Realokasi kegiatan belajar mengajar karena adanya pandemi covid 19 di Indonesia mulai diterapkan pada pertengahan bulan Maret dan hingga kini sebanyak 95 persen lembaga pendidikan Indonesia menerapkan belajar secara daring dari rumah. Hal yang serupa awalnya juga diterapkan di kalangan pondok pesantren, di mana para santri dipulangkan kerumah masing-masing selama hampir dua bulan.
Perubahan sistem pembelajaran ini secara langsung menghambat target dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun oleh masing-masing satuan pendidikan pada awal tahun ajaran baru, mengingat pembelajaran secara daring diyakini tidak maksimal dan tidak bisa memenuhi perataan pendidikan. Disisi lain kita telah memasuki Pendidikan 4.0 yang bercirikan pemanfaatan teknologi digital dalam proses pembelajaran, yang dikenal dengan sistem siber (cyber sistem) dan mampu membuat proses pembelajaran berlangsung secara kontinu tanpa batas ruang dan waktu. Dalam hal ini, pembelajaran secara daring seharusnya tidak lagi memperlambat target pembelajaran terlepas dari pemerataaan sarana prasana pembelajaran.
Dari ketidakmaksimalan pembelajaran tersebut, muncullah dorongan untuk diadakannya kurikulum darurat sebagai solusi terhambatnya pelaksanaan pembelajaran. Kurikulum darurat cenderung lebih mengutamakan materi-materi pembelajaran yang dianggap lebih penting dan berkesinambungan dengan materi-materi pada jenjang berikutnya. Kurikulum Darurat yang disarankan oleh Komisioner KPAI, Retno Listiyarti yang sebelumnya pernah dikeluarkan oleh Kemendikbud pada saat bencana yang terjadi di Palu dan NTB.
Sejak merdeka, Indonesia telah melakukan revisi terhadap kurikulum pendidikan sebanyak sepuluh kali (terhitung dari kurikulum 1947 hingga kurikulum 2013). Hal ini menandakan belum adanya kestabilan standart pembelajaran di lembaga pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan nasional. Berdasakan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut menurut hemat penulis selaras dengan kurikulum yang diajarkan di pesantren yang bersifat paten dan terbukti menghasilkan lulusan yang berkualitas dan diidealkan oleh masyarakat umum.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Eksistensi dan aura religiusnya tidak pernah pudar dimakan usia, bahkan justru menjadi tombak pendidikan moral manusia di tengah kekrisisan karakter dan etika. Pesantren lebih menekankan pada ketakwaan yang tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Sang Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal (muamalah thoyyibah fii al-ijtima’iy wa al-wathoniy) yakni hubungan baik dalam bermasyarakat dan bernegara. Disamping perannya menjadi benteng moral, pesantren pada masa penjajahan juga menjadi benteng perlawanan terhadap sekutu, seperti Revolusi Jihad
yang dicetuskan oleh Hadrotusyaikh Hasyim Asy’ari pascakemerdekaan yang menegaskan bahwa hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain bagi setiap muslim di Indonesia. Hal ini yang kemudian menjadikan pesantren sebagai salah satu lembaga pendorong kemerdekaan dan keutuhan Indonesia.
Peran penting pesantren tidak terlepas dari kiprah seorang Kiai yang menjadi ruh sebuah pesantren, Kiai adalah sosok uswah yang menjadi ladang emas santri (red. sebutan untuk pelajar yang menimba ilmu di pesantren) untuk menimba ilmu duniawi dan ukhrawi. Dalam pembelajarannya, sosok Kiai tidak hanya menyampaikan materi semata, melainkan juga memberikan contoh bagaimana seharusnya para pelajar sebagai insan dzu aqlin kamilin bersikap dan bertindak. Kiai dalam kehidupan pesantren tidak hanya menjadi guru didalam kelas, tetapi juga menjadi Murobbi yang membimbing dan mengawasi santri 24 jam, sehingga terciptalah pendidikan yang multifungsi. Kiai adalah peletak kurikulum pendidikan pesantren yang tidak pernah mengalami revisi dan perubahan. Beberapa kompetensi pengejawantahan dari kurikulum tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Pengajian kitab-kitab turost yang mengkaji tentang kehidupan manusia dalam hal ubudiyah (Manusia dengan Tuhan) dan muamalah (Manusia dengan Manusia). Hal ini memenuhi standart konsepsi sebagian besar nilai-nilai penting dari tujuan pendidikan Indonesia. Pada kompetensi ini ditanamkan kepatenan karakter sebagai bekal manusia untuk terus mengingat tujuan hidupnya.
Kedua, Kemandirian. Kehidupan pesantren adalah kehidupan kemandirian atau yang biasa kita sebut sebagai sistem pemondokan, tidak ada campur tangan orang tua secara fisik dalam membantu kehidupan anaknya. Tugas orangtua dalam hal ini sebagai salah satu komponen pendidikan adalah mendoakan dan mentirakati sang anak dari rumah. Kemandirian dalam bertindak yang diterapkan di pesantren kedepannya diharapkan mampu melatih mental santri untuk siap menghadapi tantangan industri 4.0, tentu hal ini harus diimbangi dengan adanya pelatihan- pelatihan yang mendukung progam tersebut, seperti pelatihan kewirausahaan dan digital
learning. Berdasarkan hal tersebut penambahan materi tentang industri 4.0 dilingkup pesantren sangat dianggap perlu dan diwajibkan. Pada kompetensi kedua ini standart prakstisi nilai-nilai pendidikan Indonesia dalam hal kemandirian dan kreatifitasan telah terpenuhi.
Ketiga, Hidup Bersosisal. Pesantren memiliki cirikhas pembelajaran secara klasik yang masih diterapkan hingga kini seperti sorogan, lalaran, muhadloroh, manaqiban dan lain-lain. Pembelajaran ini yang kemudian menjadikan para santri menjadi insan ruhani, memiliki bekal ilmu religi yang mumpuni sebagai kesiapan untuk terjun ke masyarakat. Dalam konteks ini pesantren bukan hanya sebagai sarana penanaman kesalehan ritual tetapi juga kesalehan sosial, hal ini tercermin dari kehidupan pesantren yang hakekatnya adalah kehidupan sosial. Para santri datang dari daerah yang berbeda-beda dengan budaya yang multikultural, mereka saling berbaur dan hidup berdampingan satu sama lain. Kehidupan seperti ini adalah cikal bakal penanaman solidaritas dan intregitas antar santri.
Keempat, Berjiwa Nasionalis. Salah satu fungsi pesantren pada masa kini adalah melindungi keutuhan NKRI dari ancaman-ancaman ideologi yang bertentangan dengan pancasila, seperti ideologi khilafah. Dalam sejarahnya dan juga kiprahnya pada masa kini santri adalah garda terdepan Indonesia dalam memebentengi masyarakat dari pengaruh ideologi-ideologi yang mengancam keutuhan NKRI.
Penerapan substansi kurikulum ala pesantren pada pendidikan formal di Indonesia diharapkan mampu menciptakan keselerasan dalam mewujudkan visi pendidikan yaitu menciptakan generasi yang berkarakter dan memiliki daya saing yang tinggi dalam industri 4.0. Selain itu, subtansi dari kurikulum ini mampu meminimalisir dampak dari ketertinggalan peserta didik dari beberapa aspek pelajaran karena menerapkan sistem pembelajaran yang mendorong sang anak untuk lebih maksimal dalam belajar, juga sebagai upaya pencegahan jika wabah seperti covid- 19 akan kembali muncul, hal ini sebagaimana pemaparan kompetensi pertama dan kedua dari kurikulum diatas.
Baca: Selamat Jalan Rangga
Refrensi:
https://m.republika.co.id/berita/q9ouaw385/ki-hajar-dan-ulama-eksistensi-pesantren- dalam-pendidikan
https://id.wikipedia.org/wiki/Tujuan_pendidikan
https://gmb-indonesia.com/2018/05/20/perkembangan-kurikulum-di-indonesia-hingga- kurikulum-2013-k13/
https://news.detik.com/berita/d-4975127/kpai-minta-kemendikbud-buat-kurikulum- sekolah-darurat-saat-pandemi-corona
https://m.republika.co.id/berita/q9kavw282/nasib-pendidikan-indonesia- pascapandemi-covid-19
https://www.kompasiana.com/amp/sozi/5cf4846995760e765c2937e9/tantangan- pendidikan-di-era-revolusi-4-0
https://id.wikipedia.org/wiki/Pandemi_koronavirus_2019%E2%80%932020
Curriculum Vitae
Penulis bernama Rizqotul Mukaromah, lahir di Nganjuk 19-Desember-1995. Penulis adalah alumni Pondok Modern Darul-Ihsan Payaman-Nganjuk, pernah menamatkan studi jenjang strata satu di Universitas Internasional Afrika Sudan, prodi Studi Islam dan kini menjadi pengajar Bahasa Arab di SMAI Assyafiah Nganjuk.
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)