Melihat demografi masyarakat Indonesia yang religius dan mayoritas beragama Islam, masyarakat biasanya dapat lebih mendengar dan mengikuti pesan serta nasihat para pemuka agama atau yang akrab dengan sebutan Ustaz, Kiai, atau kata serapan yang diambil dari bahasa arab yaitu Ulama. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei soal profesi yang paling berpengaruh di Indonesia. Hasilnya, sosok ulama menjadi profesi yang paling berpengaruh bagi masyarakat dari tujuh profesi terkemuka di Indonesia. Profesi ulama menduduki posisi pertama dengan presentase 51,7 persen. Survei soal profesi yang paling berpengaruh tokoh agama lainnya seperti Biksu, Pastor, dan lain-lain. Tokoh agama tidak hanya dilihat profesi tapi panutan, identitas keilmuannya yang jadi panutan publik. Oleh karena itu, ulama sangat menjadi referensi publik untuk didengar himbauannya.
Secara bahasa, kata Ulama adalah bentuk plural dari kata alim yang merupakan isim fâ‘il dari kata dasar ‘ilm. Jadi alim adalah orang yang berilmu. Kata Ulama ini kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia untuk arti orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam. Artinya Ulama adalah orang-orang dengan spesifikasi penguasaan ilmu-ilmu syariah, dengan semua detail, mulai dari hulu hingga hilir. Firman Allah dalam QS. Fatir 28; “Sesungguhnya hanya para ulama yang takut kepada Allah, di antara para hamba-Nya”. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi”. Dari definisi tersebut jelas bahwa fungsi utama Ulama adalah menjadi pewaris Nabi, mewarisi ajarannya (ilmunya), mewarisi tingkah laku (amal), dan mewarisi akhlak serta perjuangannya.
Pada zaman kepimimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa Ar-Rasyidin. Di samping Ulama berperan sebagai pemimpin Negara, juga berperan sebagai pemimpin agama. Hal ini jelas bagaimana mereka mengeluarkan kebijakan tentang berbagai persoalan rakyat dan Negara. Di samping itu juga menjelaskan fatwa-fatwa hukum tentang agama, namun setelah selesainya masa tersebut peran ganda khalifah mulai hilang. Maka terjadilah pemisahan di antara keduanya (Negara dan agama). Konsekuensi dari pemisahan peran keduanya sering terjadi adanya pertentangan. Hal ini tercermin dari sikap ulama yang bervariasi terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu representasinya, banyak kita temukan sekarang di Indonesia pemuka agama yang memprovokasi masyarakat baik berupa cacian, makian serta adu domba. sikap tersebut sangat jauh melewati koridor fungsi utama Ulama.
Terkait provokasi, Islam telah memberikan larangan agar umatnya tidak terjerumus dalam hal tersebut karena merupakan perbuatan yang sangat tercela, merusak persaudaraan, dan sangat merugikan masyarakat. Dalam bahasa Arab provokasi dikenal dengan sebutan ‘tahrisy‘. Menukil Imam Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab Tahrisy adalah memprovokasi suatu kaum”. Dipertajam lagi oleh kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah; secara bahasa ‘Tahrisy‘ mempunyai makna memprovokasi manusia atau hewan agar menimbulkan persaingan di antara keduanya”. Menghasut atau memprovokasi dengan tujuan untuk merusak kerukunan antar umat beragama apalagi yang seagama jelas haram hukumnya, dan tidak sejalan dengan perintah Allah SWT. Dari sebagian representasi tahrisy yaitu mengadu domba (namimah). Larangan namimah disebutkan dalam QS. Al-Qalam: 10-11 : “Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela yang kian ke mari menyebarkan fitnah”.
Baginda Nabi juga sangat melaknat perbuatan tersebut, terbukti dalam HR. Bukhari, no: 213 “Dua orang ini sedang diadzab dalam kubur. Dan mereka tidak diadzab karena sesuatu yang mereka anggap besar, namun besar (di sisi Allah). Yang pertama diadzab karena tidak menutupi auratnya ketika buang air kecil, yang kedua diadzab karena melakukan namimah (mengadu domba)”.
Baca juga: Studi Pemikiran Teologi Islam; Pengantar Teologi Islam (Bag.01)
Maka sudah seharusnya sebagai umat Baginda Nabi shallahu alaihi wasallam, terlebih jika seorang ‘public figure‘ yang notabenenya sebagai rujukan masyarakat sudah seharusnya menjaga perilaku dan lebih berhati-hati dengan apa yang akan diucapkan. Karena tidak bisa dipungkiri apa yang dilakukannya menjadi panutan dan teladan bagi orang di sekelilingnya pun jama’ahnya.
Tugas ini tentunya tidak mudah, kita dituntut untuk menampilkan diri sebagai orang yang dijadikan contoh sekaligus diperlukan oleh banyak orang. Tapi realitanya sekarang masih ditengarai ada salah satu oknum yang menjual dirinya untuk berselingkuh dengan kekuasaan dan opini khalayak. Kalah dalam pesta politik setiap lima tahunnya mengoposisi segala kebijakan pemerintah yang sah.
Pemuka agama seyogyanya selalu mendukung segala kebijakan pemerintah selagi kebijakan tersebut membawa mashlahat bagi khalayak ramai. Jika tidak sependapat hendaknya mengkritik dengan kritik yang membangun bukan cacian, makian, dan sumpah serapah. Karena Negara ini bisa tegak dan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat apabila Umara dan Ulama saling menghormati dan menghargai serta bekerjasama dalam kebaikan umat. Inilah Ulama yang selaras dengan subtansi hadis “Ulama pewaris para Nabi” Ulama yang selalu menebar cinta dan kasih sayang. Tidak setiap pemuka agama itu mengerti ilmu agama dan mendapat predikat Ulama, apalagi mereka yang meng-ulama-kan diri atau di-ulama-kan dengan memperkosa pengertian Ulama yang sewajarnya.
Penulis: Muhammad Hilmy Yusuf Attamimi
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)