Mengkaji Moderasi Islam dalam Khazanah Tafsir

santri dan sastra

PCINUSUDAN.COM-Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Sudan mengadakan Webinar dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2020, Selasa (27/10). Acara yang dikoordinatori oleh Lembaga Pengkajian al-Qur’an (LPQNU) Sudan bersinergi dengan PCINU Turki ini sukses menampilkan kajian Moderasi Islam dalam Khazanah Tafsir dengan narasumber Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Sa’id, M.A. dan Guru Besar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag.

Pada kesempatan kali ini, Naib Rais Syuriyah PCINU Turki yang juga merupakan Kandidat Doktor Bidang Tafsir di Necmettin Erbakan Universitasi Didik Andriawan, S.Th.I., M. Th.I., selaku moderator berhasil memantik antusias 190 peserta yang bermuwajahah secara virtual di aplikasi Zoom dan juga disiarkan secara live melalui platform Youtube PCINU Turki.

Tema yang bertajuk moderasi semakin menarik untuk dikaji karena beberapa waktu lalu terjadi insiden yang ramai diperbicangkan masyarakat dunia, khususnya umat muslim. Ekstremisme atau radikalisme keagamaan seringkali dijumpai dalam kehidupan sekitar masyarakat, meski banyak orang berusaha mengelak untuk mengaitkan keduanya. Banyak kalangan umat beragama pada dasarnya enggan untuk melihat potensi keterkaitan antara agama dan ekstremisme. Padahal dalam kenyataannya agama selalu berbicara tentang hal-hal baik. Dalam konteks apa yang telah dikemukakan, pantas direnungkan bahwa sebenarnya Islam yang mengajarkan kebaikan dan kebajikan telah dibajak dan disalah-gunakan oleh sejumlah pemeluknya untuk kepentingan-kepentingan yang tidak membawa kemashlahatan umum. Berangkat dari titik inilah konsep pemikiran moderasi Islam atau wasathiyatul islam menjadi menarik dan menjadi impian semua entitas, gerakan dakwah Islam, bahkan negara-negara Islam.

Bagaimana Moderasi Islam dalam Khazanah Tafsir?

Wacana tentang moderasi sangat penting dikarenakan indonesia adalah negara yang sangat unik. Terdapat banyak sekali kelompok dan pelbagai macam golongan, ras, suku, dan adat istiadat. Melihat hal tersebut menyadarkan kita akan pentingnya memahami sebuah keragamaan dalam berbagai aspek kehidupan. Keberagaman bisa terjadi secara spesifik dalam kehidupan beragama akan tetapi ketika melihat ke dalam wadah yang lebih luas, akan ditemui keberagaman yang lebih kompleks dalam kehidupan bernegara.

Moderasi dalam kehidupan bernegara merupakan dua hal yang mempunyai titik sinkronisasi dan tidak mudah untuk dipisahkan. Dengan adanya moderasi dalam negara maka tidak akan ada kesenjangan maupun ketidak-nyamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ini telah diterapkan di Indonesia.

Dalam Islam moderasi tidak hanya menyusuri ruang kehidupan sosial kaum muslimin, akan tetapi secara mendalam moderasi juga terjadi dalam penafsiran kitab suci al-Qur’an. Moderasi dalam Tafsir adalah sikap untuk menengahi penafsiran tekstual dan liberalis, penafsiran kitab-kitab dengan pemahaman moderat dan mengedepankan ketelitian yang lebih untuk memahami teks dengan tetap menjaga keabsahan dan keotentikan teks yang telah ada.

Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan atau pegangan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Acuan ini dapat digunakan sebagai penjelas dan perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an. Hasil penafsiran itu walaupun tidak mutlak kebenarannya tapi dapat mendekati kepada maksud yang diinginkan ayat yang bersangkutan. Moderasi dalam penafsiran kitab-kitab terutama kitab suci al-Qur’an diwujudkan dalam nilai-nilai sebagai berikut:

1. Menggunakan sumber wahyu dan sumber al-Ra’yu (logika) secara seimbang,

2. Menghargai teks dan memahami maqashid (signifikasi, ide, tujuan-tujuan, dan moral dari ayat yang ditafsirkan),

3. Memperhatikan aspek teks yang statis dan konteks yang dinamis,

4. Menjaga aspek tsawabit (sesuatu yang bersifat tetap atau ushul) dalam agama dan mengembangkan mutaghayyirat (sesuatu yang multi interpretasi),

5. Menjaga Nilai lama yang masih relevan, akan tetapi juga mengambil nilai baru yang mashlahat dan juga kreatif,

6. Membedakan hal-hal yang merupakan wasilah (sarana) dan/ yang ghayat ( tujuan).

Sikap moderasi dalam penafsiran kitab-kitab dirasa sangat penting. Hal tersebut karena menjaga otentisitas ajaran Islam karena sejatinya konsep dasar ajaran Islam itu moderat, yakni adil dan seimbang. Secara eksplisit al-Qur’an adalah sumber hukum agama Islam. Namun dirasa kurang jika kita dalam setiap permasalahan langsung kembali kepada al-Qur’an tanpa menelaah kembali penafsiran-penafsiran dari para Imam mujtahid. Al-Qur’an merupakan hukum syari’at yang tsabit namun tafsir merupakan sesuatu yang selalu dinamis (mu’rob) dan tidak kaku (mabni). Oleh karenanya, sangatlah penting mendekatkan antara teks dan realitas demi menjadikan tafsir sebagai solusi bukan sekedar narasi.

Moderasi Islam di Masa Nabi

Sebelum abad 20 nama Islam sangat dijunjung dan sangat suci karena tidak pernah diikut-sertakan dalam wacana keagamaan dan kenegaraan. Kemudian Islam dikaitkan dengan persoalan kontemporer pada abad 20. Adapun negara yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Pakistan, kemudian diikuti Iran. Meskipun begitu Wasathiyah Islam bukanlah ajaran baru atau ijtihad baru yang muncul di abad 20 Masehi atau 14 Hijriyah. Tapi wasathiyah Islam atau moderasi Islam telah ada seiring dengan turunnya wahyu dan munculnya Islam di muka bumi pada 14 abad yang lalu. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh umat Islam yang mampu memahami dan menjiwai Islam sesuai dengan orisinalitas nash-nya dan sesuai dengan konsep dan pola hidup Nabi Muhammad saw, sahabat, dan para salaf shaleh.

Moderasi secara umum merupakan kata yang berasal dari bahasa latin moderatio, kata ini berarti keseimbangan atau tidak kurang maupun tidak lebih, sedangkan dalam bahasa arab moderasi disebut dengan kata wasath atau wasathiyah, yakni sesuatu yang imbang. Kata wasath ini dekat dengan padanan kata lain dalam bahasa arab seperti tawassuth dan tawazun yang keduanya sama-sama berarti berimbang atau adil. Padanan kata ini pun diserap dalam bahasa Indonesia pada kata wasit/wasith yakni orang yang adil dalam sebuah pertandingan.

Moderasi ini bisa menembus berbagai aspek kehidupan bahkan dalam beragama, moderasi dalam beragama menjadi isu hangat untuk dibahas, terlepas dari polemik yang terjadi tentang pandangan moderasi dalam beragama ini khususnya moderasi dalam islam. Kemudian Seperti apa moderasi dalam Islam? Moderasi dalam Islam adalah bagaimana seorang muslim memiliki cara pandang yang luas dan tidak berlebihan dalam beragama. Maksud tidak berlebihan dalam beragama adalah tidak ekstrim bertindak dan bersikap atas dasar syariat. Seorang muslim yang moderat menyadari bahwa terlepas dari adanya perbedaan keyakinan terhadap Tuhan, dalam agama Islam pun masih terdapat beberapa perbedaan berdasarkan mazhab-mazhab yang berbeda.

Baca juga: Eskatologi Imam Ghazali; Mengukuhkan Karakter Santri Menuju Peradaban Modern

Dalam Islam moderasi bukanlah pembahasan yang baru, akan tetapi moderasi bahkan telah jauh eksis dalam kehidupan kaum muslimin dimasa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Rasul bersama para sahabat hijrah ke Madinah dan mulai membangun kehidupan baru di sana, Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam menerapkan nilai-nilai moderasi atau washatiyah dalam kehidupan masyarakat Madinah, dengan membiarkan masyarakat Madinah hidup damai dan saling menghargai satu sama lain. Beliau pun melarang para sahabat dan kaum muslimin lainnya untuk tidak ekstrim dalam beribadat hingga meninggalkan hak dan kewajibannya dalam berkehidupan sosial. Nilai-nilai washatiyah yang telah diterapkan Rasulullah merupakan nilai-nilai yang seharusnya dipegang oleh seorang muslim. “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasulullah (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu” (QS. Al-Baqarah; 143).

Acara tersebut berjalan lancar meski ada sedikit kendala sinyal. Tampak beberapa peserta yang antusias menyimak dan mengajukan pertanyaan. Salah satunya penanya yang menyoal tragedi karikatur Nabi Muhammad dan separatisme Islam yang terjadi di Perancis. Pertanyaan tersebut diajukan kepada kedua pemateri.

“Dalam menghadapi masalah-masalah kemoderatan sikap moderat adalah sikap yang paling beradab. Kemoderatan ditandai dengan mengayomi semua pihak demi untuk penyebaran agama Islam itu sendiri. Jika kita bertentangan dengan moderat justru tidak menguntungkan Islam bahkan kemanusiaan. Maka moderasi adalah untuk kemajuaan peradaban dan kemanusiaan,” jelas Prof. Imam Ghazali.

Adapun jawaban dari Prof. Abdul Mustaqim adalah “Apa yang dilakukan oleh oknum dengan membuat kartun tentu bisa melukai umat muslim. Namun dalam sisi yang lain, jika membalas membuat kartun Tuhan atau menghina sesembahan agama lain juga tidak dibenarkan. Karena kerukunan internal umat beragama dan antar umat beragama sangat penting dan harus dijaga. Tragedi yang terjadi di Perancis tidak merupakan representasi dari sikap warga Muslim di Perancis itu sendiri, melainkan hanya ulah salah satu oknum yang ingin mengadu domba kerukunan umat beragama di buka bumi ini. Kita harus melawan Islamophobia dan kebencian-kebencian tersebut dengan nilai moderasi itu sendiri. Thabi’atul Islam al-Wasathiyah, the character of Islam is moderation. Untuk bisa menjaga sikap moderasi diperlukan kecerdasan literasi. Karena semangat keagaamaan yang berlebihan yang tidak dibarengi dengan literasi keilmuan cenderung akan mengarah pada radikalisasi agama”.

wallahu a’lam bishshawab

Penulis: Mala Himmah Ulya

Saksikan selengkapnya di Youtube PCINU Sudan tentang Webinar Moderasi Islam dalam Khazanah Tafsir

Tinggalkan Balasan