Kurdistan, Antara Impian dan Kenyataan

Kurdistan adalah nama sebuah bangsa yang mungkin masih asing di telinga sebagian dari kita, atau mungkin ada yang pernah mendengar namun masih belum begitu paham tentang apa sebenarnya Kurdistan itu, sehingga jika mendengar kata “Kurdistan”, pasti akan muncul pertanyaan, “Apa itu Kurdistan dan apa yang sedang terjadi di sana?’’

Kurdistan?

Kurdistan merupakan sebuah negara impian yang tengah diperjuangkan kemerdekaannya oleh suku Kurdi semenjak berakhirnya perang dunia pertama (1920) sampai sekarang. Suku Kurdi saat ini terkotak-kotak dan terpencar wilayah dan warganya ke dalam lima negara, yaitu Turki, Suriah, Irak, Iran dan Armenia.

Suku Kurdi merupakan suku asli yang bermukim di dataran Mesopotamia dan kawasan dataran tinggi yang kini terdapat di sebelah tenggara Turki, timur laut Suriah, utara Irak, barat laut Iran dan barat daya Armenia. Suku Kurdi merupakan etnis terbesar ke-empat di Timur Tengah, jumlah mereka sekitar 25 sampai 35 juta jiwa. Bangsa Kurdi berbahasa dengan bahasa Kurdi sebagai bahasa ibu, mereka juga berbahasa dengan bahasa resmi negara mereka berada, sebagai bahasa kedua. Pada dasarnya, bangsa Kurdi merupakan satu suku yang terdiri dari komunitas yang berbeda-beda, namun disatukan oleh ras, budaya dan bahasa.

Mayoritas masyarakat Kurdi menganut agama islam sunni, meskipun juga ada yang beragama Kristen, Yahudi, Yazidi dan Zoroastrian. Malangnya, saat ini suku Kurdi merupakan salah satu etnis terbesar di dunia yang masih tertindas dan mengalami ketidakjelasan status kewarganegaraannya.

Dalam sejarah islam sendiri, suku Kurdi telah melahirkan banyak tokoh islam yang sangat mashur, diantaranya adalah Solahuddin al-Ayyubi, Abu Muslim al-Khurosani, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Sholah, Said Nursi dan Said Ramadhan al-Buthy.

Awal Kegelapan

Suku Kurdi semula merupakan bagian kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Namun, setelah berakhirnya kobaran perang dunia pertama dan diakhiri dengan tumbangnya Turki Utsmani, bangsa Kurdi justru memasuki pintu awal dari kegelapan dan ketidakjelasan status kewarganegaraan mereka.

Pada tahun 1920 setelah berakhirnya perang dunia pertama. Sekutu barat, termasuk di dalamnya Presiden Amerika Serikat saat itu, Woodrow Wilson, mengadakan perundingan dengan Turki Utsmani yang dinamakan dengan perjanjian Sevres. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah rencana pembentukan negara Kurdistan untuk bangsa Kurdi.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada tahun1923, diadakan lagi perjanjian Lausanne yang menghasilkan penentuan batas-batas negara Turki modern tanpa sedikitpun membahas mengenai rencana pendirian negara Kurdistan. Butir hasil perjanjian inilah pintu awal kegelapan yang menjadikan bangsa kurdi menjadi minoritas, tertindas dan terpencar kedalam lima negara, yaitu Turki, Suriah, Irak, Iran dan Armenia.

Secara pergerakan politik, Kurdistan terbagi menjadi empat, yaitu Kurdistan Utara (Turki), Kurdistan Selatan (Irak). Kurdistan Timur (Iran) dan Kurdistan Barat (Suriah). Kurdistan Armenia tidak begitu masif dalam pergerakan, mereka hidup damai dengan masyarakat Armenia sampai saat ini.

Diskriminasi, Penindasan dan Upaya Perlawanan

Ketika Perancis masih menjajah Suriah, bangsa Kurdi bersatu padu dengan bangsa Arab Suriah berperang melawan dan mengusir penjajah sampai keberhasilan merebut kemerdekaan pada tahun 1946 . Pada awal kemerdekaan Suriah, bangsa kurdi Suriah yang mayoritas bermukim di wilayah Jazirah, Afrin dan Kobani mampu hidup bersama bangsa arab Suriah dengan rukun dan damai. Namun seiring berjalannya waktu, mulai nampak adanya diskriminasi dan ketidakadilan atas bangsa Kurdi yang berjumlah sekitar 8 persen dari seluruh penduduk Suriah tersebut, seperti adanya larangan penggunaan bahasa Kurdi dan pembatasan hak bangsa Kurdi dalam beberapa hal.

Akhirnya pada tahun 1957, diproklamirkan lahirnya Kurdistan Democratic Party (KDP) di Aleppo. Partai yang bertujuan untuk memerdekakan bangsa Kurdi dan membuat negara sendiri ini dipimpin oleh Nuruddin Dhoho, tak berselang lama, Nuruddin dan komplotannya justru ditangkap oleh aparat dan dijebloskan ke penjara.

Munculnya aksi terorisme ISIS (Islamic State of Irak and Syria), dijadikan peluang emas oleh bangsa Kurdi untuk tampil ke panggung dunia internasional. Bangsa Kurdi di Irak dan Suriah ikut terlibat dalam perang melawan teroris ISIS.

Pada tahun 2014, ISIS melancarkan serangan ke salah satu benteng perlawanan di kota kobani yang berada di utara Suriah. Serangan ini memaksa puluhan ribu orang Suriah melarikan diri ke perbatasan Turki.

Pada tahun 2015, terjadi perlawanan untuk mengusir ISIS dari Kobani, sekitar 1600 orang gugur dalam operasi perang untuk mengusir ISIS ini. Pasukan Kurdi yang juga ikut berperang berhasil merebut kembali kota Kobbani dari kekuasaan ISIS. Dalam perang ini mereka mengunakan nama Pasukan Demokratik Suriah (SDF), mereka bersatu dan bertempur bersama milisi lokal dan membantu angkatan udara amerika menggempur ISIS.

Pada pertengahan tahun 2018 lalu, Presiden AS, Donald Trump mengeluarkan keputusan penarikan semua pasukan Amerika di wilayah utara dan timur Suriah. Pernyataan ini menjadi ancaman baru bagi bangsa Kurdi Suriah. Sebab, tak lama setelah itu, Erdogan bekerjasama dengan pasukan oposisi Suriah melancarkan serangan ke basis-basis suku Kurdi di Suriah, tepatnya di Afrin, otoritas Rojava.

Rojava adalah wilayah otonomi khusus yang diumumkan sepihak oleh Kurdi Suriah pada 2014. Rojava terdiri dari tiga wilayah yaitu Jazirah, Afrin dan Kobani. Serangan Turki ini adalah respon atas pernyataan Amerika yang berencana akan membuat pasukan khusus perbatasan Turki-Suriah dengan kekuatan 30 ribu personel. Selain itu, Turki sejak lama sudah membidik Kurdi Suriah, karena dinilai mempunyai hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan Turki yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Turki.

Di Irak, nasib minoritas bangsa Kurdi (12% dari total penduduk Irak) tidak jauh berbeda dengan saudaranya di Suriah. Ketidakadilan dari pemerintah Irak memaksa mereka untuk melawan. Semenjak tahun 1970, orang-orang Kurdi Irak berjuang untuk memperoleh otonomi atau bahkan meraih kemerdekaan. Namun, saat rezim Saddam Husain berkuasa, dengan alasan separatisme yang mengancam negara, Saddam memutuskan untuk membumihanguskan 1000 kampung suku Kurdi yang membuat mereka terpaksa lari dan menyebar ke seluruh penjuru Irak. Kemudian pada tahun 1980, Saddam juga melakukan pembantaian suku Kurdi di Halabjah menggunakan bom kimia.

Pada tahun 1991, setelah perang teluk pertama selesai, terjadi pemberontakan Kurdi di bagian utara Irak dan larangan penerbangan oleh Amerika kepada angkatan udara Irak di atas langit tanah Kurdi. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh suku Kurdi Irak, sehingga mereka berhasil membentuk kawasan semi otonom. Kemudian setelah perang teluk kedua berakhir pada tahun 2003, basis suku Kurdi dijadikan Amerika sebagai pangkalan militer AS untuk menginvasi Irak, kemudian operasi invasi ini berhasil menggulingkan Saddam Husain dan menjadikan bangsa Kurdi mampu mengkonsolidasikan kemajuan yang diperoleh di kawasan semi otonomi tersebut menjadi wilayah otonomi khusus.

Begitu pula di Iran, sikap diskriminasi dan penindasan terhadap bangsa minoritas seperti bangsa Kurdi (6% dari total penduduk Iran) tak bisa dielakkan. Diantara sebab penindasan bangsa Kurdi di Iran adalah adanya perbedaan sekte keagamaan, dimana mayoritas bangsa Iran mengikuti mazhab Syiah, berbeda dengan Kurdi yang mayoritas mengikuti mazhab Sunni. Perbedaan ideologi ini menyebabkan banyak ulama besar Kurdi yang dibunuh oleh pemerintah Iran, seperti Syekh Abdurrahman Gasemblou (1989) dan syekh Shodiq Sharafandi (1992). Begitu juga ketika meletus konflik antara Irak dan Iran pada 1998, minoritas Kurdi kembali merasakan dampaknya. Mereka dituduh sebagai pengkhianat dengan membantu musuh.

Dalam sejarah perlawanan Kurdi di Iran, berkat adanya sokongan dari Uni Soviet, bangsa Kurdi Iran pernah berhasil mendirikan negara Kurdi merdeka, negara tersebut bernama Mahabad. Namun, setahun setelah itu, kekuasaannya dapat direbut kembali oleh pemerintah Iran.

Seorang aktivis oposisi Kurdi Iran, Shivan Qoderi dan dua temannya ditembak oleh pasukan keamanan Iran pada tahun 2005. Menurut saksi, aparat Iran mengikat jasad Qoderi ke mobil dan menyeretnya menyusuri jalan-jalan agar menjadi contoh bagi siapa saja yang melawan pemerintah Iran. Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Amnesty Internasional menyatakan bahwa bangsa Kurdi Iran menjadi target khusus Iran, mereka ditekan dan didiskriminasi hak-haknya atas tuduhan separatisme.

Di Turki, diskriminasi terhadap bangsa Kurdi jauh lebih besar. Ada banyak sekali diskriminasi dari pemerintah Turki yang menimbulkan gesekan antara Turki dengan bangsa Kurdi. Berdasarkan survei setempat, Hampir 20 persen warga Turki berasal dari suku Kurdi. Sayangnya mereka justru dikucilkan dan mendapat julukan sinis dari masyarakat Turki non Kurdi dengan julukan ‘’orang Turki pegunungan’’.

Diantara contoh diskriminasi terhadap bangsa Kurdi di Turki adalah adanya peraturan yang dikeluarkan oleh tokoh sekularisme Turki, Mustafa Kemal Attaturk yaitu pelarangan penggunaan bahasa Kurdi dan penghapusan kata “Kurdi” dan “Kurdistan” dari kamus dan sejarah Turki. Akhirnya pada 1978, Abdullah Ocalan mendirikan Kurdistan Worker’s Party (PKK). Enam tahun kemudian, PKK berubah menjadi gerakan bersenjata yang berusaha melawan Turki untuk membebaskan diri menjadi negara yang merdeka, pada konflik ini ribuan orang tewas dan terusir dari kampung halamannya.

Sejak saat itu, Ocalan menjadi buronan Turki hingga akhirnya tertangkap di Kenya setelah sebelumnya berpindah dari satu negara ke negara lainnya. pada tahun 1999, Ocalan divonis hukuman mati, namun vonis ini diganti dengan penjara seumur hidup. Karena, pada saat itu Turki hendak masuk ke Uni Eropa dan salah satu syarat menjadi anggotanya adalah menghapus hukuman mati. Meskipun sejak saat itu semangat bangsa Kurdi agak memudar, solidaritas Kurdi masih terus disuarakan. Namun, karena melihat kondisi yang serba sulit. Akhirnya, arah perjuangan mereka menjadi sedikit melunak, mereka mengubah strateginya dengan mengedepankan penuntutan otonomi khusus saja, bukan membentuk negara sendiri.

Sementara di Armenia, negara kecil Eropa yang terletak di perbatasan dengan Timur Tengah dan salah satu bekas wilayah kekuasaan Turki Usmani mempunyai kisah agak berbeda. Di negara kecil yang mayoritas beragama kristen katholik ini (85 %), minoritas muslim kaum kurdi (15%) justru bisa hidup damai dengan masyarakat asli Armenia. Meskipun ada sedikit diskriminasi, diantaranya yaitu adanya julukan Hemshin, yang ditujukan untuk orang muslim asli Armenia. Namun, geliat kegiatan keagamaan dan dakwah islam masih berjalan normal, bahkan di ibu kota Armenia yaitu Yereven terdapat masjid biru atau blue mosque yang tak kalah indahnya dengan masjid biru di Turki.

Referendum Kurdistan Irak

Pada 25 september 2017, Kurdistan Irak mengadakan referendum untuk menentukan masa depan bangsa Kurdi Irak dengan format pemilihan umum. Referendum ini diadakan setelah dua partai besar Kurdi Irak bertemu, yaitu Partai Demokrasi Kurdi yang dipimpin Mas’ud Barzani dan Partai Persatuan Kurdi yang dipimpin oleh Jalal Talabani.

Pertemuan keduanya ini membahas mengenai langkah-langkah untuk melindungi hak warga Kurdi dalam menentukan kemerdekaan politik dan administratif untuk membangun negara yang merdeka. Barzani mengklaim referendum ini disetujui dan diperantai oleh PBB, padahal Gutteres selaku sekjen PBB yang saat itu berkunjung ke Kurdistan Irak tidak mengeluarkan pernyataan apapun tentang peluang pelaksanaan referendum. Dalam referendum ini menghasilkan 92 persen suara masyarakat wilayah otonomi utara Irak ini untuk memisahkan diri dari Baghdad.

Satu hari setelah pengumuman hasil referendum tersebut, Kurdistan justru di isolasi 3 negara yaitu Irak, Iran dan Turki. Pemerintah Irak melakukan pengawasan ketat di perbatasan wilayah internasional Kurdistan untuk mencegah orang-orang Kurdi dari negara lain masuk ke wilayah tersebut.

Iran memberlakukan embargo ke semua bentuk ekspor dan impor produk bahan bakar ke dan dari wilayah Kurdistan Irak. Sedangkan Turki mengancam akan memberikan sanksi ekonomi terhadap wilayah ini. Ditambah tidak adanya dukungan dari Uni Eropa, ataupun Amerika yang sangat berpengaruh di kawasan tersebut. Karena tidak ada dukungan dari negara lainnya, serta untuk menjaga agar tidak terjadi hal yang lebih buruk, Barzani yang didaulat menjadi Presiden selepas referendum tersebut mengumumkan pengunduran dirinya. Maka terjadilah kekosongan kekuasaan dan kemerdekaan Kurdistan pun gagal dan tidak terwujud.

Baca juga: Penjelasan Niat dalam Kitab Hadits Al-Arbain An-Nawawiy Karya Al-Imam Yahya Ibn Syarafuddin An-Nawawi

Faktor-Faktor Penghambat Kemerdekaan

Hampir seabad bangsa Kurdi berjuang untuk mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan. Jutaan jiwa telah berkorban nyawa, ratusan ribu jiwa terusir dari kampung halamannya, jutaan manusia terkatung-katung dengan ketidakjelasan status kewarganegaraannya. Semua perlawanan yang dikobarkan, selalu mendapat perlawanan balik dari negara yang berkuasa.

Kalau kita menelaah, diantara faktor yang menyebabkan bangsa Kurdi sulit untuk merdeka adalah adanya sentimen kesukuan yang menjadikan bangsa Kurdi sulit bersatu. Contohnya di Irak, perlawanan bangsa Kurdi di sana tidak berdasarkan satu suara. Bangsa Kurdi justru terpencar-pencar dalam berbagai pergerakan yang mempunyai arah perjuangan yang berbeda-beda, seperti Kurditan Democratic Party, Ittihad Wathoni Kurdistan (Persatuan Nasional Kurdistan), Hizb Ittihad Islamy (Partai Persatuan Islam), Harokah Islamiyah (Pergerakan Islam), Jamaah Anshor al-Islam dan sebagainya. Perbedaan arah perjuangan ini menjadikan bangsa kurdi justru terpecah belah dan melemahkan kekuatan mereka dari dalam.

Faktor kedua adalah adanya kediktatoran dari pemerintah pusat yang berkuasa. Seperti yang terjadi di Turki, Irak, Iran dan Suriah, Bangsa Kurdi dianggap sebagai kelompok separatis yang berusaha melawan negara sehingga mereka harus ditekan agar tidak membahayakan keamanan nasional negaranya.

Faktor ketiga adalah kolonialisme yang berdampak pada terpecahnya bangsa Kurdi ke dalam lima negara. Hal ini menyebabkan bangsa kurdi sulit untuk disatukan karena batas wilayah negara yang berbeda.

Faktor terakhir adalah adanya perbedaan perlakuan tiap-tiap negara terhadap suku Kurdi. Hal ini membuat pandangan mereka berbeda-beda terhadap perjuangan meraih kemerdekaan. Di Suriah misalnya, keputusan baru presiden Bashar Asad untuk memberikan kebebasan kepada suku Kurdi, sekaligus status kewarganegaraan Suriah. Sikap Suriah ini tentunya menyebabkan suku Kurdi di sana tidak lagi gencar menyuarakan kemerdekaan.

Adakah Solusi?

Konflik Kurdi dengan berbagai pihak ini memang sangat rumit. Terlebih ada banyak kekuatan besar yang menginginkan agar Kurdistan tak merdeka. Posisi geografis bangsa Kurdi yang sangat strategis dan kekayaan minyak yang tersimpan di tanah Kurdistan membuat banyak pihak ingin menguasainya. Catat saja wilayah Kirkuk, salah satu wilayah KurdinIrak. Daerah ini mempunyai ladang minyak yang sangat besar. Potensi minyak ini pertama kali ditemukan oleh Turkish Petroleoum Company (sekarang Iraq Petroleoum Company) pada 1927. Total cadangan minyak di sana sekitar 8,5 juta barel. Hampir separuh ekspor minyak Irak berasal dari kota Kirkuk.

Melihat paparan fakta diatas, menyiratkan bahwa impian kemerdekaan Kurdistan masih sangat sulit, apalagi jika bangsa Kurdi berusaha sendirian tanpa dukungan dunia Internasional. Namun masih ada solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi semua konflik ini, terutama PBB. Jika PBB benar-benar mempunyai kekuatan dan tidak membela negara tertentu, pasti semua konflik ini akan selesai dengan cepat. Oleh karena itu, semua dikembalikan kepada para pemimpin yang mempunyai pengaruh kuat di kawasan tersebut.

Alangkah santunnya jika mereka menggunakan cara perundingan dari pada peperangan. Di manapun, peperangan hanya akan menimbulkan kerugian dan kehancuran, baik pihak yang menang maupun yang kalah.

Begitupun bagi kita masyarakat Indonesia, selain mendoakan kedamaian untuk saudara seagama kita. Kita juga harus mendukung pemerintah Indonesia untuk menjalankan politik luar negeri bebas aktifnya dengan tepat. Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia sebenarnya mampu untuk mengumpulkan dukungan dari negara lainnya untuk mendesak PBB agar menindak tegas negara yang mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa pandang bulu. Dengan demikian, apapun hasil perundingan tersebut, semua pihak harus menerima dengan besar hati dan mengedepankan maslahat umum guna mewujudkan perdamaian dunia yang sesungguhnya.

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Sumber:

  1. Lirch. B. 1992. Dirasat haul al-Akrod wa Aslafihim asy-Syimaliyin (Terjemah bahasa arab oleh DR. Abdi Hajy). Aleppo. Maktabah al-Asad.
  2. BBC News Indonesia. 2019. Diperangi Erdogan, tak diakui di Suriah, siapa sesungguhnya bangsa Kurdi. Dapat diakses di www.bbc.com pada 16 Oktober 2019.
  3. BBC News Indonesia. 2017. Referendum kemerdekaan Kurdi Irak berlangsung kendati Irak menentang. Dapat diakses di www.bbc.com pada 25 September 2017.
  4. Detiknews. Tentang bangsa Kurdi yang tak punya bangsa sendiri. Dapat diakses di m.detik.com pada 30 Oktober 2019.
  5. Wikipedia. Orang Kurdi. Dapat diakses di id.m.wikipedia.org
  6. Liputan6. Mengenal suku Kurdi, etnis terbesar di dunia yang tengah digempur Turki di Suriah. Dapat diakses di m.liputan6.com pada 20 Oktober 2019.
  7. Husain Jalbi. Man Hum al-Kurd as-Suriyyun. Dapat diakses di Newsyrian.Net.
  8. Al-Jazeera. Al-Akrod fi Suriya. Dapat diakses www.aljazeera.net di pada 3 Maret 2011
  9. Geotimes. Menakar Skenario Pasca Referendum Kurdistan. Dapat diakses di www.geotimes.co.id.
  10. Economist. Two years after a disastrous referendum iraqs kurds. Dapat diakses di www.economist.com pada 15 Juni 2019.

Penulis : Ahmad Misbakhul Ula (Santri NU Sudan)

One Response

Tinggalkan Balasan