkatannya, dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling bawah. Oleh karena itu, para pengemban amanah (pemerintah) akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti, baik di hadapan rakyat atau di hadapan Allah di akhirat kelak. Dengan demikian, amanah sebagai prinsip dasar dalam kehidupan bukan saja dilaksanakan dalam konteks kehidupan perpolitikan saja, tetapi juga dilaksanakan dalam konteks kehidupan keseharian, sehingga amanah dapat mewarnai tata pergaulan dalam bermasyarakat dan bernegara.
  2. Musyawarah (al-mabda al-syura)
    Pelaksanaan musyawarah harus didasarkan pada keyakinan bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan orang banyak harus diputuskan bersama secara kolektif dengan mekanisme yang disepakati bersama. Bagi umat Islam di dalam melaksanakan musyawarah pastinya terikat dengan ajaran agama yang membimbingnya, agar hasil keputusan musyawarah mencerminkan keputusan yang bijaksana dan berbobot (berkualitas), maka musyawarah harus diwarnai dengan etika, moral, dan akhlak yang mulia, serta harus berada pada kondisi yang bebas dari berbagai tekanan, harus transparan, jujur (amanah), bertanggung jawab, serta adanya kesamaan tujuan yang mengacu pada wujudnya kebaikan bersama (maslahah ammah), dan tidak menonjolkan egoisme golongan atau kepentingan-kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi.
  3. Persamaan (al-mabda al-musawa)
    Prinsip persamaan yang diajarkan Islam menjadikan seseorang memiliki sikap yakin diri (confident) dan sikap tawadhu` (yaitu sikap yang tidak menunjuk-nunjuk prestasi, tidak sombong, tidak egoistik, tidak feodalistik). Implikasi dari semua itu seseorang dapat menerima dan mengapresiasi orang lain, tidak memandang rendah atau memandang kecil orang lain. Jika kondisi ini tercipta dalam kehidupan masyarakat, maka akan wujud kehidupan yang nyaman karena diwarnai oleh sikap kebersamaan dan gotong royong, transparan dan penuh kesadaran.
  4. Keadilan (al-mabda al-‘adalah)
    Adil (al-`adalah) adalah menetapkan sesuatu secara proporsional dan objektif, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Islam memerintahkan umatnya agar menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar dalam bersikap dan memperlakukan orang lain, karena realitasnya keadilan berimplikasi pada terciptanya keamanan dan ketentraman hidup. keadilan (adil) merupakan landasan pokok dalam pelaksanaan supremasi hukum, sebagaimana juga amanah menjadi dasar dalam pergaulan dan interaksi yang baik antara sesama anggota masyarakat dan dalam aktivitas berpolitik. Sikap adil dan amanah, keduanya merupakan bagian dari akhlak (moral Islam) yang berimplikasi pada keberhasilan melahirkan masyarakat yang transparan. Jika keadilan wujud secara merata dalam kehidupan masyarakat dan negara, maka itu adalah sebuah indikasi berdirinya pondasi yang kokoh bagi negara tersebut. Karena semua pengelolaan dan kebijakan politik dihormati oleh semua pihak.
  5. Kemajemukan
    Majemuk atau pluralisme adalah paham yang mempertahankan keaneka-ragaman perbedaan dalam masyarakat (plural society), baik dari dimensi agama, etnik, budaya, kecendrungan, bahasa, dan sebagainya. Pluralitas merupakan realitas kehidupan dan fenomena alami (natural) bagi kehidupan manusia di bumi ini, dan ini perlu dijaga untuk tujuan terciptanya keharmonisan hidup, keamanan, saling mengenal dengan baik, sehingga terhindar dari konflik. Pluralisme hanya akan menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa kalau lahir dalam kondisi sosial politik yang menerimanya dengan sepenuh hati sebagai fenomena alami, adanya saling pengertian diantara sesama anggota masyarakat, saling membutuhkan antara satu dengan yang lain melalui kerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan, kesejahteraan, stabilitas politik, dan sebagainya. Jika terjadi perbedaan, baik dalam pandangan, pemikiran atau pun sikap tidak diekspresikan dengan kekerasan, tetapi dicarikan sosusinya melalui musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama dan untuk kemaslahatan bersama.

Catatan: Hasil rangkuman kajian politik islam yang diselenggarakan oleh LAKPEDAM NU Sudan pada 24 Juni 2019 dengan narasumber Bapak Drs. Rossalis Rusman Adnan, M.B.A. dan Ustadz Azim Aufaq, BS. dan disusun dari berbagai sumber.

Editor: Lukman Al Khakim

One Response

Tinggalkan Balasan