Penjelasan Niat dalam Kitab Hadits Al-Arbain An-Nawawiy Karya Al-Imam Yahya Ibn Syarafuddin An-Nawawi

Ibn Daqiq Al-Eid adalah seorang ulama terkemuka yang pernah menjadi qodhi di Mesir, beliau adalah satu di antara guru-guru Imam Ad-Dzahabi ahli hadits yang terkenal. Di antara satu dari karya tulis Ibn Daqiq Al-Eid adalah Syarhu Al-Arbain Hadits An-Nawawiyyah yang pada kali ini penulis akan memaparkan cara penjelasan Ibn Daqiq Al-Eid dalam memandang hadits niat pada kitab Hadits Al-Arbain karya Imam Nawawi.

Pertama Ibn Daqiq Al-Eid memandang kesahihan hadits niat ini dengan berlandaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhori dan Shahih Al-Muslim. Maka sudah bisa dipastikan bahwa hadits ini telah disepakati akan kesahihannya dan kedudukannya yg tinggi, dalam pembahasan agama Islam bahkan Imam As-Syafi’i berpendapat perihal hadits niat ini bahwa hadits niat masuk padatujuh puluh pembahasan ilmu fikih dan dalam riwayat lain beliau dan Imam Ahmad berpendapat bahwa sepertiga ilmu masuk pada hadits niat ini.

Ibn Daqiq Al-Eid mengatakan bahwa para ulama sangat senang untuk memulai karya tulisnya dengan menggunakan hadits ini seperti Imam Abu Abdillah Al-Bukhori, mengapa demikian? Jawaban yang dikemukakan oleh Ibn Daqiq yaitu dengan menukil pendapat Abdurrahman Ibn Mahdi bahwa “Dengan menuliskan hadits ini pada permulaan sebuah karangan, akan menggoreskan garis sebuah peringatan untuk para pelajar supaya memperbaiki niatnya”.

Kemudian hadits ini dipandang oleh Ibn Daqiq dari segi periwayatnnya yang dimana awal periwayatannya adalah ghorib karena dari banyaknya para sahabat Rasulallah SAW perawinya hanya sayyidina Umar RA yang meriwayatkannya dan hadits ini tidak diriwayatkan dari sayyidina Umar melainkan hanya Alqamah Ibn Abi Waqqas, kemudian diriwayatkan oleh Muhammad Ibrahim At-Taimi, diteruskan oleh Yahya Ibn Sa’id Al-Anshory dan semuanya dari satu jalur. Setelah diterima oleh Yahya Ibn Sa’id Al-Anshory, maka mulailah hadits ini menjadi masyhur karena diriwayatkan lebih dari dua ratus perawi, dan semua perawinya menurut Ibn Daqiq mayoritas adalah para Imam.

Setelah menjelaskan kesahihannya, Ibn Daqiq mulai mengupas hadits niat ini dari segi kebahasaan seperti memandang adat al-Hasr yaitu innama (إنما) yang terkadang mengandung makna hasr muthlaq dan hasr makhsus dan pada intinya makna amalan yang terdapat pada hadits niat ini merupakan pekerjaan yang bernuansa syariat. Artinya, ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang tidak dilandasi dengan niat maka amal itu belum bisa dianggap sah dalam timbangan syariat.

Ibn Daqiq mengerucutkan amalan syariat yang dimaksud ini dengan memaparkan beberapa contoh seperti wudhu, sholat, i’tikaf, puasa dan lainnya. Adapun perbuatan yang tidak butuh dengan niat seperti menghilangkan najis, dikatakan oleh Ibn Daqiq Al-Eid bahwa tidak membutuhkan niat dikarenakan perbuatan menghilangkan najis termasuk pada bab meninggalkan niat (bab at-tarki).

Baca juga: Bintusy Syathi’: Tokoh Mufassirah Wanita

Disisi lain Ibn Daqiq Al-Eid juga memaparkan perbedaan ulama pada permasalahan furu’iyyah dalam memandang konsep niat pada amalan syariat, dimana perbedaan ulama itu bermuara pada ilmu kebahasaan. Yaitu, permasalahan pentakdiran, lebih tepatnya pada hadits ini terdapat mudhof yang terbuang dan butuh pentakdiran, tentu pentakdiran itu akan mengacu pada perbedaan hukum dalam hal niat seperti memandang, apakah niat merupakan syarat sah perbuatan syariat atau hanya sebagai penyempurna.

​Adapun pendapat yang mengatakan bahwa niat bukan termasuk syarat sah perbuatan syariat, namun hanya sebagai penyempurna suatu amal syariat. Mereka mentakdirkan dengan “إنما كمال الأعمال بالنيات” karena dengan mentakdirkan kalimat kamal, maka tentu hukum yang diistimbatkan berbeda dengan ulama yang mentakdirkan dengan menggunakan “صحة الأعمال بالنيات” karena jika mentakdirkan dengan kata sihhah, maka hukum yang akan keluar adalah syarat sahnya amal syariat. 

Kemudian Ibn Daqiq menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa niat adalah sebagai syarat sahnya suatu perbuatan syariat karena adanya hubungan kuat dengan kalimat setelahnya yaitu “وإنما لكل امرء ما نوى”, dari sini Ibn Daqiq Al-Eid merujuk pendapat Imam Mujtahid Fatwa yaitu Imam Nawawi. Beliau berpendapat dengan adanya kalimat ini, maka menunjukkan bahwa niat adalah sebagai syarat sahnya perbuatan syariat. Sebagaimana dalam salat harus menentukan apakah salat dzuhur atau yang lainnya karena jika hanya meniatkan misalnya, hanya berniat salat qadha tanpa menyebutkan salat apa yang terlewatkan seperti salat dzuhur, maka salatnya tidak sah.

Ibn Daqiq Al-Eid kemudian menutup penjelasannya pada pembahasan hadits niat ini dengan memaparkan Asbabul Wurud (sebab turunnya) hadits yaitu mengenai seorang laki-laki yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah bersama Rasulullah SAW. Namun, niatnya bukan mengharapkan fadilah hijrah bersama Rasulullah SAW, tetapi niatnya hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, maka dari sinilah laki-laki itu kemudian dikenal dengan Muhajir Ummi Qais yaitu orang yang berhijrah karena Ummu Qais.

Wallahu A’lam

Penulis: Sholah Ibn Mawardi

Tinggalkan Balasan