Sowan dan Seminar Online Bersama Gus Muwafiq

PCINUSUDAN.COM – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan bekerjasama dengan Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Sudan didukung oleh KBRI Khartoum sukses melaksanakan sowan dan seminar online bersama Gus Muwafiq pada Senin (20/7). Pandemi Covid-19 tidak menghalangi semangat jajaran pengurus PCINU Sudan dalam melaksanakan dakwah agama Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah secara virtual.

Acara ini diawali dengan pembacaan istighosah yang dipimpin oleh Naib Katib Syuriyah PCINU Sudan, H. Khafidzul Umam dan dibuka oleh Jazli Huda Syarboness selaku MC dan moderator. Acara bertajuk “Urgensi Dakwah Berkompeten untuk Generasi Milenial” menyuguhkan Dai Nasional yaitu KH. Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq dan juga Mustasyar PCINU Sudan Kiai Ribut Nur Huda sukses mengundang partisipasi dari PCINU Dunia, tokoh, dan masyarakat Indonesia dari berbagai daerah.

Duta Besar RI untuk Republik Sudan dan Eriteria, Bapak Rossalis Rusman Adenan, turut hadir dalam acara ini sekaligus sebagai Keynote Speaker yang memberikan apresiasi kepada ketua juga pengurus PCINU Sudan yang telah menyelenggarakan acara ini. Meskipun di tengah-tengah kondisi merebaknya wabah Covid-19 dan juga kondisi ekonomi yang kurang baik sehingga harga barang pokok naik, KBRI Khartoum selalu berupaya untuk selalu melayani dan membantu Warga Negara Indonesia di Sudan.

“Meskipun begitu, sebagai Duta Besar saya masih ada harapan, bahwa masih ada negara-negara yang membantu ekonomi Sudan,” katanya.

Kondisi Sudan yang masih dalam krisis ekonomi dan politik ditambah adanya wabah Covid-19 tersebut, tidak hanya terdampak pada masyarakat Sudan tetapi juga terdampak kepada Warga Negara Asing di Sudan, seperti diberlakukannya jam malam dan juga penutupan kegiatan pembelajaran.

Oleh karena itu, KBRI Khartoum mencoba untuk memberikan kegiatan-kegiatan positif seperti: Seminar Bela Negara dan juga Pelatihan Dai Entrepreneur, beliau juga berharap agar PCINU Sudan selalu dapat melaksanan kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti ini.

Eri Prasetiyanto selaku Ketua Tanfidziyah mengatakan bahwa acara ini bertujuan untuk mengader santri-santri Nahdliyin khususnya sehingga bisa menjadi dai-dai yang berkompeten dan berilmu dalam ranah-ranah keilmuan yang lebih luas. Tujuan dari acara ini juga untuk mendekatkan diri dengan para Kiai.

“Walaupun belum bisan sowan secara langsung, tap setidaknya sudah menjali dari segi ittishol dengan para Kiai dari segi alaqoh ruhiyah, alaqoh ilmiyah ataupun alaqoh fikriyah,” kata Ketua Tanfidziyah periode 2019-2020.

Sebagai dai milenial tentu perlu menggunakan cara-cara dan metode dakwah yang sesuai agar bisa diterima dan maksimal.

“Setiap zaman dan generasi pasti memiliki pemikiran, adat, dan karakteristik berbeda dan tokoh masing-masing sesuai zamannya,” tambahnya.

Mustasyar PCINU Sudan, Kiai Ribut Nur Huda berkesempatan untuk membahas beberapa poin, yaitu: Peluang Keilmuan Sudan. Mahasiswa Sudan dan Timur Tengah serta potensinya dalam berdakwah di Indonesia. Dakwah strategis untuk kemajuan agama dan negara.

Dalam pembukaannya Kiai Ribut memaparkan beberapa pontesi yang ada di Timur Tengah terutama di Sudan. Untuk mengenalkan sedikit keilmuan yang ada di Sudan tentu kita perlu melihat bahwa Sudan memiliki keunikan dibanding Negara Arab yang lain ataupun Timur Tengah. “Jika dilihat dari segi geografis, Sudan memiliki posisi yang bisa dibilang sangat dekat dengan asal-usul Islam itu ada, meskipun dibatasi dengan laut merah, yakni Sudan di bagian Afrika Timur dan Saudi di Asia bagian Barat,” jelas Kiai Ribut.

“Dari segi geografis ini mendukung beberapa pendapat ahli, salah satunya seorang sastrawan Sudan bernama Profesor Dr. Abdul Toyyib, beliau mempunyai pandangan bahwa Sudan walaupun sekarang merupakan bagian dari Afrika bukan bagian dari Jazirah Arab, tetapi Sudan mengenal bahasa Arab sebelum mengenal Islam itu sendiri,” lanjutnya.

Deri segi geo-linguistiknya yaitu bahasanya, bahasa Arab di Sudan memiliki umur yang sangat tua dibanding negara-negara yang bukan Arab kemudian menjadi Arab karena faktor penyebaran agama Islam. Kelebihan bahasa Arab ini ternyata bisa di pertahankan sampai saat ini, terutama masa setelah runtuhnya Turki Utsmani dan terbentuknya negara bangsa, kemudian melalui Mesir dan akhirnya Sudan berdiri menjadi sebuah negara juga atas jasa bangsa Indonesia.

Kedua, dari segi politisi dan ekslusifitas masyarakat, Sudan memiliki karakter dimana masyarakatnya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dan mampu mempertahankannya, juga ada faktor pemerintah secara politik dan pendidikan untuk bisa melestarikannya. Ada karakter dimana Sudan juga mempertahankan ekslusifitas dalam budayanya yang berpengaruh, salah satunya versi bacaan al Quran di sebagian wilayah yang masih menerapkan qiraat Imam Warsy, qiraat Imam Durri, dan didominasi oleh riwayat Hafsh.

Di bidang pencapaian keilmuan dan juga di bidang islamisasi pengetahuan, Sudan mengembangkannya karena konstruksi intelektual masyarakat Sudan tidak lepas dari orang Arab Afrika, Barat (termasuk Inggris dan Prancis) yang mempengaruhi akademik di Sudan sehingga bisa dikatakan Sudan itu sebagaimana negara-negara Afrika yang tergabung ilmu keislaman dan paradigma-paradigma Baratnya.

“Orang-orang Indonesia yang sedang menimba ilmu di Sudan harus mempunyai mindset bahwa Sudan adalah lahan ilmu-ilmu murni, terutama ilmu alat,” katanya.

Sudan memiliki potensi kebahasaan, pontensi ini sangat strategis untuk bisa dikembangkan di Indonesia.

“Mahasiswa yang belajar di Timur Tengah, minimal memiliki potensi membandingkan antara tradisi intelektual yang satu dengan yang lain, bukan untuk menumpulkan tetapi untuk menjadi sisi seni ketika berdakwah,” kata Kiai Ribut.

Ketiga, Potensi karakter atau mental

Orang yang belajar di luar negeri itu bukan semata-mata untuk mencari ilmu dan pengalaman, tetapi untuk membentuk karakter khas juga, dimana seseorang bisa melihat lingkungan yang sangat berbeda dengan keadaan di tanah air.

Keempat, Potensi Khazanah Sumber

Orang yang pergi ke Timur tengah setidaknya ia sangat akrab dengan sumber-sumber langsung yang berbahasa Arab dan itu menjadi suatu tuntutan untuk bisa membaca sumber, sejarah, dan keilmuan.

“Seorang mahasiswa yang menimba ilmu di Timur tengah mempunyai prediksi keilmuan yang nantinya akan relevan di Indonesia, apa yang bisa ditawarkan, dan apa yang bisa berdaya saing,” jelasnya.

Kemudian beliau juga membahas tentang pemikiran dakwah strategis, dakwah berkompeten, dan milenial.

“Tidak mungkin seorang alumni Timur tengah itu hanya konsen dalam peran-peran local, tapi juga harus konsen dalam peran global seperti yang dilakukan oleh para ulama dahulu,” katanya.

Selanjutnya, inti dari acara sowan, disampaikan langsung oleh KH. Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq, mengenai arti dakwah, etika dakwah rahmatan lil alamin, dakwah kompeten dan milenial ala Gus Muwafiq.

Gus Muwafiq dalam pembukaannya menjelaskan tentang sesuatu yang melewati ruang dan waktu.

“Sesuatu yang terlahir dalam sosiologi, antropologi, geografi, maka harus bisa dipahami seiring waktu oleh orang-orang di seluruh dunia dengan ruang dan waktu yang berbeda, dengan kondisi sosiologi, antropologi, geografi yang berbeda,” kata Gus Muwafiq.

“Inilah yang kemudian menjadi epistemologi yang disebut epestimologi dakwah, epistemologi yang mengajak orang lain untuk memahami sesuatu yang terjadi dari ruang waktu yang berbeda dan tidak boleh terputus,” sambungya.

Peristiwa yang terjadi di Arab, peristiwa yang terjadi tahun 600 harus dipahami oleh orang Sudan, orang Indonesia, orang Cina, karena tuntutan peradaban Islam adalah tuntutan yang harus dikeluarkan dari peradaban lokal di Makkah waktu itu sampai kepada sebuah peradaban yang dikenal dengan peradaban rahmatan lil alamin. Makanya perangkat-perangkat Islam itu demikian menjadi banyak, untuk menghubungkan sesuatu yang demikian kondisional yang ada di Arab pada waktu itu dan harus dipahami satu kondisi yang ada di tempat-tempat berbeda, makanya lahir lah disiplin ilmu yang mencoba membangkit terus apa itu Islam sesuai dengan kondisi. Islam harus dijelaskan dan diajarkan kepada manusia yang mengalami lintas generasi, lintas geografi, lintas sosiologi, dan lintas antropologi.

“Pergeseran dan pergerakan waktu menghasilkan segmen-segmen pengetahuan yang sangat beda-beda tergantung ruang dan waktu,” katanya.

“Berbicara tentang Urgensi dakwah milenial yaitu bagaimana menyampaikan idiom-idiom Islam pada orang-orang yang hidup di generasi seperti ini, nah seperti itu butuh kecakapan-kecakapan dan bahasa tertentu,” jelas gus Muwafiq.

Contoh sekarang, apakah dulu terbayang sebuah sistem pembelajaran tiba-tiba menggunakan cara yang demikian baru, di Sudan tiba-tiba bisa bicara dengan yang ada di Jogja, ini seperti tidak ada jarak, yang dulu hanya bisa dilakukan oleh para wali, yang harus berdzikir, puasa, dan tirakat. Sistem semacam inj hanya bisa dialami oleh anak milenial. Milenial ini adalah satu sistem sebenarnya, sistem baru yang sesesorang tidak bisa terjerbak di situ.

“Bagaimanapun Islam ini harus terus dibawa dan dipegang oleh orang-orang yang mengerti bagaimana menghubungkan antara ruang dan waktu yang berbeda, menjadi sebuah disiplin baru agar Islam tidak berhenti tapi tetap menjadi bagian dari perubahan seluruh perubahan zaman dan tetap menjadi rahmatan lil alami, makanya inovasi-inovasi itu diperbolehkan didalam dakwah,” jelasnya.

Baca juga: Jum’at Duka, Mufassir Kondang Suriah Tutup Usia

Perlintasan sistem waktu yang panjang yang kebetulan sampai kepada sistem milenial ini, makanya kemudian ada dakwah-dakwah, ada cara memahami generasi baru yaitu generasi milenial yang dikenal dengan sistem dakwah milenial.

“Cara penyampaiannya pasti berbeda, inilah yang disebut dengan dakwah. Jadi dakwah itu bagaimana membawa Islam itu pada satu ruang dan waktu yang berbeda yang melintasi batas sosiologi, batas antropologi dan batas geografi epistemologi,” kata Gus Muwafiq.

“Kalau tidak bisa melewati batas tersebut maka akan terjebak pada dogmatisme, sekarang orang mulai lagi lupa pahwa islam ini melintasi ruang dan waktu, makanya banyak sekali yang kemudian sekarang mundur, namun pada zaman milenial ini ada yang terjebak epistemologi-epistemologi,” lanjutnya.

Acara ini juga diisi dengan tanya jawab dari para peserta kepada para pembicara kemudian dilanjutkan dengan closing statement, serta diakhiri dengan doa yang dipimpin langsung oleh KH. Ahmad Muwafiq.//(Ilman)

Tinggalkan Balasan