Isu-isu dalam persoalan ukhrawi dalam bahasa filosofis akademiknya disebut eskatologi. Imam Ghazali memasukkan eskatologi sebagai ilmu mengenai persoalan akhirat (ilm al akhirat), menjadi suatu disiplin ilmu yang sangat penting dan kaya akan bahasan. Sebelum kita masuk penjelasan lebih jauh, eskatologi adalah sebuah doktrin tentang hari akhir, doktrin yang membahas tentang keyakinan kejadian yang akan dialami manusia. Secara sederhana, eskatologi islam diklasifikasikkan menjadi dua; akhir dunia dan akhirat. Dalam konteks akhir dunia pembahasan tertuju pada kejadian hari kiamat dan figur-figurnya (Dajjal, Imam Mahdi, dsb). Sedangkan akhirat tertuju pada konsep hari kebangkitan, hari pengadilan, dan konsep surga neraka.
Dalam pandangan Al Ghazali kepercayaan terhadap konsep-konsep eskatologi menjadi pilar tegaknya akidah seorang muslim. Sebagai sebuah implikasi dari pemikirannya ini, konsep eskatologi harus berada dalam pengkajian keagamaan yang dalam, dominan, dan diletakkan sebagai bagian ajaran dari teologi islam (ilmu tauhid). Senada dengan Al Ghazali, tokoh pemikir kontemporer Fazlur Rahman juga berpendapat persoalan eskatologi sangatlah penting, sebab dalam al Qur’an menempati posisi ide sentral dan signifikan, sebab relasinya dengan ketuhanan.
Doktrin eskatologi Al Ghazali merupakan seluruh ajaran yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits tanpa ada pembatasan keimanan seseorang tentang hari akhir. Cakupan dari gambaran eskatologi Al Ghazali digambarkan dengan runtutan konsep; kematian, alam barzakh, hari kiamat, surga dan neraka, akan tetapi dari semua itu yang paling penting bagi manusia adalah sebuah amal islam, prioritas islam adalah iman, dan iman seorang muslim terhadap persoalan ukhrawi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi yang berilmu dan mempunyai karakter, dengan memahami kebaikan moral, menginginkan menjadi orang bermoral, dan menjadikan moral tersebut sebagai sebuah kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal ini maka disebut ihsan.
Jadi, doktrin eskatologi yang dijelaskan oleh Al Ghazali adalah semua pendidikan yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits, karena semua pendidikannya berorientasi pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang mau bahagia dunia dan akhirat harus mampu menanamkan karakter kebaikan dalam hidupnya, dengan bertutur kata dan berperilaku yang baik sesuai ajaran dalam Al Qur’an dan Hadits. Maka, penanaman karakter yang sangat sesuai dengan eskatologi Al Ghazali ini adalah pada pribadi santri, dan identitasnya, yang mana jangan dimaknai sempit pada ruang lingkup kehidupan di pesantren saja, akan tetapi identitas manusia yang bisa mengaktualkan dirinya dalam laku seperti yang sudah dijelaskan di atas tersebut.
Baca: Sorogan Sebagai Upaya Mengukuhkan Identitas Santri
Mengenai karakter santri itu sendiri, santri merupakan sosok insan yang belajar ilmu agama, berakhlak mulia, melakukan amalan-amalan ibadah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits, patuh pada guru yang sudah mengajarkan ilmu, dan mempunyai visi misi keagamaan yang jauh ke depan. Seperti karakter yang dibangun Al Ghazali dalam sebuah kitabnya (Ihya’ Ulum ad Din), “ilmu terbagi dua, ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah, yang menjadi titik fokus eksplanasi disini yaitu ilmu mu’amalah, sebagai sebuah ilmu tentang laku perbuatan hati dari perspektif (terpuji atau tercela), adapun yang termasuk laku perbuatan terpuji adalah sabar, qana’ah, ikhlas, syukur, zuhud, taqwa, dermawan, meyakini segala anugerah baik Allah, ihsan, jujur, ikhlas, khusnudzan, dan takut akan murka Allah dengan senantiasa mengharapkan ridha-NYA. Laku seperti inilah yang sudah diproses oleh santri dalam amalan-amalan sehari-hari, dengan selalu mengingat dan meningkatkan sifat terpuji (mahmudah) dan menjauhi sifat-sifat tercela (madzmumah) dengan pandangan yang jauh ke depan sebagai bekal untuk mempersiapkan akhirat.
Aksentuasi selanjutnya adalah bagaimana santri mengukuhkan karakternya menuju tantangan peradaban yang modern. Kita sebagai santri pastinya sangat optimistis di zaman modern ini, dengan tempaan laku yang bisa dikatakan klasik, primitif, akan tetapi mampu mengaktualkan pribadi yang bercita-cita insan kamil dan berani melawan arus zaman, ditandai bersama majunya sebuah peradaban dengan berpegang teguh pada ajaran Al Qur’an dan Hadits, ajaran klasik, selalu terbuka dan lentur terhadap ke moderenan, serta selalu menebar sayap terpuji pada aktual laku kemaslahatan menuju insan muttaqin, islami, dan modern.
Terakhir, kalau kita berbicara tentang relevansinya, pembahasan metafisis keakhiratan tidak lagi relevan dalam diskusi di era kontemporer ini, ditandai dengan seiring menguatnya wacana keilmuan sosial-empiris. Kenyataan ini menjadikan sebab bahwa persoalan eskatologi dalam dunia islam dianggap sudah mapan dan mencapai titik final. Pada sisi inilah persoalan metafisis eskatologis menjadi statis. Padahal, berbagai formulasi keilmuan islam dengan mengandaikan perlunya konstruksi keilmuan secara komprehensif. Meskipun pemikiran metafisika ini tidak mudah diidentifikasi dalam pergeseran paradigmanya.
Wallahu A’lam…
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response